Lontar.id – Susana kebatinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang menolak seluruh gugatan paslon Prabowo-Sandi, masih terasa hingga detik ini. Kubu yang menang menyambut dengan bahagia, sedangkan kubu yang kalah tentu merasa kecewa.
Kekecewaan itu memang suatu hal yang sangat berdasar, karena semua bukti kecurangan yang diajukan ke sidang MK dapat dimentahkan hingga tak ada satupun yang dianulir MK. Jadi wajar saja bila ada yang merasa kecewa, toh juga disetiap kompetisi selalu ada juara dan yang kalah.
Apatah lagi di akar rumput pendukung Prabowo belum bisa menerima kemenangan Jokowi yang diakuinya menggunakan cara curang. Tetapi apapun bentuk kekecewaan tersebut, kedua paslon dan pendukung tetap menerima hasil putusan MK.
Namun bukan berarti perjuangan mereka telah usai, bisa saja momentum ini dijadikan sebagai pemicu lahirnya kekuatan baru di pemilu selanjutnya.
Ujian yang cukup besar setelah putusan MK ini, bukan terletak pada apakah Jokowi dan Ma’ruf mampu mengemban tugas dengan baik, menjalankan semua program kerja yang terjewantahkan dalam visi misi 5 tahun kedepan.
Melainkan, bagaimana upaya Jokowi merangkul semua masyarakat yang sudah terlanjur masuk dalam kubu-kubuan.
Kubu kampret dan cebong yang saling selisi tak pernah habisnya, di media sosial keduanya kerap vis a vis menyerang lawan dan mendewa-dewakan junjungannya. Penyebaran hoaks dan ujaran kebencian tumbuh subur bak jamur di musim hujan, sedikit saja tersulut api langsung membara.
Masyarakat diakar rumput yang sudah terlanjur terpolarisasi dalam kubu-kubuan, harus dapat disatukan kembali demi kesatuan bangsa.
Untuk dapat menyatukan kembali masyarakat, tentu Jokowi dan Prabowo harus berani mengambil langkah besar dengan melakukan upaya rekonsiliasi nasional. Menyatukan kembali benih perpecahan yang sudah terawat sejak lama, bahkan sejak pemilu 2014 lalu.
Rekonsiliasi ini dimaksudkan, bukan untuk menarik kubu yang kalah agar masuk dalam koalisi atau bagi-bagi jabatan (power sharing). Di mana kubu Jokowi mengajak Prabowo sama-sama bergandengan tangan dalam pemerintahan. Melainkan menyatukan kembali akar rumput di bawah.
Saya tak perlu memberikan contoh, bagaimana curamnya jurang perbedaan antara kedua kubu, apatah lagi isu politik ini menggunakan kendaraan agama sebagai alat politik. Orang dengan mudah sekali dikompor-kompori untuk membenci di luar kelompoknya, hingga menggunakan dalil agama untuk melegitimasi keinginan politik terselubung.
Bila rekonsiliasi ini dapat terwujud dan elit politik mengesampingkan kepentingan pribadi, maka pekerjaan rumah Jokowi-Ma’ruf kedepan akan lebih mudah. Sebab ia hanya akan fokus membangun negeri ini dan memperkenalkan Indonesia di mata mancanegara.
Sebagai warga sipil, saya tentu sangat berharap pasca pemilu 2019 ini elit politik kita tidak mengabaikan kenyataan di masyarakat. Bahwa ada orang karena perbedaan pilihan politik hubungan kekeluargaan berantakan. Tetangga tidak lagi saling menyapa, pertemanan retak hingga yang paling ekstrem memindahkan rumah yang sudah sekian lama tinggal di atas tanahnya.
Kengerian ini harus secepatnya diselesaikan karena bila dibiarkan terlalu lama, maka akan menciptakan kegaduhan yang berkepanjangan.
Pasca putusan MK, Prabowo sudah menunjukkan sikap negawarannya, yaitu menerima hasil putusan, meski masih dalam suasana kekecewaan. Tapi yang paling penting, elit politik dapat memberikan contoh yang baik, sehingga pendukungnya dapat menerima apapun hasil akhirnya.
Karena jikalau hal ini terus menerus dipertajam, maka masyarakat akan semakin terkotak-kotakan. Nah sekarang kita masih menunggu, apakah kedua elit kita saat ini mau berdamai dalam pengertian saling merangkul satu sama lain. Kita akhiri kegaduhan yang tak penting menuju masa depan yang gemilang.