(Sebuah catatan terhadap Pemberian Remisi kepada Pembunuh Jurnalis)
“Merdeka dan Bebas adalah satu-satunya amunisi bagi pers yang berdaulat.”
Oleh: DR Hinca IP Pandjaitan XIII SH MH ACCS
Lontar.id – Kalimat di atas saya dapatkan dari seorang mantan anak didik saya, Frans Sianturi. Diskusi kami kala itu mencoba mengorek luka dan duka pers di era orde baru. Ketidakpercayaan millenial seperti dia akan kelamnya masa-masa pers dahulu kala sangat dirasa wajar, sebab mereka bertumbuh di negeri ini yang sedang meniti demokrasi yang lebih bebas.
Saya katakan pada dia, “Jangan kuatir, negeri ini sedang berjalan ke depan, pers ada di tempat yang aman”, ucapku. Hari ini, negeri kita kembali memutus mimpi. Mimpi atas demokrasi yang lebih rapi. Jurnalis sebagai produsen informasi, mereka terancam sunyi. Jemari mereka akan melambat untuk tulis kebenaran yang hakiki. Suara mereka akan tertelan sendiri, atas ketakutan mereka jika nanti berujung mati. Sebab, kematian mereka tidak akan dihargai. Lihat saja apa yang terjadi hari ini, pembunuh jurnalis mendapat remisi. Alangkah lucu negeri ini.
Di dalam dunia pers, maut yang nyata dan tampak dari mata adalah ketika para jurnalis ikut turut berbaris di medan perang. Nyawa menjadi ancaman, untuk sebuah liputan. Tapi ternyata, pembunuh jurnalis tidak hanya ada di medan pertempuran saja, melainkan banyak tersedia di sudut-sudut negeri ketika mereka mencoba mengorek koreng korupsi atau ketidakadilan penguasa negeri.
Baca Juga: Setelah Jokowi dan Prabowo Bertanding Menghina Jurnalisme
Laporan dari The Commitee to Protect Journalist (CPJ) yang menyatakan bahwa sejak tahun 1992, terdapat 848 Jurnalis tewas dibunuh. Data terakhir tahun 2018, CPJ mencatat ada 43 Jurnalis yang gugur dalam tugas mereka dan 27 diantaranya dibunuh. Mungkin yang hangat di telinga kita adalah kasus kematian wartawan the Washington Post, Jamal Khasoggi. Tentu ini menjadi duka bagi seluruh pers yang ada di dunia.
Dalam perjalanan saya di lingkungan pers, saya menemukan sebuah tesis yang menarik. Banyak penguasa di negeri ini, jika tidak mampu berteman dengan pers maka mereka para jurnalis tersebut di cap sebagai musuh. Padahal sejatinya jurnalis bukan teman ataupun lawan, mereka berada dalam lingkar yang berbeda, sebagai penjaga dan terkadang sebagai pembela. Mereka hanya butuh ruang, untuk menjaga keseimbangan, idealnya mereka tidak boleh mendapat tekanan atas informasi yang akan mereka tuliskan dan siarkan.
Tulisan ini sebenarnya adalah ungkapan ketakutan saya kepada usia demokrasi kita yang masih tergolong muda, sekaligus kekecawaan saya pada pemerintah yang sedang berkuasa. Seorang jurnalis Radar Bali, pada tahun 2009 tewas dibunuh oleh sejumlah orang yang oleh hukum pada saat itu membawa para pembunuh tersebut ke jeruji besi. Beragam pidana sanksi yang dijatuhi pada para pembunuh keji tersebut, mulai dari hitungan tahun hingga ia yang mendapat vonis penjara seumur hidup.
Baca Juga: ‘Etok-etok’ dan Janji yang Nihil Realisasi
Hari itu, para jurnalis bernafas lega. Usia mereka masih sangat panjang, mengingat hukum tetap tajam pada orang-orang yang senantiasa mengancam. 24 September 2010, dalam sidang di Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, Artidjo Alkostar sebagai Ketua Majelis Kasasi pada saat itu menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pembunuh Jurnalis tersebut yang bernama “I Nyoman Susrama”.
I Nyoman Susrama pada saat itu adalah seorang pimpinan sebuah proyek pembangunan di Bangli, Bali. Ia merasa gusar atas tulisan yang dimuat oleh almarhum Prabangsa dan pada akhirnya Susrama beserta 6 pelaku lainnya melakukan pembunuhan berencana kepada wartawan tersebut dan membuang nya ke laut, perairan Padang Bai, Karangasem. Dalam persidangan, dijelaskan bahwa motif pembunuhan nya adalah kemarahan atas pemberitaan yang ditulis oleh jurnalis Radar Bali tersebut.
Baca Juga: “Hilangnya” Isu Papua dalam Tema Hukum, HAM, dan Korupsi di Debat Capres-Cawapres
Padahal, jika Susrama tidak melakukan perbuatan jahat tersebut, dalam waktu dekat pada tahun itu ia akan dilantik sebagai seorang Anggota Dewan Yang Terhormat di DPRD Bangli. Ia menang dalam kontestasi Pileg 2009 dari PDIP. Ketakutan dan amarahnya yang berkecamuk dalam dirinya membuat semua langkah-langkah hidupnya lenyap begitu saja. Hingga akhirnya, ia dikenal sebagai seorang pembunuh jurnalis.
Hingga pada akhirnya, Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo memberikan remisi perubahan hukuman kepada susrama dari yang sebelumnya Vonis Seumur Hidup menjadi 20 Tahun penjara. Alasan yang mendasari pemberian remisi tersebut adalah terpidana berkelakuan baik. Tanpa mengurangi Hak yang dimiliki oleh terpidana tersebut, saya berpendapat bahwa terlalu mahal harga yang harus wartawan yang meninggal tersebut untuk ia bayar dari sebuah transparansi informasi publik yang ia ungkap dan harus menggantikan nya dengan nyawa.
Ini adalah kekeliruan, bagaimana mungkin Presiden Jokowi dapat menandatangani Keppres tersebut apabila melihat suasana duka yang tidak hanya dirasakan oleh keluarga korban saja melainkan seluruh Jurnalis yang ada di Indonesia saat ini. Kini suara-suara para jurnalis serentak menyeruak, menuntut pencabutan Keppres pemberian remisi tersebut sebagai sebuah public pressure.
Sementara public pressure dilakukan secara masif, memang lebih baik langkah-langkah yang ditempuh selanjutnya melalui prosedur hukum.
Ketidakpuasan atas sebuah Keputusan Presiden dapat diselesaikan melalui 2 cara:
- Mengeluarkan Keppres Pencabutan, mengingat dalam Hukum Administrasi Negara berlaku Asas Contrarius Actus, yaitu pencabutan suatu keputusan harus dilakukan dengan keputusan setingkat.
- Melalui Gugatan di PTUN, sebab Keppres ini merupakan sebuah kebijakan Tata Usaha Negara.
Apapun langkah yang ditempuh saat ini, saya pribadi berpendapat bahwa pers harus dilindungi tanpa pengecualian demi iklim kebebasan pers yang baik dan terjamin kualitasnya. Walau kini Presiden Jokowi melemparkan isu ini kepada Menkumham, sebagai pemimpin negara ini sudah selayaknya Beliau mampu menenangkan pers yang hari ini sedang diselimuti ketakutan dan kekhawatiran.