Lontar.id – Saya kurang tidur. Ini menggelisahkan. Tengkuk saya nyeri. Saya memaksa terlelap, tetapi tidak bisa. Saya merasa ada yang kurang.
Hidup saya perlahan-lahan membaik dari kondisi yang pernah memburuk. Makan teratur, tetapi tidur tidak. Sering saya bertanya-tanya, apa yang membuat saya sulit untuk tidur?
Sebuah situs kesehatan tepercaya di Indonesia menulis soal mengapa orang sulit tidur. Ternyata, bisa diakibatkan banyak hal seperti stres, depresi, gangguan kecemasan, maupun kondisi pernapasan.
Pernapasan seperti apa? Asma, alergi, atau pilek. Bisa juga karena pengaruh minuman alkohol dan kondisi lingkungan sekitar saat hendak tidur.
Tetapi bukankah klaim kesehatan biasanya melenceng? Saya percaya, tidak ada yang pasti seratus persen di dunia ini. Semua hanya didasari ragu-ragu yang bercampur yakin–dan saya menulisnya dengan ragu-ragu.
Saya merasa tidak dalam kondisi stres berat atau seperti yang dibilang di atas. Kondisi ini membantah klaim tulisan itu. Tetapi, kurangnya tidur sudah menyebabkan saya lelah dan sering mengantuk pada siang hari. Itu benar.
Akhirnya saya berpikir, tidur sangat penting untuk seluruh manusia. Tidak tidur dijadikan hebat-hebatan dan rekor-rekoran. Bahkan sewaktu kecil, saya senang disinggung tidak manly.
“Katanya cowok, kok cepat tidur?”
*
Banyak penelitian yang menyebutkan kalau kurang tidur akan mempengaruhi metabolisme tubuh. Setidaknya, hal itu sudah dilakukan Randy Gardner dikutip dari Science Alert.
Gardner mencetak rekor dunia karena mampu tidak tidur selama lebih dari 264 jam saat ia berusia 17 tahun. Hari ini, Gardner masih hidup dalam keadaan sehat di usia 69 tahun.
Tetapi tiga hari setelah kurang tidur, Gardner mulai murung dan susah fokus. Panca indranya kurang berfungsi seperti biasanya. Dia berhalusinasi, mirip orang bermimpi di hari kelima.
Hal yang paling mengejutkan, analisis aktivitas otak Gardner menunjukkan bahwa otaknya tak sepenuhnya terjaga seperti yang terlihat. Ada beberapa bagian otak yang berhenti untuk memulihkan diri layaknya sedang tidur.
Jika memang begitu kejadiannya, tentu mengerikan. Untuk apa Anda tidak tidur dan terus terjaga? Apa yang Anda tunggu? Uang yang jatuh dari langitkah?
Saya percaya satu kutipan masyhur tentang betapa pentingnya mencintai diri sendiri dan keluarga daripada pekerjaan. Jika Anda sakit, keluarga yang merawat, perusahaan Anda hanya datang menjenguk dan berucap: semoga Anda cepat sembuh.
Di Indonesia sendiri, lembur adalah makanan empuk bagi para pekerja keras. Lalu bagaimana mencari hidup, sementara di satu sisi Anda menutup kapiler hidup Anda yang lain?
Jelas ini tidak salah, tetapi keliru jika dilakukan serampangan dan melabrak aturan. Dalam agama dan petuah-petuah, ada waktu tidur yang tepat dan berapa jam sebaiknya kita semua harus tidur.
Kita bisa memilih, ingin mengikuti anjuran agama kah, petuah kah, atau kehendak diri sendiri dan merasa: oh, tampaknya saya kuat-kuat saja. Mencari nafkah untuk keluarga lebih penting dari istirahat.
*
Di kantor sebelumnya, pemimpin redaksi membiarkan editor seperti saya untuk tidur jika mata sudah lelah. Sungguh, itu sumbangsih yang sangat berpengaruh dalam hidup saya sampai kapan pun.
Di ruang redaksi, direktur perusahaan tempat saya bekerja dulu memberikan sebuah matras tipis bermotif klub sepak bola Inter Milan. Meski terlihat menyebalkan (mengapa bukan Barcelona saja), tetapi berguna sekali bagi hidup saya.
Jika pandangan saya sudah mulai kehilangan fokus dan kabur, itu artinya saya harus tidur siang. Sesuatu yang tidak pernah disukai oleh anak SD yang masuk pada pagi dan pulang siang hari.
Menjadi anak kecil itu nikmat. Bermain saja kerjanya. Sayangnya saya bukan Bibi Lung yang tetap muda dan menawan, meski umurnya ratusan tahun.
Tahun lalu, para ilmuwan yang meneliti kebiasaan tidur manusia justru menganjurkan para pemilik perusahaan untuk memberikan waktu tidur siang bagi seluruh karyawan.
“Layar komputer dan cahaya elektronik dapat menguras waktu tidur Anda,” ungkap psikolog Nerina Ramlakhan seperti dikutip dari thesun.co.uk. Tentu saja ini akan berpengaruh.
Di China, di perusahaan elektronik seperti Huawei, sudah dianjurkan bagi para pekerjanya untuk tidur siang. Anda bisa mencari di mesin pencari untuk mengecek keabsahannya. Sebuah kabar baik bukan?
Di Indonesia, tidur di kantor adalah sebuah pembangkangan yang luar biasa. Tidak manusiawi. Jika mengantuk, bisa-bisa kita didamprat atasan. Lalu bagaimana? Masihkan kita menganut pola lama seperti itu?
Tanggung jawab moral Andalah yang harus menjelaskan pada atasan agar menimbang kebijakan baru seperti Huawei. Jika tidak, maka jangan berharap tentang perubahan.
*
Suatu kali saya pernah berbincang dengan sahabat saya. Seorang bos yang masih muda. Per bulan, ia bisa meraup untung ratusan bahkan miliaran rupiah.
Ia mencurahkan hatinya dan cemburu kepada seorang tukang becak. Saya bertanya apa masalahnya. “Saya ini sulit sekali untuk tidur. Mungkin karena gila kerja, makanya sulit untuk mendapatkan waktu tidur yang istimewa.”
“Saya itu suka cemburu dengan abang becak. Di atas becaknya, ia bisa tidur pulas di bawah pohon yang rindang. Di mana saja. Mereka itu ternyata bisa hidup dengan penghasilan yang seadanya ya.”
Saya menjawab, “ya, rezeki orang berbeda-beda. Kamu boleh bangga punya banyak duit dan aset yang bejibun, tetapi kau tidak bisa membeli tidur yang nyenyak.”
Ia mengisap dalam rokoknya dan menunduk. Tampaknya ia takkan pernah bisa membeli waktu untuk tidur dengan nikmat, sesuai kondisinya. Ia sudah berkali-kali membeli obat tidur dan hasilnya tetap sama.
“Ini membuat saya selalu merasa menjadi orang yang kalah.”
Sampai tulisan ini selesai, saya masih belum tidur. Sejak semalam saya terjaga. Saya mencoba untuk memanggil kantuk dengan tulisan ini, tapi masih belum bisa.
Saya mengiri pada kalian yang asal bisa baring, bisa tidur di mana saja. Saya kasihan dengan kalian, yang masih dilarang tidur siang dengan atasan meski kalian sudah sangat mengantuk.
Untungnya, saya bekerja di Lontar sekarang. Yang aturannya sangat fleksibel. Saya saja yang celaka, kok bisa melek sampai sekarang? Asem!