Lontar.id – DPR telah menyepakati langkah untuk merevisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Revisi UU KPK dinilai akan membatasi kewenangan lembaga antirasuah dalam menangani kasus korupsi yang menjerat sejumlah pejabat negara.
Kewenangan KPK yang bakal dipersempit melalui revisi UU ini seperti melakukan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan semakin dipersulit karena harus seizin dewan pengawas yang dipilih oleh presiden bersama DPR.
Mantan Ketua KPK Abraham Samad menganggap proses revisi UU tersebut telah direncanakan untuk melumpuhkan KPK.
Menurut Abraham, ada enam point krusial dari rencana revisi Undang-undang KPK. Beberapa di antaranya akan membuat KPK Mati Suri. Pertama, KPK hendak dimasukkan sebagai lembaga penegak hukum berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan atau di bawah Presiden. Sedangkan pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan perundang-undangan.
Kedua, masalah penyadapan. Revisi ini menghendaki penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas KPK. Ketiga, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain sesuai hukum acara pidana.
Keempat, setiap instansi, kementerian, lembaga wajib menyelenggarakan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara (LHKPN) sebelum dan setelah berakhir masa jabatan. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja KPK.
Kelima, ada organ bernama Dewan Pengawas KPK yang bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang ini dibantu oleh organ pelaksana pengawas. Keenam, revisi membolehkan KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun KPK Mati Suri.
“Point revisi pertama, kedua, kelima dan keenam, jelas akan membuat KPK Mati Suri. Mengapa? Siasat Pertama, jika KPK berada di bawah struktur kekuasaan eksekutif, maka status independen KPK otomatis hilang. Padahal independensi menjadi syarat kunci tegaknya sebuah badan/lembaga antikorupsi.”
“Ketika KPK berada di bawah eksekutif, maka KPK akan bekerja mengikuti program-program eksekutif, seperti kementerian atau badan lain yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Pada situasi ini KPK akan mengalami konflik kepentingan dengan agenda pemerintah yang rentan praktik tipikor,” kata Abraham lewat keterangan persnya.
Bersatu Melawan
Wakil Ketua KPK Saut Sitomurang juga menunjukkan reaksi keras. Ia mengatakan, jika UU KPK direvisi maka dirinya tak segan melakukan perlawanan dengan berbagai upaya sesuai dengan konstitusi.
Pada aksi yang digelar oleh ratusan pegawai KPK di Gedung Merah Putih, Jumat (6/9/2019), Saut Sitomurang menyampaikan agar semua pihak turut membantu memperkuat kedudukan KPK dengan mengajaknya bersama-sama melawan.
“Jangan pernah berhenti, jangan pernah takut. Lawan,” kata Saut.
Saut mengutip piagam yang dikeluarkan Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 2003, dalam salah satu poinya berbunyi setiap negara harus mendirikan badan anti korupsi yang bebas dari kepentingan dari pihak manapun.
Kepentingan kelompok tertentu akan sangat mudah menyusup di lembaga antirasuah, karena sejumlah kewenangan KPK dibatasi dan harus mendapatkan izin penyadapan dari dewan pengawas dan Kejaksaan Agung. Hal itu sangat berpotensi bocornya informasi penting yang akan mengganggu kerja KPK.
Saut Situmorang menilai penyadapan KPK sangat penting untuk menjerat pelaku korupsi, namun dalam draf revisi UU KPK, kewenangan penyadapan harus ada izin.
“Tidak boleh ada pengaruh-pengaruh yang tidak penting, apakah penyadapan itu penting? Penting (jawab peserta aksi). Tidak boleh dilarang, apakah 9 rekomendasi itu penting? Tidak penting, karena tidak berkaitan dengan pencegahan korupsi,” terangnya.
Sementara Pegawai KPK Henny Mustika Sari menyayangkan adanya revisi UU KPK, sebab membuat tugas dan kewenangan KPK semakin tersudutkan. UU KPK Nomor 30 tahun 2003 sejatinya untuk menjaga marwah lembaga antirasuah untuk bekerja sesuai dengan koridornya dan tetap menjaga independensi
Dalam catatan Henny Mustika Sari, pelemahan KPK bukan saja baru sekali ini dilakukan, namun sudah berkali-kali. Untuk itu, ia menyampaikan pada Presiden Jokowi agar menolak dilakukan revisi termasuk mencoret sejumlah nama calon pimpinan KPK yang terindikasi bermasalah pada integritas.
Terkait 10 nama yang diusulkan oleh panitia seleksi KPK ke Jokowi, dan kini nama tersebut telah berada di meja DPR untuk dilakukan proses selanjutnya yaitu fit and proper test. DPR akan memilih 5 nama yang akan menjadi komisioner KPK periode 2019-2023.
Respons Para Mantan Pimpinan
Abraham Samad bersama tiga mantan pimpinan KPK lainnya menentang keras berbagai upaya mematikan KPK. Menurutnya, KPK seakan direncanakan untuk berbenturan dengan Kejaksaan yang memang design konstitusionalnya berada di bawah Presiden, dalam “perebutan pengaruh”. Pada akhirnya jenis kelamin KPK akan berubah menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, semata mengerjakan tugas pencegahan korupsi saja, tidak lebih.
Sementara, Busyro Muqoddas mengatakan, pengabdian nan tulus jajaran KPK sejak 17 tahun yang lalu hingga ini, semata untuk membebaskan ratusan juta rakyat yang dimiskinkan oleh Gang Mafia Koruptor.
“Semua fraksi di DPR sepakat membunuh KPK. Merekalah pembunuh rakyat. Ketum-ketum parpol paling bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan ini.”
Mantan Pimpinan KPK M. Jasin menganggap, saat ini momentum untuk melemahkan KPK sudah dapat jalan yang mulus.
“Dengan diserahkannya nama-nama calpim KPK yang track record kurang bagus, dan justru itulah dugaan saya orang-orang akan dipilih. Ditambah lagi semua fraksi setuju amandemen UU KPK yang dugaan saya bermaksud untuk mengurangi kewenangan KPK sehingga keberadaannya hanya sebagai simbol saja, tapi tidak melakukan pemberantasan korupsi Harapan terakhir hanya kepada Presiden bila masih berpihak terhadap agenda pemberantasan korupsi nasional yang pernah Presiden canangkan, maka hendaknya mengulur lagi persetujuan untuk amandemen UU KPK tersebut.”
Senada, mantan pimpinan KPK Haryono Umar mengatakan, seharusnya UU 30 tahun 2002 tidak perlu direvisi, mengingat KPK selama ini mampu menjalankan tugas dan mencapai kinerja yang luar biasa.
“Perubahan UU KPK hanya akan mengurangi independensi KPK dan tidak efesien serta efektif dalam pemberantasan korupsi,” terangnya.
Penulis: Ruslan