Jakarta, Lontar.id – Setelah Riedl mengeluarkan keputusan tak ingin memakai jasa Rasyid di PSM, saya kira itu bukan alasan yang tepat. Tenaga dan semangat Rasyid masih dibutuhkan saat itu. Ia harus terus berada di PSM.
Sekarang, jauh setelah Riedl pergi, saya jadi bertanya-tanya, sampai kapan Rasyid jadi penghangat bangku cadangan? Adakah ia tidak ditawari kontrak dari klub besar di liga Indonesia?
Rasyid adalah sejarah dan masa depan PSM sekaligus. Ia adalah satu warna yang belum bisa digantikan oleh siapapun sekarang. Namun, jika dalam kotak krayon ada satu warna yang jarang dipakai untuk memulas gambar, tepat gunakah itu?
Saya pribadi itu adalah tidak tepat. Tentu saja saya memilih warna yang menarik bagi saya. Yang bisa membuat gambar saya lebih segar serta hidup. Begitu mungkin cara memilih satu warna yang dirasa cukup penting dalam gambar.
Sama seperti Rasyid, kali ini ia benar-benar sudah kurang diberi jatah bermain. Ia sering sekali cedera. Pada saat Kaya Ilo-ilo di Pakansari, saya malah melihat ia memakai baju biasa. Ia tidak berada di bench.
Sampai dalam satu momen, duduk sendiri di VIP bagi pewarta untuk menonton pertandingan itu, saya berharap ada Rasyid di lini tengah Pasukan Ramang. Ia bisa mengomandoi kawan-kawannya. Sebab, ia mengenali ruh PSM.
Tetapi nyatanya tidak. Ada Marc Klok, yang menunjukkan permainan yang apik. Yang seakan berujar pada seluruh stadion, “peran saya vital di sini, saudaraku. Doakan saya untuk terus berkiprah dengan semangat yang terus berapi-api.”
Klok adalah pengganti sepadan Rasyid. Mungkin bisa lebih dari itu. Mari berbicara objektif saja. Ini untuk tim. Jangan cuma condong melihat satu pemain saja.
Rasyid memang tenang. Mau berjibaku. Tetapi dari jauh hari, Klok sudah mengambil peran Rasyid. Ia menunjukkan kalau ia masih muda dan bisa dipercaya untuk mengganti Pangeran dalam skuat.
Pelatih pun, pasti dengan menimbang segala aspek sebelum mengambil kebijakan menurunkannya, sudah berpikir matang-matang. Saya percaya itu.
Saya akhirnya menerima saja. Dalam hati saya berujar, demi kebaikan PSM. Demi kebaikan satu-satunya klub sepak bola tertua di Indonesia agar bertaji lagi.
Lalu datang lagi Arfan kemudian Rasyid. Mereka berdua adalah pemuda yang masih segar. Yang masih mau diberi jam terbang lebih banyak lagi, baik di pertandingan kelas lokal dan internasional.
Sudah beberapa musim memperkuat PSM, mereka sudah menunjukkan kalau ia memang pantan untuk terus diperpanjang kontraknya. Ada darah Makassar di tubuh mereka. Mereka berdua paham bagaimana menjadi ikon sepak bola Makassar.
Dari Arfan, ia tak takut untuk berduel. Ia juga, dalam beberapa kesempatan, bisa membangun serangan dengan sempurna. Cuma, kurangnya, adalah waktu bermain. Ia belum diberi kepercayaan penuh. Ada Pellu dan Klok, yang harus ia lewati.
Sementara Asnawi, dalam pertandingan terakhir melawan Bhayangkara, memperlihatkan kalau tak salah ia ditempa oleh ayahnya, Bahar Muharram.
Tipikal petarungnya dan keras, membuat pelatih berpikir kalau ia bisa diplot jadi bek dan gelandang bertahan. Ia juga senang membantu PSM dalam menyerang, lebih tepatnya mengatur peralihan dari bertahan ke menyerang.
Melihat kedua pemain ini dan kenyataan menumpuknya gelandang di PSM, saya tidak yakin kalau Rasyid akan menjadi pilihan utama. Meski secara pribadi, saya masih sangat berharap ia bisa jadi pemain inti lagi.
Jadi apakah Rasyid sebaiknya hengkang dan memilih klub yang akan menjamin ia ditempatkan dalam starting eleven, atau tetap menerima bertarung dengan kawan-kawannya yang masih muda dan kuat-kuat itu?
Membiarkan Rasyid pergi adalah sebuah kesalahan. Sebab ia adalah salah satu aset berharga yang dimiliki Juku Eja. Syaang ketika harus dilepas. Itu cuma perasaan saya saja.
Maka, adilnya, mempertahankan Rasyid juga bisa dibilang adalah hal yang sulit. Jika bertahan, kariernya mandek. Ini omongan yang paling realistis menurut saya.
Belakangan ini saya sering berpikir lebih pentingkah nasib Rasyid atau nasib skuat PSM? Keduanya memang penting, tetapi dalam ilmu perbandingan, ada angka bukan? Entah 50:50 atau angka-angka yang lain.