Lontar.id – Di Stadion Utama Gelora Bung Karno saat melawan Persija pada 21 Juli lalu, saya tidak menyukai permainan PSM. Tidak menarik. Bikin ngantuk.
Di grup Whatsapp karib saya sesama orang Makassar, PSM dihujat. Bahkan dibikinkan anekdot kalau Anda susah tidur, maka sebaiknya Anda menonton pertandingan Persija vs PSM.
Lucu dan agak ngilu membacanya. Tetapi sejujurnya, kemarin memang kedua klub tidak ada yang bisa dibanggakan dan dipuja-puja lewat permainannya. Semuanya tak jelas.
Untuk PSM, saya kasih pandangan pribadi dari saya. Pertama, PSM pada pekan lalu mainnya butut. Saya sampai menggerutu di kursi tim media di SUGBK.
“Ini klub apa sih? Mainnya gak jelas banget.”
Jelaslah saya marah. Tidak biasanya PSM bermain buruk seperti itu. Bahkan untuk menciptakan kesempatan saja sulit. Winger yang biasanya lincah, permainannya jadi gampang dimatikan.
Lini tengah yang padu seperti kebingungan membuka ruang dan menciptakan kreasi. Sisa Asnawi Mangkualam yang menonjol. Maaf jika saya salah. Kita boleh berbeda, bukan?
Mengapa Asnawi? Dia yang terus-menerus mendobrak lini pertahanan Persija. Ada hal yang cerah saat melihatnya berlari di lapangan hijau. Dia masih muda dan punya kekuatan di antara seniornya.
Jika boleh berharap, semoga sampai beberapa tahun ke depan, saya masih bisa melihat kilaunya sebagai orang yang membela klub kebanggaan anak-anak Sulawesi Selatan.
Selebihnya, tak ada pemain yang bisa diberi bintang 8. Saya gemas. Kecewa. Bola sering putus dan direbut pemain Persija. Berkali-kali hal itu terjadi. Apa yang diandalkan?
Begitu juga Persija. Mainnya butut. Tidak enak ditonton. Golnya juga bisa dibilang gol beruntung. Bukan seperti yang biasanya mereka tampilkan, dari kaki ke kaki.
Toh belakangan hal itu disoal oleh pelatih PSM, Darije Kalezic, sebab proses gol diawali dengan kesalahan pengadil pertandingan. Jika tak percaya, tengoklah berita arus utama.
Saya juga mendengar hal itu keluar langsung dari mulutnya di ruang jumpa pers di GBK. Tetapi saya tidak ingin menulisnya utuh, cukup saja saya bilang kalau saya ada dan bukan penonton layar kaca–biar tidak dirisak netizen budiman yang away day.
Pemain bertahan Persija juga tidak hebat-hebat amat. Beri saya kata yang bagaimana contoh hebat itu setelah Macan Kemayoran bermain buruk di Liga 1 2019 serta di AFC?
Saya mengimbau agar kalian yang membaca bisa objektif dan realistis menghitung kelas dan rasio kehebatan kedua klub. Intinya PSM berada satu atau dua tingkat di atas klub kebangaan Bambang Pamungkas.
Cara menilainya cukup mudah, pertama dua hal di atas. Serta sepeninggal pelatih yang membawanya juara. Musim lalu memang Persija seperti macan kelaparan yang siap menerkam siapa saja.
Musim ini, karena sudah kenyang, bergerak saja malas. Melihat sindiran suporter PSM yang menyebut Persija macan di Jakarta dan jadi kucing di Makassar, saya kira masuk akal.
Memang Ismed Sofyan dan kawannya bisa apa di tengah lautan merah dengan tenaga mereka yang payah karena kekenyangan setelah dapat trofi? Main di kandang saja dia memble.
Cukuplah saya meremehkan kekuatannya. Kembali seperti judul, pada akhirnya semua punya peluang untuk menang dan kalah kok. Toh, itu hanya hitungan di atas kertas. Bola masih bundar, belum menjadi kotak.
Kesempatan Persija angkat piala dan mempermalukan anak-anak Makassar dikandangnya lebih besar. Sebab, PSM ya begitu, menebar pesimis di laga awalnya. Huft.
Loh loh, kok bisa?
Pertama, PSM bakal kalah di Makassar kalau Darije dan anak asuhnya masih main ngeyel seperti leg pertama. Benar, jika kemarin Rahman dan Evans main di bawah performa, PSM sudah binasa di Jakarta.
Masih banyak pemain yang lebih bagus di PSM dari yang biasanya Darije turunkan. Semoga Darije memilih pemain dengan tepat untuk dimainkan saat pluit awal hingga akhir dibunyikan.
Kedua, PSM bakal kalah di Makassar kalau perangkat pertandingan seperti wasit dan kawan-kawannya tidak adil dalam memimpin pertandingan. Baik menguntungkan Persija pun PSM. Jika menguntungkan PSM, menangnya jadi abu.
Apalagi laga ini dipastikan panas di tribun penonton dan di lapangan. Emosi akan bercampur aduk. Alasannya, insiden demi insiden tidak mengenakkan terjadi. Terlalu banyak orang fanatik buta di Indonesia– fanatik klub, fanatik agama dan fanatik lainnya.
Awalnya ada pelemparan botol di Jakarta. Saya yang menonton juga kena air. Lalu sikap barbar ditunjukkan pula di Makassar dengan pelemparan bus pemain Persija di Makassar.
Dia kira, melempar botol di GBK dan melempar batu di beranda Stadion Mattoanging, itu hebat karena dipuja segelintir orang. Selebihnya apa? Memalukan dan bisa mengorbankan persaudaraan. Intinya, wasit harus jeli memimpin pertandingan ini karena sebab di atas.
Ketiga, PSM bakal kalah di Makassar kalau suara suporter Persija lebih bising dari suara suporter Makassar. Di Jakarta saja, suara suporter PSM lebih nyaring. Tak percaya? Cek di mesin pencari.
Terakhir, PSM dan Persija akan kalah bersamaan jika pertandingan ricuh. Bubarkan saja pertandingannya kalau suasana tak kunjung kondusif. Lebih baik laga ini ditunda dan dipindahkan ke tempat lain sambil menunggu suasana dingin, daripada kalah dan menang, suporter dan pemain jadi tumbal.
O ya, orang yang melempar itu bukan kampungan. Hal-hal yang buruk semua dilempar ke desa. Berhentilah memakai diksi berbahaya begitu. Jangan karena Anda orang kota, lantas Anda menjadi superior dari saudara-saudara kita yang ada di desa.
Satu kali kamu perlu ingat soal Tragedi Heysel yang saya tulis sebelumnya. Kericuhan itu dilakukan di Eropa, tempat pendidikan dan penelitian banyak dilakukan. Emosi itu tidak memilih di dada orang kampung dan kota kah, ia akan bersemayam.
Hidup bukan cuma soal kalah dan menang bro. Catat! Ini sepakbola, alat hiburan mayoritas rakyat dan bukan politik praktis.