Lontar.id – Menyaksikan pertandingan penuh drama antara PSM Makassar vs Becamex Binh Duong dalam perhelatan AFC, membuat saya agak emosional. Tertawa terbahak, mengecutkan muka, dan sedih–bercampur jadi satu.
Saya pikir, PSM akan memenangkan pertandingan itu dan melangkahkan kakinya ke final melawan Hanoi FC, salah satu dari perwakilan Vietnam juga. Alasannya sederhana: PSM sudah sangat siap, dan penonton sudah sangat total.
Selama pertandingan berlangsung, koreo dan teriakan para pendukung PSM di Stadion Pakansari bergema. Bangku saya agak jauh dari tempat mereka beraksi. Saya berdiri sambil melipat tangan di dada di tribun khusus jurnalis.
Awal babak pertama, PSM bermain sangat buruk. Ada beberapa kesempatan, namun entah kenapa melihat satu striker gundul berbadan besar dari PSM, saya agak kecewa. Namanya Eero Markkanen.
Selain itu, Abdul Rahman juga bermain tidak seperti biasanya. Bek tengah asal Sidrap tersebut tampak kewalahan menghalau pemain Becamex yang bernomor 10. Kalah duel–lari dan body charge.
Kritik itu biasa bagi pemain sepak bola. Saya mendengar olok-olok dan ketidakpercayaan dua kawan saya pada Rahman. Pemain berpostur tinggi besar itu memang tidak diandalkan oleh mereka.
Satu kawan saya menganggap kalau Rahman payah. Dari dulu, ia sudah tidak yakin kalau Rahman akan nyetel dengan PSM. Katanya, pengalaman Rahman dinilai kurang baik di klub sebelumnya.
“Dari awal memang saya tidak suka. Lihat saja di Bali United, ia sering jadi penghangat bangku cadangan.”
Saya yang mendengarnya hanya bisa terdiam. Saya berbeda pandangan darinya. Rahman dalam pertandingan sebelumnya bermain cukup bagus. Tetapi kemarin, ia benar-benar payah.
Penyakit PSM, dari dulu, memang cuma satu: tidak konsisten bermain. Kalau bukan pemainnya yang mengecewakan, pasti dari strateginya. Menghajar Rahman dengan kritik. saya kira itu juga baik. Toh, suporter juga sudah berharap banyak darinya.
Teman saya satunya juga langsung menyahut. “Bek apa inikah? Lambasa-nya larinya. Selalu kalah duel. Masa nomor 10 saja tidak bisa dia jaga?”
Saya tertawa kecut dan membenarkan kritik pedas itu. Kami bertiga wajib deg-degan, sebab PSM harusnya bisa menjaga kedalaman pertahanannya. Memperkokoh kekuatan Rivky Mokodompit demi menjaga gawang agar tidak kebobolan.
Antara percaya dan tidak, jika Anda benar-benar menonton pertandingan kemarin, Klok harus sampai turun terlalu jauh mengamankan pertahanan. Jika kalian pikir pertahanan baik-baik saja, lalu ngapain Klok bekerja ekstra kemarin, heh?
Akhirnya, kesialan, petaka, kutukan pada menit akhir babak pertama datang. PSM kebobolan. Wander Luiz, si pemilik nomor punggung 10 itu memasukkan bola. Sundulan kerasnya pada bola, tak bisa dihalau oleh sesiapa pemain PSM.
“Saya bilang memang. Bahaya ini pemain. Tidak ada juga bek yang bisa tutup pergerakannya. Sudah dari tadi memang dia mau cetak,” kata kawan saya, yang sempat mengkritik cara bermain Rahman.
Satire kedua kini dialamatkan oleh kawan saya kepada Markkanen. Memang ia agak jengkel. Terang saja, ia lebih memilih Darije memasukkan nama Guy Junior di sana. Katanya Guy matang, berani berduel.
Markkanen diolok dengan kalimat, “ini orang badannya liga Eropa, kualitas liga Ramadan. Tidak bisa duel. Selalu menunggu bola. Lambat. Peluang selalu disia-siakan. Siala’. Sambei saimi itu Darije.”
Bahasa Makassarnya keluar, yang artinya, sialan, tolong diganti saja pemain itu, Darije. Saya juga, sejujurnya cukup jengkel pada pemain yang dielu-elukan karena dari Real Madrid B itu.
Alasannya sederhana: PSM sedang butuh banyak gol, dan mainnya, aduh! Heading-nya banyak yang lemah. Giliran pegang bola, ia tidak bisa apa-apa selain mengoper kawannya yang lain, atau direbut seketika.
Makian itu hanya sehari saja, Percayalah, kawan-kawan. Sebab saya tahu, Markkanen sudah berbuat banyak demi PSM. Ia sudah mencetak banyak gol. Namun entah mengapa, kemarin, mainnya teramat sangat buruk.
Kawan saya protes lagi. “Kenapa tidak dikasih masuk saja itu Ferdinand sama Zulham, kah? PSM sekarang butuh striker cepat untuk mendobrak. Ya kalau semua bola bertumpu pada Rahmat, dia juga kesulitan.”
Sewaktu Ferdinand pemanasan, banyak suporter yang mengelu-elukan namanya. Ia memang jadi pemain yang paling ditunggu-tunggu. Meski kemarin, ia sempat mengeluarkan statemen tak sedap di instagramnya.
Rahmat cukup sulit bergerak. Ruang geraknya ditutup pemain bertahan Becamex. Ia tampak ragu-ragu penetrasi. Alhasil, bola sering ditarik kembali, lalu diumpankan pada Markkanen, yang permainannya, duh, hm, sudahlah.
Permainan berubah pada babak kedua, setelah Guy Junior dan Zulham Zamrun masuk, lalu Ferdinand Sinaga menggantikan Abdul Rahman yang sudah kepalang dihajar netizen di media sosial. “Kenapa tidak dari tadi mereka semua dimasukkan?”
Permainan PSM menjadi lebih hidup sewaktu mereka semuanya bermain. Entah karena Becamex yang bertahan total atau serangan PSM yang terus membaik? Saya juga tidak paham menilai itu, kawan-kawan.
Saya pribadi menganalogikan permainan PSM kemarin seperti motor vespa: lambat panas. Saat panas, barulah motor terus sangat nikmat untuk digeber. Kalau tidak percaya, coba tanyai pengendara vespa, mana tahu saya yang sok paham dengan momotoran.
Akhirnya dua gol dilesakkan Pasukan Ramang. Satu gol bunuh diri, dan satu gol dicetak oleh Aaron Evans. Sayangnya itu tidak cukup. Seperti diterima oleh seorang lelaki atau perempuan untuk dijadikan pacar, lalu diselingkuhi saat itu juga. Ngeri-ngeri sedap.
Dalam hati saya membatin, “siala, gagal lagi. Kecewa lagi. Menunggu momen lagi. Selalunya begini PSM.” Lebih dari itu, saya juga bangga, karena permainannya atraktif dan menarik. Saya memupuk percaya kepada Darije Kalezic.
Pluit panjang ditiup. Pemain PSM mengelilingi lapangan. Sorak-sorai terdengar. saya keluar dari tribun. Terdengar tepukan viking yang dilakukan suporter.
“Kalian tidak pernah sendiri, PSM. Semoga suatu saat, saya bisa melihat seluruh pemain dan ofisial kalian, menangis bahagia karena juara dan angkat piala. Semoga kalian tahan kritik dan ingin berbenah.”
Setidaknya saya bisa berharap di semi final Piala Indonesia. Jika Juku eja dipecundangi lagi, masih ada Liga 1. Jika menjadi klub gurem lagi di sana, artinya saya harus banyak bersabar. Bagaimana dengan kalian, kawan-kawan?