Lontar.id- Sejak kecil imajinasi dan impian saya sangat dipengaruhi oleh tayangan-tayangan di televisi. Sebagai anak yang tinggal di kampung, pastilah saya menganggap apapun yang ada di televisi itu sangat keren. Dulu, saat heboh Akademi Fantasi Indonesia (AFI) yang tayang di Indosiar, saya bersama teman-teman geng SD juga berinisiatif membuat hal serupa.
Saat jam istirahat atau guru tidak masuk mengajar, kami mengatur kelas seperti panggung. Bagian depan kami anggap jadi panggung. Papan tulis kami anggap sebagai layar. Empat kursi kami jejer sebagai tempat juri. Penentuan juri sangat random, siapa yang tertarik melaksanakan ajang pura-pura pencarian bakat itu, maka mereka lah jurinya. Saya salah satunya.
Panitianya sekaligus merangkap jadi juri itu menyebarkan informasi ke adik-adik kelas kalau akan ada ajang pencarian bakat serupa AFI. Karena, pada masa itu, AFI memang sedang sangat digandrungi, kami tidak kesusahan mendapatkan kontestan. Tidak tanggung-tanggung, yang menjadi juri juga sepakat memberikan hadiah kepada para pemenang, meskipun hadiahnya sekadar jajanan.
Saat itu, membayangkan mengikuti ajang pencarian bakat beneran serupa AFI, Indonesian Idol, The Voice Indonesia saja saya tidak berani. Selain karena memang tidak memiliki suara yang bagus, tayangan-tayangan demikian menurut saya saat itu terlampau jauh untuk digapai. Menginjakkan kaki di Jakarta saja tidak pernah, apalagi masuk di televisi.
Seiring berjalannya waktu, imajinasi saya untuk masuk di televisi semakin pudar. Bukannya putus asa, tapi memang sudah tidak tertarik-tarik amat. Sampai suatu hari, saat merantau di Jakarta, saya merasa bukan tidak mungkin untuk mengetahui atau sekadar melihat bagaimana suatu program diproduksi sebelum ditayangkan di televisi.
Berbekal pernah menjadi jurnalis, jaringan saya semakin banyak. Lingkup pertemanan saya tidak sedikit yang bekerja di industri pertelevisian. Saya mendengar dari mereka cerita-cerita di balik layar satu program. Tenaga dan pikiran yang mereka harus keluarkan untuk menyukseskannya.
Imajinasi saya tentang ajang pencarian bakat AFI ternyata belum pudar. Itu terlalu membekas dan sampai sekarang sayang masih sangat mengingatnya. Tapi, menonton AFI sudah tidak mungkin, karena acaranya sudah tidak diproduksi. Pilihan lainnya mencari acara serupa dan pilihan saya jatuh ke Indonesian Idol. Setidaknya saya bisa merasakan dan melihat langung bagaimana layar dan panggung yang sesungguhnya. Dan yang terpenting, melihat langsung kontestan bernyanyi yang selama ini hanya dapat dilihat di televisi dan Youtube.
Saya mendapatkan jalan menonton Indonesian Idol dari teman kantor yang sebelumnya sudah menonton langsung Indonesian Idol. Dia memberikan kontak WhatsApp untuk reservasi. Caranya sangat gampang, tinggal chat adminnya, dengan menyebut perwakilan nama dan jumlah anggota yang akan menonton. Setelah itu, dia akan memberikan persayaratan-persyaratan dan aturan yang harus diikuti saat ikut menoton secara live.
Kami disuruh standby dan menunggu di area air mancur Studio RCTI+ MNC sekitar 1-2 jam sebelum acara dimulai. Jika tidak datang pada waktu yang ditentukan, maka otomatis tidak diperkenankan untuk masuk. Selain itu, kami dilarang membawa makanan. Sebelum masuk, kami harus download RCTI+ untuk mendapat scan dan tiket masuk studio.
Saya bersama rombongan tiba di gedung RCTI sekitar pukul 20.00. Sampai di studio, kami sudah melihat banyak orang yang datang, sepertinya mereka adalah pendukung kontestan yang datang langsung dari daerah asal sang kontestan. Saya sempat mendengar ada yang berlogat Makassar.
Sebelum masuk ke studio, kami rupanya harus melalui dua tiga pintu dengan antrian yang lumayan panjang. Namun, untuk keluarga kontestan ada tempat khususnya dan mereka langsung menjadi penonton yang duduk di bagian depan dekat juri.
Setelah melalui antrian yang sangat panjang, akhirnya kami masuk di studionya. Layar dan panggung sangat megah telah ada di depan saya. Ratusan kursi penonton telah disediakan. Karena studionya sangat dingin, kami memutuskan untuk duduk di jajaran kursi tengah.
Acara tidak langsung dimulai, kami harus menunggu sekitar satu jam. Sebelumnya, tentu kami di-briefing dulu. Ada tim dari Indonesian Idol yang mengarahkan kami agar selama acara dimulai semua penonton harus fokus ke paggung karena kamera juga akan menyorot bagian penonton.
Setelah itu, kontestan dipanggil satu per satu untuk menyapa para pendukungnya terlebih dahulu. Setiap kontestan mengarahkan pendukungnya menyanyikan yel-yel. Selain itu, sebelum satu kontestan tampil, tim Indonesian Idol sudah membocorkan siapa kontestannya beserta lagu yang dinyanyikan. Sehingga ketika pembawa acara (Daniel dan Sere) memanggil kontestan tersebut, para penonton sudah bisa meneriakkan namanya dengan heboh dan studio terlihat “hidup”.
Saat itu, kami menonton top 12 Indonesian Idol jadi lumayan briefingnya sangat lama karena setiap kontestan harus menyapa dan menguji kekompakan pendukungnya. Indikatornya adalah saat menyanyikan yel-yel, mereka harus kompak. Pas pukul 21.00, acara dimulai. Daniel dan Sere pertama kali keluar menyapa penonton yang hadir di studio dan yang tidak menonton secara langsung. Setelah itu, barulah mereka memanggil juri satu per satu, mulai dari Anang Hermansyah, BCL, Maia Estianty, dan terakhir Ari Lasso. Satu studio bersorah, heboh, sesuai arahan.
Selain itu, briefing dilakukan tidak hanya sebelum acara dimulai, namun setiap jeda iklan. Tim Indonesial Idol akan mengingatkan para penonton untuk tetap heboh selama acara dimulai. Mereka juga akan menginformasikan siapa kontestan yang akan tampil dan lagu yang dibawakan. Jika lagunya sedih maka kami biasanya diminta menyalakan senter hp dan megangkatnya mengikuti irama lagu. Jika ada kontestan yang berhasil menggapai nada tinggi dan juri berdiri, maka seluruh penonton juga diminta untuk berdiri sambil bertempu tangan.
Karena kondisi studio yang sangat dingin dan kami tidak membawa persiapan jaket, kami memutuskan untuk pulang lebih awal. Ternyata bisa pulang sebelum acara selesai.
Pada akhirnya, saya bisa mewujudkan imajinasi saya saat kecil dan dapat merasakan secara langsung menjadi penonton Indonesian Idol, meski wajah tidak tersorot kamera.