Lontar.id– Tersebutlah Kyai Saleh, setiap selesai maghrib, di sebuah masjid ia berceramah di depan murid-muridnya. Mereka adalah Ais, Tesa, Faris, dan Dani. Apapun yang ditanyakan oleh murid-muridnya, Kyai Saleh pasti bisa menjawabnya.
Dulu sekali, Ais pernah bertanya tentang bagaimana posisi calabai (sebutan untuk laki-laki yang keperempuanan dalam konteks Bugis) dalam Islam. Kyai Saleh dengan wajahnya yang sangat kharismatik menjelaskan konstruksi gender dalam suku Bugis dan posisi Islam terhadap adat.
Setahun yang lalu, Ais juga sempat mempertanyakan puisi Sukmawati yang sedang heboh di jagat maya. Meskipun anak sastra, pandangan Kyai Saleh amatlah penting bagi Ais sebab puisi itu menyentuh ranah agama Islam dan menjadi perdebatan di mana-mana.
Dengan tenang, Kyai Saleh menjawab bahwa puisi pada dasarnya mengandung makna mendalam. Sangat metaforis. Setiap puisi memerlukan penggalian teks untuk menemukan kedalaman dan maksud dibailk terciptanya sebuah karya sastra atau puisi.
Meski demikian, menurut Kyai Saleh yang menjadi masalah adalah dalam puisi Sukma yang berjudul Kidung Ibu Pertiwi, Sukma mempertentangkan simbol agama dan kebudayaan Indonesia, padahal dua budaya itu mampu saling bernegosiasi di Indonesia.
Akhirnya, beberapa kelompok merasa tersinggung bahkan ada yang merasa disakiti. Ada yang merespon biasa saja, namun ada pula yang menggap hal itu harus dilawan. Alumni 212 melaporkan Sukmawati ke polisi. Anggota PA 212 yang juga Sekjen Pembela Imam Besar Habib Rizieq, Dedi Suhardadi, mendatangi Bareskrim Polri pada 04/04/2018. Laporan Dedi diterima Bareskrim bernomor LP/455/IV/2018/Bareskrim dengan tuduhan penodaan agama sesuai Pasal 156 KUHP.
Selain itu, Sukmawati dilaporkan oleh Forum Anti Penodaan Agama. Laporan dengan atas nama Mursal Fadhilah diterima Bareskrim dengan LP/453/IV/2018/Bareskrim. Sebelumnya, TPUA dan GMII juga telah melaporkan Sukmawati.
Situasi yang semakin memanas kemudian menjadikan Sukmawati meminta maaf dan kasus penyidikan pun diberhentikan.
Dalam situasi itu, Kyai Saleh bersikap selow aja. Bagaimana pun menurutnya puisi tetaplah fiktif dan harusnya dibalas dengan puisi pula atau peranti sastra lain yang bersifat satire. Kyai Saleh mengungkapkan agar jangan sampai umat Islam dikoyak-koyak oleh emosi dan pada akhirnya justru menjatuhkan Islam.
Hari ini, terjadi peristiwa yang hampir serupa. Pelakunya juga sama yakni Sukmawati, putri sang proklamator, Soekarno. Namun, kasusnya bukan lagi tentang puisi, namun pidato yang sifatnya lebih ekstrem lagi dengan puisi sebab pidato bukan lagi sebuah fiksi. Pemaknaannya secara terbuka dan lebih berpeluang dimaknai langsung atau secara konotatif.
Kini, Sukmawati dilaporkan oleh Koordinator Bela Islam (Korlabi) atas dugaan penistaan agama. Awalnya, Sukmawati berbicara dalam diskusi ‘Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme’ pada Senin (11/11/2019).
Dalam pidato itu, Sukmawati mengatakan “Sekarang saya mau tanya semua, yang berjuang di abad 20 itu Yang Mulia Nabi Muhammad apa Ir Sukarno, untuk kemerdekaan? Saya minta jawaban, silakan siapa yang mau jawab berdiri, jawab pertanyaan Ibu ini,” tanya Sukmawati seperti dilihat dalam video tribuntimur.com
Namun, Kyai Saleh sudah tak bersama Ais lagi. Sang Kyai tetap ada, namun Ais yang pergi meninggalkan teman-teman mengajinya. Ia pergi melanjutkan sekolah di kota. Kepergiannya bukan berarti membuat Ais sepenuhnya meninggalkan Kyai Saleh dan teman-teman pengajiannya. Ia tetap bisa berkomunikasi dengan intens di era super modern ini.
Ada hal-hal yang hilang dari diri Ais saat pergi, misalnya seperti ia tak bisa bertemu dan bertatap langsung dengan Kyai Saleh. Alat digital tidak membuat Ais bisa sepenuhnya dekat. Oleh sebab itu, Ais tidak sepenuhnya mengandalkan alat digital itu, namun kali ini, Ais tidak bisa menunggu. Ia ingin bertanya pandangan Kyai Saleh perihal Pidato Sukmawati.
Ais pun menghubungi Kyai Saleh melalui aplikasi WA. Tanggapan Kyai Saleh cepat. Menurut Kyai Saleh, “Pernyataan Sukmawati secara historis tak salah, Nabi Muhammad memang hidup di abad yang berbeda dengan kita termasuk Soekarno. Tetapi membuat perbandingan antara Nabi dengan manusia biasa adalah kesalahan terbesar.”
Ais manggut-manggut membaca jawaban Kyai Saleh, sambil mengatakan dalam hati,” Bu Sukma kenapa ndak bikin puisi lagi aja sih, tapi yang lebih bersukma gitu.”