Lontar.id – Ekspektasi publik terhadap keterwakilan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) sangat besar. Mereka berharap, aspirasi untuk kepentingan daerah dapat terwakili di pusat. Namun sangat disayangkan, kewenangan DPD tidak terlalu besar ketimbang DPR sebagai pembuat undang-undang, anggaran (budgeting), hingga pengawasan.
Dengan kewenangan sebesar itu, para menteri dan dan dirjen bakal ciut ketika dipanggil DPR pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP). Terang saja, DPR bisa lebih aktif dan garang mengkritik kebijakan para menter, bahkan bisa memangkas anggaran. Sedangkan DPD, saat memanggil para menteri untuk hadir saat rapat, mereka terkadang ogah untuk hadir, jikapun hadir, hanya diwakili kepala bidang dan staf biasa saja.
Perbedaan perlakuan ini menimbulkan kerdilnya kewenangan DPD, padahal jika ditelisik lebih jauh secara peta geografi dukungan politik masyarakat di daerah, yaitu ada di DPD. DPD-lah yang lebih paham tentang kebutuhan daerah, tetapi kenyataannya berlainan. Justru DPR yang hanya mewakili beberapa bagian wilayah di daerah yang dijadikan sebagai ujung tombak mewakili suara daerah.
Ditambah lagi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, seakan acuh tak acuh menggunakan jalur DPD agar usulan daerah dapat disampaikan ke pemerintah pusat. Hal ini menjadi tantangan terbesar DPD di masa akan datang, DPD harus menjadi representasi daerah dalam menyampaikan aspirasi.
Persoalan inilah yang dipaparkan oleh Anggota DPD terpilih 2019-2024 dari Provinsi Sulawesi Selatan, Tamsil Linrung. Tamsil Linrung tak ingin publik beranggapan bahwa DPD sama sekali tak memiliki peran dan kerja sama seperti DPR. Sebab sejauh ini yang ia amati, selama menduduki kursi DPR, bahwa ada mis-komunikasi antara pemerintah daerah dengan DPD.
Kegagalan informasi ini mengakibatkan pemerintah daerah hanya fokus menyalurkan aspirasi daerah di DPR, padahal tugas dan fungsi yang sama juga dimiliki oleh DPD. Sehingga sejauh ini publik tak melihat peran signifikan dari DPD dan sangat jauh dari kritik media massa. Berbeda halnya dengan DPR yang mendapatkan porsi lebih besar diawasi oleh publik, bahkan jika DPR terlihat tidur saat rapat Paripurna bakal ramai dikritik.
Kenyataan berbeda dengan DPD yang bahkan sangat jarang sekali berkantor dan mengkuti rapat, publik malahan hanya diam dan tak menyoroti para anggota DPD.
“Pemerintah daerah ada wakilnya di pusat, yaitu DPD, kalau pemerintah provinsi dan daerah punya kesulitan untuk berkomunikasi dengan pemerintah pusat, menteri dan dirjen, misalnya terjadi gas yang langkah, ada pencemaran lingkungan limbah tidak ditangani secara baik, maka gubernur yang sudah menghubungi pemerintah pusat, maka disinilah peran DPD harus dimaksimalkan sebangai wakil daerah,” kata Tamsil Linrung dalam diskusi penguatan DPD RI, di Jakarta, Sabtu, (14/9/2019).
“Kita enggak mau terkesan makan gaji buta dan tidak ada kerjaan. Santai memang di DPD, enak gajinya sama dengan DPR. Tapi kewenangannya kurang kemudian tidak ada potongan dari partai, kalau keluar negeri tidak disoroti, kalau DPR ramai (dikritik),” ujar Tamsil Linrung.
Pemilihan Ketua DPD memang tak seramai dengan pemilihan Ketua DPR dan MPR, namun akan dilakukan pada saat bersamaan. Jika di DPR dan DPD menghembus isu, sejumlah partai ramai meminta jatah kursi pimpinan memalui lobi politik. Bahkan partai oposisi siap pasang badan merapat ke koalisi pemerintah jika jatah kursi pimpinan diperoleh.
Meski tak berbeda jauh dengan pemilihan pimpinan DPR dan MPR, peran partai politik di DPD tak terlalu nampak di permukaan, namun bermain di belakang layar. Seperti pertarungan dua faksi lama antara Oesman Sapta Odang (OSO) dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang tak kunjung selesai hingga akhir masa periode.
Di DPD sendiri muncul sejumlah tokoh yang mewakili wilayah Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Sebut saja di antaranya ada Jimly Asshiddiqie (DKI Jakarta), Abdullah Puteh (Aceh), Gusti Kanjeng Ratu Hemas (DI Yogyakarta), La Nyala Mattaliti (Jawa Timur), mewakili wilayah Indonesia Barat.
Lalu ada Fadel Muhammad (Gorontalo), Mahyudin (Kalimantan Timur), Abdul Rachman Thaha (Sulawesi Tengah), Nono Sampono (Maluku) dan Tamsil Linrung (Sulawesi Selatan).
Tamsil Linrung punya kapasitas mumpuni dalam memaksimalkan fungsi pimpinan DPD ke dépannya. Pengalamannya sebagai legislator DPR RI selama dua periode membuatnya paham dalam mensinergikan antara DPR dan DPD. Ia mengusulkan penambahan unsur pimpinan DPD dari empat orang menjadi lima orang. Menurut Tamsil Linrung, empat orang pimpinan DPD dianggap belum merepresentasikan seluruh keterwakilan dari daerah, sehingga ia memilih menambahkan satu lagi unsur pimpinan. Hanya saja, pada UU MD3 tidak mengakomodir penambahan unsur pimpinan.
“Kalau saya mengusulkan DPD ini mestinya ada keterwakilan dari lima gugusan keterwakilan, karena paling ideal sebenarnya. Kepemimpinan lima orang di DPD dapat mewakili Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara. Saya kira itu rekonsiliasi yang baik, namun sayang UU MD3 ini tidak terakomodir ide-ide itu, sehingga kita terima apa yang ada. Yaitu empat orang, saya kira itu cukup bagus, dua dari barat dan dua dari timur,” ucapnya.
Sejauh ini, berdasarkan pantauan Tamsil Linrung, terdapat sejumlah tokoh yang sudah muncul namanya sebagai calon pimpinan DPD, termasuk dirinya yang disebut-sebut di media massa. Menanggapi namanya yang turut meramaikan bursa calon pimpinan DPD, Tamsil Linrung mengaku siap memimpin kursi DPD berdasarkan pengalaman dan jejak rekamnya selama menduduki kursi di parlemen.
“Pimpinan DPD ada beberapa termasuk yang saya sebut, saya lihat di media termasuk saya di sebut-sebut, insya allah saya siap,” ujarnya.
Analis politik dari Voxpol Center Reseach and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menjelaskan, sosok Tamsil Linrung di DPD sangat representatif menduduki jabatan pimpinan. Sebab, Tamsil Linrung bukanlah bagian dari dua faksi politik yang saling berseteru dalam perebutan jabatan di masa lalu.
Tamsil Linrung adalah tokoh dengan pengalaman yang matang, karier politik yang bagus, sehingga memungkinkan dirinya bisa masuk kedalam dua faksi dan membangun komunikasi politik yang baik.
Namun, akan berbeda halnya jika salah satu gerbong OSO atau Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang akan menjadi pimpinan, maka gerbong yang kalah akan menggerogoti dari luar. Disinilah pentingnya Tamsil Linrung sebagai pimpinan DPD, karena bisa masuk kedua kubu dan tidak resisten dari dua kubu.
“Pak Tamsil kader PKS yang hari ini terpilih sebagai anggota DPD dengan lumayan besar suarannya. Itu modal beliau untuk konsolidasi dukungan beliau jadi pimpinan. Pak Pamsil pendatang baru dia saudara tua DPR, beliau ini bukan bagian dari faksi yang terjadi hari ini. Kalau faksi Pak OSO yang menang, ini akan digoyang oleh faksi bu Hemas, lalu sampai kapan? Pak Tamsil hadir bukan dari konflik masa lalu, beliau bisa masuk di siapapun,” ujarnya.
Penulis: Ruslan