Lontar.id – Pada 1973, Soeharto melakukan penyederhanaan partai politik dengan menggabungkan (fusi) partai kedalam tiga partai utama seperti PDI, Golkar dan PPP. Penggabungan partai politik oleh Soeharto untuk memastikan pada pemilu selanjutnya, Golkar sebagai partai pemenang pemilu.
Pada 1970-an Soeharto sudah gencar menghadiri kongres partai-partai politik dan menyampaikan gagasannya untuk menyederhanakan partai. Terutama menghadiri kongres partai yang didirikan Soekarno, lewat pidato, Soeharto menyampaikan pesan politiknya terkait fusi partai politik.
Dalam perkembangan selanjutnya, Soeharto mengeluarkan TAP MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang menggabungkan partai ke dalam tiga jenis golongan spritual, nasionalis dan golongan karya.
Pengikut Soekarno yang berada dibawah bendera PNI, akhirnya membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI) bersama dengan IPKI, Parkindo, Partai Murba, Partai Katolik. Penggabungan partai politik menjadi PDI, dipersiapkan untuk mengikuti pemilu pada 1971.
Pada kampanye Pemilu 1971, PDI menggunakan trah Soekarno sebagai penggaet suara rakyat. PDI percaya dan menaruh harapan besar, mengusung nama besar Soekarno dibalik anak-anaknya PDI akan meraih suara yang cukup signifikan pada pemilu. Meski pada akhirnya, pemilu selanjutnya selalu di menangkan Golkar dan Soeharto jadi presiden selama 32 tahun lamanya di bawah rezim Orde Baru (Orba).
Kehadiran anak-anak Soekarno di PDI cukup membuat Soeharto gusar karena pengikut Soekarno masih banyak, apalagi presiden pertama Indonesia itu direpresentasikan oleh sosok Megawati Soekarno Putri.
Ternyata setelah Soekarno terjungkal dari kursi kekuasaan melalui Surat Perintah Sebelas Maret yang dikenal sebagai Supersemar, menyimpan dendam dan luka yang amat menyakitkan. Soeharto muncul sebagai pemimpin yang otoriter membatasi pergerakan Soekarno sebagai tahanan rumah dan melarang ajaran Marhaenisme disebar luaskan, karena identik dengan ajaran komunisme.
Konsesus pasca itu, anak-anak Soekarno bersepakat tidak terlibat dalam politik praktis, seperti Megawati, Sukmawati, Guntur dan Rachamawati termasuk Fatmawari istri Soekarno. Karena mereka ingin menghidupkan kembali ajaran-ajaran marxisme dibawah panji Marhaenisme Soekarno yang mulai redup dan ditinggalkan masyarakat.
Namun kesepakatan itu dianggap Fatmawati, telah dilanggar oleh Megawati yang bergabung dengan PDI atas ajakan Soerjadi saat itu. Soerjadi menggaet Megawati hanya menaikan popularitas partai dan memperoleh kursi di DPR RI kala itu. Hasilnya memang diluar dugaan, PDI jadi salah satu partai yang mulai disegani Golak karena Megawati merupakan anak dari rival politik Soeharto.
Rachamawati yang tidak menerima Megawati terjun kepolitik praktis, kemudian dikuatkan lagi dengan, Megawati tidak membawa serta merta ajaran besar bung karno ‘marhaenisme’ dalam perjuangan politik, semakin mempertajam jurang perpecahan keduanya.
Fatmawati semakin keras dan lantang mengkritik Megawati, hingga menyinggung bahwa Megawati bukan anak ideologis Soekarno, melainkan sekadar anak biologis. Sebagai anak biologis ia dianggap tidak membawa serta merta pengaruh dan nama besar Soekarno. Alih-alih mendapatkan dukungan dari simpatisan Soekarno, justru nama Megawati semakin moncreng di PDI. Megawati ibarat icon perlawanan terhadap rezim Orde Baru yang mengancam kekuasaannya.
Berbagai cara pernah dilakukan Soeharto untuk menghentikan PDI, pada kongres 1993 Soerjadi kembali terpilih sebagai ketua PDI. Lantaran Soeharto tidak menerima hasil keputusan itu, karena dibawah kepemimpinan Soerjadi suara PDI semakin meningkat. Akhirnya dibuatlah kongres luar biasa DI Surabaya, sebuah usaha menyingkirkan Soerjadi sebagai ketua umum.
Hasilnya diluar dari pengamatan Soeharto, alih-alih menggantikan Soerjadi, ternyata Megawati terpilih pada kongres luar biasa itu. Tidak terima dengan hasil Megawati yang terpilih sebagai ketua umum, Soeharto kembali membuat kongres dan mengusulkan Soerjadi sebagai ketua pada 1996.
PDI benar-benar diobok-obok rezim pada saat itu, hingga PDI terbelah menjadi kubu Pro Soerjadi dan Pro-Megawati. Pada masa dualisme kepemimpinan, Soerjadi maupun Megawati sama-sama ngotot ingin mengambil alih kantor DPP PDI, hingga terjadi kasus kudatuli, yaitu pernyerbian kantor PDI oleh preman yang dikirim Soeharto yang mendukung Soerjadi.
Setelah Soeharto mundur, Megawati kemudian merubah PDI menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) hingga sekarang dengna lambang banteng moncong putih.
Rachamawati yang kecewa dengan Megawati tak pernah menghentikan kritikannya, meskipun Megawati tak pernah membalasnya. Pada 2001 silam, saat Abdurrahman Wahid (Gusdur) terjungkal dari kursi kekuasaannya, Megawati menggantikan posisi Gusdur dan menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia.
Kritikan semakin tajam, hingga Rachamawati mendirikan Partai Pelopor untuk membendung Megawati. Namun PDI tetap bersinar dan Partai Pelopor semakin melempem ketika tidak mendapatkan suara menduduki kursi parlemen. Lalu Rachamawati bergabung dengan partai bentukan Surya Paloh NasDem kemudian ke Gerindra.
Rachmawati pada Desember 2016 lalu dituduh akan melakukan gerakan makar terhadap pemerintahan yang sah. Ia ditangkap karena hendak mengalihkan massa aksi 212 ke istana merdeka. Megawati dan Rachmawati dua anak Soekarno ini bersitegang sudah sejak dulu hingga sekarang. Sangat sulit rasanya menyatukan kedua putri Soekarno yang sudah terlanjur curam.