Jakarta, Lontar.id – Dentuman musik di tempat karaoke sepanjang Mangga Besar masih menyalak. Pedagang gorengan masih melek, padahal sudah pukul tiga pagi. Masih banyak yang belum tidur.
Jakarta cukup jarang mendapati dirinya sedang kesepian. Kesepian tak ada motor, semua tidur, dan masih banyak lagi. Di Mangga Besar, tak ubahnya seperti jalanan yang tak pernah mati.
Perempuan-perempuan menggenggam rokok dengan rok span yang ketat, di atas lututnya, duduk sambil berbicara dengan lelaki yang hilir mudik di depan sebuah toko kelontong samping tempat karaoke.
Suara tawa dari pedagang martabak telor masih nyaring. Seperti masih kuat berjualan sampai pagi. Wajahnya masih segar. Tetapi dagangannya sudah habis. Limbahnya minyaknya ia buang di jalanan.
Lagu dalam tempat karaoke itu bukan lagu pop. Melainkan lagu disko, yang sudah cukup usang. Nyaris tidak ada anak muda masa kini yang menyukai lagu macam itu lagi. Apalagi nada dan dentumannya, yang pekak.
Jika didengar seorang atau bahkan lebih dari satu anak muda, besar kemungkinan telinganya akan sakit dan bersegera meminta pulang. Menyukai musik di sana, harus sepaket dengan menyukai juga teman bernyanyi.
Bicara seorang pedagang gorengan belum selesai. Perempuan lainnya keluar dari mulut pintu tempat karaoke. Bedaknya cukup tebal, dan rambutnya lurus. Badannya agak gempal.
Ia tak bisa menyembunyikan kalau rambutnya habis direnbonding, sebab tampak berombak. Warna rambutnya sedikit kuning kumal. Mengapa harus bermode macam begitu di malam-malam Jakarta yang cukup dingin?
Tak ada yang menarik setelah beberapa orang menawari tim seorang perempuan berharga Rp300 ribu ke atas yang wajahnya dipupur bedak yang awut-awutan. Tidak menarik.
Lalu tim akhirnya memilih menjauh dan menyisir jalan yang lain. Aplikasi pesan seperti michat diaktifkan, dan menyasar satu demi satu perempuan yang sedang membuka dirinya untuk diajak beradu di kamar hotel kelas melati.
Akhirnya tim melipir di samping hotel Surya Kencana. Ada sebuah gardu yang menjual pisang bakar keju cokelat yang dipotong dadu yang garpunya dari plastik. Di sana tim berhenti dan bertanya-tanya.
Ada empat orang yang duduk sambil meminum teh hangat. Semuanya sudah berusia sekiranya 30-an lebih. Ada juga perempuan yang wajahnya dan kulitnya putih pucat, kendur, ikut bergabung dan ingin juga dilibatkan dalam transaksi pada malam itu.
Ia membuka harga sekira 500-an. Kami menolak, sebab itu tak masuk dalam rencana kami. Ia sudah cukup tua untuk meminta harga sekelas anak muda, yang sebelumnya bisa didapatkan di Kalibata City, yang liputannya bisa dibaca di sini.
Ia menurunkan harganya Rp400 ribu komplit dengan kamar di Hotel Surya Kencana. Lagipula, harga segitu cuma bisa dapat perempuan setengah tua yang disingkat stw. “Gimana?” Seorang dari kami tertarik, dan langsung setuju dengan penawarannya saat itu juga.
Tim memilih perempuan yang masih terlihat bugar. Namanya Nit. Suaranya serak. Kulitnya masih kesat. Raut wajahnya keibuan, sebab memang ia punya satu anak. “Mengapa memilih ke sini, sih? Memang lagi pengen, ya?”
Rp110 ribu diberi pada mualim Hotel Surya Kencana yang menunjukkan kamar mana yang tim akan tempati beradu kasih selama tiga jam, yang sudah dipatok oleh pihak hotel. Tim mengeceknya, ternyata harga kamarnya di bawah dari harga, tak sampai seratus ribu.
Tim ditunjukkan sebuah kamar di sudut lantai dua yang berhadapan dengan kaca transparan yang besar. Warna malam sudah berubah dari tampilan kaca. Saat itu sudah nyaris subuh. “Yuk!”
Tim disuruh memilih, ingin memakai pengaman atau tidak. Tak ada paksaan. “Pakai pengaman itu baiknya, kita bisa menghalangi penyakit yang akan masuk ke kita. Penyakit tidak ada yang tahu. Bisa saja abang kena, loh.”
Tim menyelesaikan tugasnya. Seperti pendakwah, perempuan itu memberi wejangan pada tim untuk melupakan malam itu. Untuk berhati-hati dan sebaiknya uangnya digunakan untuk hal yang bermanfaat.
“Abang nikahlah cepat-cepat.”
“Kenapa memang?”
“Biar bisa berhenti kayak gini, Bang. Buat kayak gini rentan penyakit.”
“Oh, iya. Baik, mbak.”
“Kalau abang sudah nikah. Pasti nanti sudah tidak keluyuran lagi. Tidak jajan lagi. Bagusnya memang abang coba dulu. Puasin diri. Kan abang masih muda. Nanti, kalau sudah nikah, gak gini lagi.”
Tim dan perempuan itu segera beres-beres. Sudah mau pagi ternyata. Di luar, tim bertemu seorang tukang parkir. Sekadar basa-basi, ia bilang kalau di Jakarta, harga segitu masih mahal.
“Masih bisa dapat setengahnya. Kamu tidak tahu kan? Ada kok tempatnya. Di sini umurnya sudah tua, kenanya harga segitu. Rugi.”