Lontar.id – Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Selatan (KM3S) mendesak penyidik kepolisian yang menangani kasus perundungan (bully) terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) di Kabupaten Pangkep, untuk menerapkan ketentuan Pasal 77 dan/ atau Pasal 80 ayat (1) atau ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Selatan yang beranggotakan LBH Makassar, PPDI Sulsel, HWDI Sulsel, Perdik Sulsel, Yasmib Sulawesi, FIK-ORNOP Sulsel, AJI Makassar, YGC Makassar, Dewi Keadilan, ICJ Makassar, SPAK Sulsel, PKBI Daerah Sulsel, JIP SulSel, LPA Sulsel, KPI Sulsel, LSKP, SP-Anging Mammiri, LBH Apik Makassar, Yayasan Masagena, KOPEL, FPMP Sulsel, menilai pelaku telah diduga keras melakukan tindak pidana sekaligus yang diatur dalam beberapa pasal pada UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Beberapa pasal tersebut di antaranya Pasal 76A, yang menyatakan, bahwa setiap orang dilarang memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya. Atau memperlakukan anak penyandang disabilitas secara diskriminatif’.
“Bagi pelanggarnya diancam dengan ketentuan Pasal 77, bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah),” demikian tertulis dalam rilis yang diterima redaksi Lontar, Senin, 18 Mei 2020.
Selanjutnya dalam Pasal 76C, disebutkan, ‘Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak’,
Bagi pelanggarnya diancam dengan ketentuan Pasal 80, dengab ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta. Bahkan, jika Anak (korban) mengalami luka berat, maka pelaku diancam hukuman pidana penjara paling lama lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Selatan juga berpendapat, bahwa aksi perundungan terhadap anak yang berprofesi sebagai penjual kue itu tidak bisa tolelir dan pelaku harus ditindak tegas.
Terlebih karena korban merupakan anak dibawah umur dan diidentifikasi sebagai penyandang disabilitas intelektual, yang berdasarkan hukum harus mendapatkan perlindungan yang lebih dari negara.
Para pelaku dinilai telah melanggar sejumlah hak anak penyandang disabilitas, yang telah dilindungi dalam UU Perlindungan Anak (UU 35/2014 ) dan UU Penyandang Disabilitas, (UU 8/2016).
Antara lain, mendapatkan perlindungan khusus dari diskriminasi, penelantaran, pelecehan, eksploitasi, serta kekerasan dan kejahatan seksual. Kemudian, dilindungi kepentingannya dalam pengambilan keputusan; memperlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak; pemenuhan kebutuhan khusus; perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi sosial dan pengembangan individu; dan mendapatkan pendampingan sosial.
Koalisi ini juga mendesak penyidik kepolisian untuk memenuhi hak anak (korban), untuk mendapatkan layanan bantuan hukum, pendampingan dari PK Bapas dan pekerja sosial serta pendamping disabilitas utamanya.
“Mendesak kepada Pemerintah Provinsi Sulsel dan Pemerintah Kabupaten Pangkep untuk menjamin pemenuhan layanan pendampingan hukum dari advokat, pendamping disabilitas, pendampingan sosial serta rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, bagi anak (korban),” lanjut rilis tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Selatan juga menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menjadikan kasus ini sebagai pembelajaran bersama, agar kasus seperti ini atau semacamnya tidak lagi terjadi dilingkungan terdekat masing-masing.
“Khusus terhadap Korban, selama proses hukum terhadap kasus ini berhak mendapatkan layanan dan perlindungan khusus yang cepat, antara lain berhak memperoleh rehabilitasi (medis dan sosial), pendampingan hukum dan pendampingan disabilitas serta pendampingan sosial yang disediakan oleh Pemerintah daerah setempat lewat Layanan P2TP2A – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Provinsi Sulsel dan Kabupaten Pangkajene) dengan berkoordinasi dengan institusi penegak hukum,” lanjut rilis tersebut.
Video kasus dugaan perundungan itu viral di media sosial pada Minggu, 17 Mei 2020. Dalam video tersebut, korban tampak dipukul dan didorong hingga terjatuh. Pelaku dan rekan-rekannya justru tertawa melihat korban teejatuh.
Editor: Kurniawan