Jakarta, Lontar.id – Sebagai seorang manusia yang pernah melihat
Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono berseliwer di televisi selama 10 tahun menemani mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudyono, saya merasa beruntung.
Ibu Ani setahu saya adalah perempuan yang murah senyum dan periang. Saya menikmati beberapa foto-foto hasil jepretan Ibu Ani sejauh ini. Ia beda dengan perempuan-perempuan atau ibu pada umumnya.
Dari Ibu Ani saya belajar, bahwa perempuan jika diberikan ruang yang leluasa, maka bisa menyalurkan bakat dan menghasilkan sesuatu yang lebih.
Saya memutar ulang satu wawancaranya dengan Rosi. Kehangatan keluarga Pimpinan Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sungguh terasa. Perbincangan ringan dan kadang berat menunjukkan, kalau keluarga mereka sungguh harmonis.
Masuk pada bagian tukang catat selama SBY kunjungan, Ibu Ani mengaku kalau ia adalah sekretaris paling pribadi bagi SBY. Ia bisa saja tak bekerja, namun ia memilih mengurus hal-hal yang detail yang bisa dikerjakan orang lain.
Jika SBY sedang lupa pada pertanyaan-pertanyaan masyarakat saat berkunjung ke mana saja, maka Ibu Ani yang mengingatkan. Ibu Ani adalah tipikal seorang yang perhatian. Apalagi menyangkut hal-hal soal negara.
Ia adalah first lady terunik menurut saya. Ia memanfaatkan betul media sosial dan media mainstream. Ia selalu membuat panggung sendiri, tanpa menggeser panggung orang lain. Membesar tanpa mengecilkan.
Hari ini, 1 Juni 2019, saya menerima kabar yang cukup mengagetkan. Eks Ibu Negara selama sepuluh tahun itu, meninggal. Ia melepaskan seluruh sakitnya dengan tenang dan menghadap pada peciptanya, bahwa tugasnya di dunia sudah selesai. Saya sedih.
Saya mengubek lagi media sosial Ibu Ani. Saya lihat wajahnya yang senang mengembang karena senyum. Sekarang, takkan ada lagi pembaruan kondisi soal sakitnya itu. Padahal saya berharap, ia bisa sembuh.
Didera sakit yang cukup ganas yaitu kanker darah, Ibu Ani masih saja menulis hal-hal yang menarik di Instagramnya. Kebiasaan Ibu Ani memang begitu. Meskipun Anda bisa bilang, saya cuma mengenalnya di sosial medianya. Tidak masalah.
“Alhamdulillah setelah 3 bulan tidak menghirup udara segar, hari ini saya diperkenan dokter keluar ruangan untuk melihat hijaunya daun, birunya langit dan segarnya udara walau hanya 1-2 jam. Terima kasih Ya Allah…. Semoga kesehatanku semakin pulih. Mohon doa teman-teman semua.”
Hati siapa yang tidak berempati saat Ibu Ani menulis kalimat seperti itu di Instagramnya? Ia tahu, ia sedang berjuang di jalan yang lebih menanjak dengan motor yang menggandeng ratusan kilo ransum, daripada jalan menikung politik kita dewasa ini.
Berbicara soal politik, saya ingin menyarankan kita semua, agar mengasah sanubari untuk mudah mengerti dan sedikit saja jika tak boleh banyak, untuk tidak bercanda soal isu sakit dan menderitanya lawan politik.
Kalau ia sakit, kita seharusnya mendoakan. Itu lain soal, jika ia berbohong. Jangan pukul rata jika satu manusia berdusta, maka seluruh manusia adalah pendusta.
Terpenting, kita sudah belajar bagaimana mengasah perasaan. Daripada menumpulkannya karena kondisi-kondisi politik yang runyam. Jangan sampai orang-orang akan meganggap kalau politik selamanya adalah merebut kekuasaan dengan jalan khianat atau berwarna hitam.
Belum lama, Ibu Ani diserang isu tak sedap bahwa ia dianggap sedang berpura-pura menderita. Saya tidak tahu, mengapa isu-isu remeh semacam itu bisa membesar di masyarakat sekarang?
Sebegitu parahnyakah situasi politik sekarang, sampai bisa mengacak-acak nilai kemanusiaan? Kita bisa memilih menjadi politisi, tapi, tidak manusiawi saya kira hal yang seharusnya dilenyapkan dari pilihan.
Lalu akhirnya, sikap SBY membuat saya paham, kalau hal seperti itu tidak untuk ditanggapi berlebihan. Meski saya tahu, ia pasti sedih menerima kenyataan bahwa isu itu akhirnya jadi kuda liar di atas papan catur.
Saya yakin benar, kalau SBY bisa saja melacak siapa gerombolan yang membuat isu itu berembus dan mengudara di ruang pekat politik. Ia bisa melapornya pada polisi, tetapi berhasil tidak dilakukannya.
SBY masih seperti dulu. Saat di sebelah Ibu Ani, ia bercerita, kalau ia difitnah dan dianggap tidak bekerja, maka tak boleh memolisikan mereka. Hatinya pernah bertempur, apakah ia harus menjerat perisaknya ke penjara atau tidak.
Ujungnya adalah, saya mendapati foto SBY menangis. Media merekam momen itu. Junjungan jiwanya pergi meninggalkannya ke tempat yang paling sepi. Besok, rencananya, ia mengantar pujaan hatinya di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
Semoga keluarga mereka diberi ketabahan dan diperbesar ruang keikhlasan dalam dada mereka. Dari semua keadaan yang saya ingat, tak mudah menjadi SBY. Semoga SBY masih tetap bisa sabar dan berpikir matang mengambil keputusan.
Ya, sekarang kita harus berubah. Menekan hasrat tidak manusiawi dan memperbesar empati. Mengikat pita hitam di hati kita pada momen tertentu sembari membaca Metode Menaklukkan Jiwa dari Al Ghazali.