Setelah menonton film Keluarga Cemara, perasaan cengeng sekaligus kesedihan akan membuncah. Kemiskinan seyogyanya punya pesan baik, dan tidak melulu mengundang cibiran.
Jakarta, Lontar.id — Menjadi Abah (Ringgo Agus Rahman) terlalu sulit. Harus dihadapkan dengan tanggung jawab besar saat film dimulai. Ia bermain janji dari awal. Saya rasa jika itu kehidupan nyata, mengemban amanah memang berat.
Menjadi seorang yang gila kerja, membuat hidup Abah dan keluarganya jadi lebih berada. Tidak bergelimang harta juga. Tidak. Meski begitu, ia harus melego kepercayaannya. Kepercayaan memang mahal.
Lanjut cerita, Abah bertengkar dengan Euis (Adisty Zara “Jkt48”). Konflik dihidupkan dari awal. Sedikit romantis yang ditontonkan keluarga berada seperti biasanya. Natural.
Dalam pertengkaran itu, ibu memang jadi sosok penengah dalam mayoritas keluarga. Emak (Nirina Zubir) melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia sukses mendinginkan suasana.
Konflik ini memang diawali dari perayaan ulang tahun yang dianggap tidak begitu penting dari seorang bapak yang gila kerja. Namun, Euis menganggapnya adalah sebuah bentuk kasih sayang jika kaumerayakannya bersama.
Namanya juga anak-anak. Semisal, kau terlalu sibuk, lalu kawan dari anakmu menyambangi rumah dan mendapati kau tidak ada dalam momen spesial anakmu. Praktis, anakmu pasti malu. Duh.
Euis menanti Abah di rumahnya untuk datang pada acara ulang tahunnya. Sudah banyak kawannya yang datang, sisa Abah yang belum.
“Harus hadir jam 5 teng untuk ulang tahun Euis,” kata Emak sebelum melepas Abah dengan ciuman jauh sekaligus kekuatan untuk menghadapi kenyataan pahit yang membuat ekonomi keluarganya runtuh.
Lewat dari pukul 5 sore, Abah lalu datang. Acara sudah selesai. Kado yang dibawa dari Abah untuk Euis adalah: tersingkir dari rumah gedongannya. Kantor Abah bangkrut karena pengelolaan keuangan dan manajemen yang kurang baik.
Sudah bangkrut, mengecewakan anak pula. Inilah akar masalah yang dihadapi Abah. Selama film berjalan, rasa bersalah itu kerap muncul, dan membuat Abah lebih keras dalam mengambil keputusan bagi anak-anaknya.
Dalam beberapa konflik yang dibuat Yandi Laurens, Agil (Widuri Puteri) ditempatkan sebagai sosok bocah yang menetralkan emosi Abah dan Emak saat melihat wajahnya yang lucu.
Banyak sekali scene saat Abah dan Euis bertengkar dan saling marah. Saat Euis dibentak karena ingin ke Jakarta, Agil menjadi penawar dengan tingkah lakunya.
Sebenarnya film ini dikemas sangat melodramatik. Barangkali Yandi memang menonjolkan konflik-konflik era kejayaan sinetron pada era 90-an. Kesedihan apalagi soal kemiskinan masih jadi jualan ampuh untuk mereka yang ingin menangis ria.
Selain bikin sedih. Tema yang diangkat juga masih terlalu Jakarta-sentris. Jakarta digambarkan masih jadi tempat yang diagungkan oleh masyarakat kecil. Tempat kemapanan bisa direguk.
Beberapa plot bahkan ditonjolkan kuat dalam penggambaran betapa adikuasanya Jakarta. Hebatnya Yandi, ia berhasil meyakinkan kita pada latar tempat di Bogor. Perpindahan dari kota ke desa begitu kontras dipandang.
Dalam beberapa dialog, memang Jakarta dipandang sebagai tempat yang harus dan wajib didatangi, untuk sekadar senang dan cari uang.
Namun, semua ide itu diimbangi dengan pengambilan gambar yang apik di salah satu desa yang tak kalah cantiknya dari Jakarta. Di desa itu, keluarga Emak dan Abah bertahan untuk tinggal. Menikmati hidupnya sampai Agil lahir, bertemu kawan yang baik, dan tetangga yang begitu perhatian. Kerja sama dalam sosial kuat sekali dalam film ini.
Selain indahnya bersosial dan kerja sama, dalam beberapa scene, asrinya rumah Ara serta gambar pohon cemara di temboknya, bisa membuat kita merindukan suasana kampung halaman, masa kecil, dan kehangatannya.
Saya sendiri sering bertanya-tanya, kenapa kota disimbolkan sebagai tempat berbahagia, dan desa selalu dijadikan sumber masalah dari orang kota? Di film ini, saya mendapatkan jawabannya: sinyal. Jawaban bagi mereka yang tidak tahan tanpa ponsel, sehari saja.
Inti dari film ini adalah, bukan cuma soal bagaimana kehangatan keluarga yang harus dicari, namun berjuang di mana pun tanpa harus di Jakarta, nilainya sama saja. Anda harus mencobanya. Yandi sukses membangun narasi itu dalam satu cerita.
Soal Tampilan Tokoh
Entah mau menyebut kekurangan atau kelebihan soal tampilan seluruh tokoh. Keluarga Abah tampak tidak seperti miskin saat bangkrut dan pindah rumah ke Bogor.
Beda sekali seperti yang digambarkan dalam sinetron Keluarga Cemara medio 90-an yang diperankan Adi Sardi. Potret kemiskinan, cara pakaian, riasan wajah, betul-betul menceritakan langsung bagaimana si miskin hidup.
Apakah itu bertujuan untuk menyadarkan kita kalau Yandi menghilangkan tampang kere yang dieksploitisir media? Nyaris tidak ada simbol hidup rudin pada keluarga Abah dari penampilan. Berpakaian sederhana, iya.
Walau begitu, saya tetap suka dengan film ini. Jika ada bintang untuk menilai dari 1 sampai 5, saya memberi 4 bintang untuk Keluarga Cemara.