Jakarta, Lontar.id – Sebagai generasi milenial yang menjadikan media sosial sebagai kebutuhan utama, saya seringkali miris dan sedih setiap kali membaca berita-berita terkait perempuan. Tidak hanya berita, akan tetapi tulisan-tulisan di caption postingan ataupun tulisan lepas di media yang seringkali mengangkat sudut pandang perempuan sebagai subjek yang dikekang.
Tulisan yang demikian, saya baca hampir setiap hari — hal itu terjadi, barangkali karena arena pertemanan saya yaitu para perempuan aktivis feminis ataupun sekedar pendukung feminis. Saking seringnya saya membaca tulisan-tulisan demikian, konstruksi yang muncul di kepala saya adalah “selemah-lemahnya manusia, adalah perempuan”.
Berangkat dari hal tersebut, saya kemudian mempertanyakan: Memangnya perempuan selemah itu? Apakah perempuan hanya bisa diam tanpa melakukan resistensi sedikitpun?
Manusia sebagai objek adalah sesuatu yang pasti, dan manusia sebagai subjek adalah hal yang pasti pula. Artinya, siapapun pasti akan mendapatkan posisi sebagai objek, dan di waktu yang lain, mendapatkan posisi sebagai subjek. Perempuan dan laki-laki mendapatkan porsi yang sama. Sayangnya, perihal pemosisian manusia sebagai objek seringkali dilekatkan hanya pada perempuan bahkan cenderung didramatisasi.
Kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan, tidak bisa disangkal jika jumlahnya lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Praktik kejahatan terhadap manusia itu perlu mendapatkan respon dengan cara melaporkan kepada pihak-pihak yang mengakomodasi kasus demikian atau sekedar memberikan dukungan kepada korban.
Sayangnya, ketika ada kasus-kasus yang demikian, kita seringkali teledor mengeluarkan istilah-istilah feminis yang justru menurut saya semakin mengobjektifikasi perempuan. Misalnya saja, istilah marginalisasi, subordinasi, objektifikasi, intimidasi, dan lain-lain yang justru semakin menyudutkan posisi perempuan, seolah-olah perempuan tidak memiliki agensi apapun dalam menentukan hidupnya.
Penggunaan bahasa atau istilah yang demikian, dianggap sebagai cara untuk mendukung dan mengingatkan perempuan agar bangkit dari kekerasan yang didapatkannya. Akan tetapi, secara implisit istilah-istilah yang demikian sangat menyedihkan ketika dibaca ataupun didengarkan, seperti menemukan diri telah kehilangan rasa empati. Bahkan penggunaan istilah yang demikian seringkali dengan mudahnya dilontarkan tanpa memandang konteks yang sebenarnya terjadi.
Persoalan bahasa memang bisa sangat sederhana, tapi beberapa orang pernah mengalami fase keterpurukan dalam hidupnya karena kecelakaan berbahasa. Bahasa menjadi alat utama dalam berkomunikasi kepada sesama manusia. Oleh sebab itu, muncul pertanyaan, kenapa kita seringkali terjebak pada penggunaan istilah-istilah feminis yang seperti itu? Istilah tersebut bukannya salah, akan tetapi kita kurang menyadarkan diri kapan dan dimana, serta konteks yang seperti apa sebaiknya kita menggunakan istilah yang seperti itu.
Komodifikasi perjuangan perempuan untuk melahirkan resistensi terhadap segala bentuk kekerasan sebaiknya tidak perlu didramatisasi, sebab sejak dulu perempuan adalah manusia hebat dan jejak sejarah telah membuktikannya. Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip kata-kata Moh Yasir Alimi dalam tulisannya Gender dan Seks sebagai Pertunjukkan, “setiap manusia mempunyai kemanusiaan dan identitas. Akan tetapi manusia dilahirkan dengan kemanusiaan bukan dengan identitas. Semuanya dilahirkan dengan kemanusiaan yang sama. Kemanusiaan ini berdimensi ilahian, karena ia ditengarai roh yang suci, yang ditiupkan langsung dari sisi Tuhan. Inilah kebenaran sederhana namun dilupakan.”