Jakarta, Lontar.id – Kerja sama dengan perusahaan kapal laut untuk mengakomodir suporter PSM Makassar, berujung kekecewaan. Seperti biasa, suporter merasa dikibuli.
Sebagai awam, saya memang tidak tertarik membahas informasi awal soal kemurahan hati pemerintah Kota Makassar membantu para suporter.
Alasannya sederhana, saya nyaris tidak percaya kalau sekarang ini pemerintah di Makassar, jatuh bangun untuk peduli dengan kondisi sepak bola Indonesia.
Sudah lama sejarah mencatat, selepas Nurdin Halid dan era Ilham Arif Sirajuddin, tak ada yang betul-betul paham sepak bola dan lingkaran yang menghidupkan permainan itu. Terdengar muram, namun sebenarnya itu adalah hak mereka, mau mencintai olahraga rakyat tersebut atau tidak.
Jika tak ada perusahaan semen itu, maka PSM dipastikan tinggal nama. Jadi sejarah yang dibumihanguskan oleh orang-orang dari Sulsel sendiri. Tidak bisa kita, masyarakat Makassar, berharap banyak dengan politisi atau pemerintah.
Alasannya sederhana, sepak bola masih dianggap kurang efektif untuk merebut atau mengamankan kekuasaan. Barulah CEO PSM sekarang, Munafri Arifuddin memakainya untuk instrumen politiknya. Ia percaya. Itu sah-sah saja.
Politisi atau pemerintah kita itu, barulah peduli jika jelang pencoblosan–entah itu pilcaleg, pilwali, pilgub. Biasa, mental mereka memang baik jika ada maunya. Lepas kepentingan, jadi amnesia. Lupa atau mungkin pura-pura lupa.
Informasi itu pula yang membuat saya tersenyum kecut, saat beberapa suporter menyambutnya gempita. Dalam hati saya berujar, semoga ini bukan mainan. Kasihan pencinta PSM jika harus kecewa lagi.
Bagaimana tidak, narasi yang dikeluarkan pemerintah untuk membantu suporter sungguhlah seremonial belaka. Sumir. Dangkal. Seperti biasa, mirip-mirip pengguntingan pita yang disertai tepuk tangan. Ladalah. Lalu dilemparlah berita yang seakan-akan pemerintah kita itu peduli. Padahal?
Tidak dijelaskan lebih rinci soal dari mana dana pemerintah itu, seperti apa jalan bantuannya, bagaimana kerja samanya dengan suporter agar tiket tidak ludes, dan lain-lain. Ini hal krusial, kok informasinya remeh betul?
Saya lalu membicarakan hal ini dan bertanya dengan gamblang kepada Presiden Red Gank, Sul Dg Kulle. Saya disuguhi kopi Enrekang dan kue ulang tahun di ruang tamunya. Sambil ngudud sembari bercerita banyak hal, saya menyelipkan keluhan padanya.
Suporter seharusnya bisa introspeksi diri juga. Otokritik, bahasa saya padanya. “Sudah tahu pemerintah suka menjanji, seharusnya kita semua bisa mendalami persoalan janji itu.”
Pak Pres, sapaan saya padanya mengisap dalam rokoknya. Ia minum kopi dengan pelan. Ia diam. Lalu saya dorong lagi satu argumen, “tetapi pemerintah dan media juga harusnya bisa menjelaskan masalah ini. Jangan kasih informasi yang sepotong-sepotong.”
Di antara pembicaraan itu, saya berpikir soal bagaimana kalau setiap suporter seharusnya kritis pada janji manajemen dan pemerintah. Sebab mereka bukanlah penggembira belaka di stadion.
Mereka bisa membicarakan atau melempar wacana atau mengancam bahwa mereka bisa berbuat hal yang ekstrem jika keinginan mereka tak pernah dipenuhi. Ekstrem di sini bukan kerusuhan. Lebih jauh, mereka bisa berpikir sendiri apa isi satu kata berbahaya di atas.
Sul akhirnya berbicara, kalau sekarang memang suporter sudah banyak berubah. Tak ada lagi teror yang berarti selama beberapa tahun yang lalu. “Kayak melempem begitu.”
Sambil memeriksa ponselnya sesekali, ia bercerita kalau dulunya tak ada kamus suporter tua tak memberi efek jera pada tim. Apalagi Juku Eja sampai kalah. Makian kerap dilontarkan dan kritik keras pernah dilayangkan.
“Sekarang, kalah menang tetap cinta PSM. Ih, kita juga semua cintaji sama PSM. Tapi masa biar kalah juga tetap disanjung. Terus, kapan mereka mau introspeksi diri kalau begitu? Sudah lainmi pokoknya.”
Meski begitu, ia mengakui kalau dirinya terseret dalam arus perubahan gaya suporter masa kini. Lebih banyak di media sosial, menunjukkan diri, dan apalah kata yang pantas disematkan. Sul tidak memungkirinya.
Saya yang mendengarnya bertanya tentang bagaimana seharusnya sikap suporter untuk memberi psy war kepada pemangkukebijakan. Saya bilang kita semua harus punya nilai tawar. Membaca situasi, momen, dan kondisi.
“Ada banyak hal yang bisa menguntungkan. Jika kami berteriak, maka istilahnya, itu noise dalam marketing. Ada yang disorot, ia punya nilai meski negatif, tapi tidak selamanya tak bermuatan positif,” beber Sul.
Saya paham kata-katanya. Saya menunggu hal itu terlaksana. Kita sepertinya tak bisa lagi berdiam diri kalau terus dikibuli. Terus terbenam dengan janji-janji. Gerakan politik adalah jalan yang bisa merangsang dibuatnya kebijakan atau dipenuhinya janji.
Tetapi di balik itu semua, dalam permainan janji yang lebih seru dari sepak bola itu sendiri adalah, suporter akan ke mana dan menyiapkan akomodasi berapa jika di Jakarta?
Pada Rabu mendatang, 26 Juni 2019, PSM Makassar akan menjamu Becamex di Stadion Pakansari, Bogor. Pasukan Ramang butuh dukungan yang lebih besar lagi setelah kalah dengan skor 1-0 di Vietnam.
Masuk akal, sebab PSM butuh dua gol saja tanpa kebobolan di Bogor. Jika Becamex bermain efektif dan bertahan total, PSM bisa apa? Menyerang melulu dan menanti keajaiban? Kekuatan pemain ke 12, bisa bikin syok tim lawan. Menjatuhkan mental mereka.
Lebih dari itu, soal suporter, sekali lagi, Sul menjelaskan estimasinya. “Jika tiket tidak turun, tak ada kejelasan soal kerja sama dengan perusahaan kapal laut, suporter menghabiskan dana berapa?”
“Jakarta ke Bogor itu butuh dana tambahan lagi. Belum makan dan segala macam kebutuhan suporter per orang. Mereka mau andalkan siapa di ibu kota? Kalau tempat tinggal sih banyak. Kalau yang lebih dari itu?”
Saya manggut-manggut. Pertanyaannya masuk dalam kepala. Saya belum dapat jawaban sampai hari ini. Toh, suporter juga tidak semua bisa berangkat ke ibu kota. Tidak semua punya isi saku yang sama jumlahnya dengan yang siap ke Pakansari.
“Jalan terakhir adalah sila ketiga. Kita butuh dukungan dari teman-teman pencinta sepak bola yang lain. PSM bawa nama Indonesia.”
Omongan Sul jelas dan mantap. Hanya itu yang bisa dilakukan sekarang. “Semoga manajemen paham dengan kondisi ini, dan tidak memberatkan suporter dari klub lain untuk menonton pertandingan nanti. Mana tahu mereka mau mendukung PSM. Semoga saja.”