Oleh : Muhammad Syafitra S.Pd(Guru Honorer PPKn di SMA Islam Athirah Bukit Baruga)
Kekerasan dan kecurangan menjadi kebiasaan dalam sepak bola Indonesia. Keduanya seakan menjadi aktivitas rutin sampai masyarakat menganggap hal itu lumrah terjadi di sepak bola.
Lihatlah apa yang terjadi dalam berbagai tingkatan turnamen yang dilaksanakan, justru berita-berita yang tersampaikan dari kompetisi itu lebih banyak pada kerusuhan, ketakutan pemain yang bertandang, skandal pengaturan skor hingga pada kepemihakan wasit pada tuan rumah.
Teranyar, masalah bisa dilihat dari penundaan laga final piala Indonesia antara PSM Makassar versus dengan Persija. Seyognya dilaksanakan pada hari Minggu kemarin, tiba-tiba menjelang dua jam pertandingan dimulai, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) mengambil sikap untuk dijadwalkan ulang pada hari Selasa mendatang.
Penundaan itu tak lepas dari tindakan terror yang dilakukan oknum untuk membuat tim lawan menjadi ketakutan dan pada akhirnya mereka memilh walk out dari pertandingan, walaupun tim tuan rumah dari PSM hingga aparat keamanan memberi jaminan bahwa situasi akan berjalan dengan kondusif.
Ketidakpercayaan tim lawan dan PSSI mengambil kesimpulan utnuk ditunda, alhasil membuat kecewa seluruh penonton, panitia pelaksana, hingga pemain yang sudah siap bertanding di kancah tertinggi di turnamen tertuah tersebut.
Selain itu, masih ingat dengan kasus pengaturan skor antara PSS Sleman melawan PSIS yang dimenangkan oleh PSS Sleman dengan skor 3-2 atas PSIS? Kemenangannya kontroversial, sebab kelima gol dalam pertandingan tersebut berasal dari gol bunuh diri.
Itulah cerminan sepak bola Indonesia. Bukan sportivitas atau kejutan-kejutan untuk meraih prestasi membanggakan, melainkan kecurangan dan kekerasan yang kerap menguasainya di lapangan maupun di luar lapangan, oleh seorang kelompok ataupun individu yang disebut dengan oknum.
Atas pelbagai fakta tersebut, rasanya masyarakat Indonesia sudah bosan jika terus-terusan kita menyerukan agar PSSI dibenahi bahkan direformasi.
Sebenarnya, apa yang salah sehingga hal seperti itu terjadi? Legenda sepak bola Jerman, Franz Beckenbauer pernah berkata sepak bola adalah cerminan sebuah bangsa. Jika dihubungkan dan diamini, bisa disimpulkan kalau kondisi pesepakbolaan Indonesia sedang merosot.
Pada akhirnya, hal itulah yang mendorong manusia untuk menghalalkan segalanya, termasuk ketika menghilangkan nyawa manusia serta mengeruk keuntungan untuk memperkaya diri melalui jalan pintas.
Lebih mengerikan lagi, perilaku seperti itu terkadang secara terbuka dipertontonkan di hadapan ratusan jiwa penduduk Indonesia. Dari jutaan jiwa tersebut, mungkin ratusan ribu di anataranya adalah anak-anak yang bisa jadi merupakan calon generasi penerus pemimpin.
Logika sederhananya adalah setiap timbul masalah pasti ada akar penyebabnya. Tetapi, jika akar penyebab itu tidak ditemukan dan dipotong, maka masalah tersebut akan terjadi terus-menerus. Makanya, atmosfer sepak bola Indonesia selamanya akan sakit.
PSSI sebagai induk sepakbola Indonesia mesti mengubah pola pikirnya. Bukan bekerja dengan dasar kepetingan, tapi bekerja dengan tulus bahwa sepak bola adalah olahraga yang penuh keindahan dan kejujuran.
Namun jika berpikir sepak bola hanya urusan menang dan kalah maka disitulah terjadi praktik mafia yang berakibat pada kerusuhan, hingga mengarah pada bentuk kekerasan yang berakibat pada kerugian bagi semua—seperti divakumkannya sepak bola kita pada 2015 lalu.
PSSI sekarang harus memposisikan dirinya sebagai seorang ayah yang mempunyai kemampuan bisa mengarahkan dan berbuat adil pada anak-anaknya. Jika anaknya berbuat curang, maka sang ayah akan memberikan sanksi tegas bagi anak tersebut tanpa pandang bulu.
Legenda sepak bola Portugal, Luis Figo pernah membuat sebuah ungkapan bahwa, “FIFA telah kehilangan kredibiltas di tengah skandal korupsi dan nepotisme.”
Ungkapan dari Luis Figo, tidak jauh berbeda yang terjadi di tubuh PSSI yang mungkin menjadi faktor utama dari Menpora, sehingga mengeluarkan SK Pembekuan kepada Induk tertinggi sepak bola di Indonesia sewaktu 18 April 2015, saat PSSI sedang melakukan Kongres Luar biasa di Surabaya, Jawa Timur.
Tujuan dari pembekuan PSSI ini tidak lain untuk memperbaiki persepakbolaan Indonesia. Sebelum diberikan pembekuan tersebut, PSSI telah mengkonfrontasi Menpora dengan tidak mengindahkan peringatan Menpora serta mengabaikan hasil verifikasi BOPI.
Sampai saat dipulihkan, keadaan tak jauh berbeda. Masyarakat Indonesia matig dipertontonkan drama konflik internal. Alih-alih memikirkan perkembangan sepak bola Indonesia, justru adu kepentingan antarkelompok yang ditonjolkan.
Kita pantas bilang jika federasi sepak bola kita sekarang berada di titik nadir. Sebab Indonesia pernah menjadi macan sepak bola Asia. Namun, itu dulu sekali.
Terbukti pada tahun 1998, Indonesia pernah menduduki peringkat ke-76 rangking FIFA. Peringkat Itu terbaik Indonesia sepanjang zaman. Berdasarkan daftar peringkat FIFA per April 2015, Indonesia berada di peringkat ke-159, berada di bawah Timor Leste di peringkat 152.
Sekarang, jangankan bersaing di Asia, menjadi yang terdepan di Asia Tenggara saja hampir mustahil diwujudkan. Di piala federasi sepak bola Asia Tenggara 2014 misalnya, Indonesia bahkan tidak lolos dari fase grup.
Saat itu, Flipina meraih kemenangan pertamanya atas tim nasional sepak bola Indonesia. Sungguh memalukan. Kini, sepak bola Indonesia ibarat miskin prestasi dan hanya kaya konflik.
Sekarang waktunya berbenah memperbaiki semuanya. Penulis yakin, setelah dilakukan, prestasi sepak bola kita akan terus merangkak naik. Hanya orang-orang pesimislah yang tidak menginginkan hal itu terjadi.