Lontar.id – Setelah berpikir tentang mereka yang tewas dalam kerusuhan 22 Mei di Jakarta, saat pertengkaran soal pilpres itu, saya jadi berpikir rasa kemanusiaan kita sedang berada di titik nadir.
Di sebuah warung kopi, saya menceritakan seperti biasa di muka teman-teman saya yang suka berbicara tentang berita politik yang sampai sekarang masih hangat.
Bukannya saya apolitis. Saya jadi eneg mendengar beberapa desas-desus. Hanya puja-puji yang terlontar saat itu. Pujian itu diarahkan ke arah satu paslon.
“Saya percaya dia orang yang baik, kok.”
Saya langsung menyanggahnya. “Baik? Baik dari mana? Orang-orang dibiarkan saling serbu. Peperangan makin dikompori. Mereka berdua bau darah.”
Dia terdiam. Mendengarnya cerita seperti itu saya agak emosional. Sudah banyak orang-orang yang tewas karena pemilu. Data terakhir jumlah petugas penyelenggara Pemilu 2019 yang meninggal dunia terus bertambah.
Data sementara pada 7 Mei, secara keseluruhan petugas yang tewas mencapai 554 orang, baik dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun personel Polri.
Satu kematian adalah tragedi, selebihnya statistik. Kutipan itu dari Stalin. Mengapa harus meninggal sebegitu banyak? Memangnya pemilu adalah ladang pembantaian?
Entahlah. Enggan membahas itu terlalu jauh. Yang mengagetkan baru-baru ini adalah, seorang ibu yang menggendong bayinya di Tanjung Duren, Jakarta Barat, harus terjatuh karena kalungnya dijambret.
Padahal, ia menggendong bayi tepat di depan pagarnya bagian luar. Sepertinya orang jahat di muka bumi ini, lebih banyak beredar dari larangan soal mencuri dan menjambret.
Simak saja wawancara Ibu Alu (55), yang dikutip dari Detik. Bahwa awalnya penjambret itu dikira tukang ojek yang mencari alamat.
“Lagi gendong gini, dia (pelaku) itu jalannya pelan-pelan. Kirain ojek nyariin alamat,” kata Alu di lokasi, Kamis (2/7/2019).
Alu mengaku kalau ia sempat saling lihat dengan pelaku. “Jadi dia ngeliat saya, saya ngeliatin dia, dia jalan pelan-pelan. Saya lagi menghadap ke sini (rumah), terus saya putar balik mau jemurin belakang ini (punggung bayi) rupanya dia putar balik, langsung tarik gitu,” jelas Alu.
Saat ditanya soal bayi, Ibu Alu bilang tak apa. “Nggak pa-pa, beneran nggak pa-pa dia. Bener-bener dilindungi itu si dedek,” imbuh Alu.
Sementara Alu sendiri mengalami benjol di kepala dan pinggangnya sakit. “Kalau saya di sini (kepala) benjol, terus di sini (pinggang belakang) sakit. Tapi ini benjolnya sudah rata, nggak apa-apa lagi. Kalau kemarin itu benar-benar sakit,” tukasnya.
Saya tidak membayangkan Ibu saya adalah Ibu Alu. Rasanya campur aduk melihat sampai terjatuh seperti itu. Dalam jatuhnya, ia juga bertaruh nyawa untuk melindungi bayi.
Jika ia tidak sigap, kemungkinan terburuknya adalah, bayi itu bisa terlempar dan menghantam pagar. Setelah menghantam pagar, ia pasti jatuh dan otaknya bisa terbentur ke aspal.
Anda bisa membayangkan, bagaimana nasib anak itu? Apa efek yang paling terparah jika itu terjadi? Untung saja bayi itu sehat-sehat saja. Banyak sekali keberuntungan yang akan kita ucapkan, setelah mengorbankan satu hal untuk hal lain yang lebih penting.
Penjambret itu sekarang barangkali sudah senang. Mungkin, ia sudah menjual kalung curian itu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat atau bermanfaat. Ia barangkali berpikir dirinya adalah Robin Hood.
Sayangnya, Ibu Alu dan bayi yang digendongnya bukan penjajah yang bisa dirampas hartanya seperti yang Robin lakukan. Mereka manusia Indonesia yang utuh. Bahasanya dan budayanya tidak jauh beda dengan penjembret itu.
Saran saya untuk penjambret di seluruh Indonesia: kalau memang masih betah jadi penjahat jalanan seperti itu, minimal pakai hati lah. Mau jahatin orang lihat-lihat dulu.
Ini kan sudah gak beres. Sudah korbannya ibu-ibu, lagi gendong bayi, masih tetap diembat juga kalungnya. Situ punya otak dan rasa kemanusiaan kagak?
Tetapi, sebaiknya, lu berhenti deh dari gawean seperti itu deh. Kasihan gue lihat idup lo. Cari kerjaan lain dah! Seperti menulis tulisan ini, contohnya.