Lontar. id – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta akan segera menyidangkan gugatan Tim Pembela Kebebasan Pers, terhadap kebijakan pemerintah, terkait pemutusan akses internet di Papua saat kejadian rusuh Agustus lalu.
Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) beserta SAFEnet sebagai penggugat, dengan LBH Pers, YLBHI, Kontras, Elsam dan ICJR sebagai kuasa hukum, mengajukan gugatan ini pada pekan lalu, dengan nomor perkara 230/G/2019/PTUN-JKT.
Dalam proses dismisal atau pengecekan kewenangan pengadilan, hari ini, Senin (2/12/2019), majelis hakim PTUN Jakarta menyatakan, gugatan Tim Pembela Kebebaran Pers adalah kewenangan pengadilan TUN. Sehingga hakim bisa menyidangkan perkaranya.
Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, melalui rilis tertulis mengatakan, proses dismisal ini menggunakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) baru Nomor 2 tahun 2019. Gugatan ini merupakan yang pertama menggunakan dasar gugatannya sejak Perma ini terbit.
“Segala tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hukum itu akan beralih pada kewenangan pengadilan TUN, tadi majelis hakim sudah menyatakan ini adalah kewenangan pengadilan tata usaha negara dan selanjutnya mereka akan menunjuk hakim menyidangkan perkara ini. Artinya dalam kewenangan pengadilan ini sudah selesai dan ini adalah kewenangan tata usaha negara,” bebernya.
Ade berpendapat bahwa tindakan pemerintah terhadap pemutusan akses internet di Papua dan Papua barat, tidak berdasar hukum dan melanggar hukum. Tindakan tersebut juga merugikan kebebasan pers, serta kebebasan berekspresi secara keseluruhan.
Sidang dismisal itu, menurut Ade, adalah proses yang legal konstitusional. Sehingga seharusnya perwakilan seluruh tergugat hadir di persidangan.
Sayangnya, perwakilan pemerintah yang hadir hanya Kementerian Komunikasi dan Informatika selaku tergugat dua. Sementara tergugat pertama Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), tidak mengirimkan perwakilannya.
“Kami sangat menyayangkan karena ini adalah proses yang legal konstitusional di pengadilan. Kalau mereka (Pemerintah) anggap tindakan tersebut sebagai tindakan yang taat hukum, harusnya datang ke persidangan,” ungkap Ade.
Sementara, Ketua AJI, Abdul Manan, berpendapat bahwa gugatan ini akan menjadi preseden baik bagi pihak yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Pemblokiran internet di Papua menurut Abdul Manan sangat merugikan.
“Pertama karena kita menganggap tindakan memblokir internet dengan kebijakan yang tidak pantas itu yaitu hanya mengeluarkan siaran pers menurut saya itu tidak proper untuk sebuah kebijakan yang berdampak sangat besar kepada kehidupan publik,” katanya.
Dengan pemblokiran tersebut, pemerintah dinilai telah mengambil hak masyarakat untuk mengetahui informasi.
Jika memang kebijakan itu perlu dilakukan, menurut Manan, sebaiknya, pemerintah mesti menyiapkan dasar hukum yang lebih kuat dari sekedar press release.
“Kedua Saya kira kita juga ingin melakukan koreksi kepada pemerintah bahwa pemblokiran bukan tidak boleh dilakukan tapi kita ingin memastikan bahwa pemerintah pemblokiran itu dilakukan dengan cara yang cukup akuntabel misalnya pemerintah harus mempersiapkan argumentasi yang cukup kuat kalau bisa melalui pengadilan untuk melakukan tindakan semacam ini,” katanya.
Senada dengan Manan, Direktur Eksekutif Safenet, Damar Juniarto menilai pemutusan akses internet di Papua pada saat rusuh Agustus lalu, merugikan masyarakat secara luas.
“Tanggapan dari pemerintah agak mengecewakan karena sampai hari ini kami tidak menerima jawaban terhadap keberatan tersebut. Proses lanjutan dari proses keberatan sebelumnya ya ke pengadilan proses pertanggungjawaban,” katanya.
Kata dia, pemutusan akses internet oleh pemerintah di Papua, bahkan telah menjadi sorotan forum internasional yang diikuti Safenet baru-baru ini.
“Tindakan ini dikecam oleh dunia internasional sebagai cara-cara baru pemerintah untuk merepresi masyarakat dalam mengontrol informasi. Kita tidak ingin pemerintah lari dari tanggung jawab,” tutupnya.