Seorang rekan dari Makassar yang juga sutradara film mengaku diganggu oleh salah satu film, berjudul Capernaum (2018). Ia tak panjang lebar mengisahkannya selain menyuruh saya untuk segera menontonnya.
Adalah Nadine Labaki, seorang perempuan asal Lebanon yang menjadi salah satu orang terpenting di balik suksesnya film Capernaum. Ia berhasil melahirkan film yang amat menggetarkan sekaligus mengejutkan bagi para penontonnya, salah satunya saya yang baru menononton film ini di tahun 2019.
Ada pernyataan menarik yang dikeluarkan oleh rekan saya setelah menonton film ini. Kami berdiskusi, seperti biasa ia memberikan pertanyaan, mengapa film ini sangat luar biasa di luar banyaknya penghargaan yang telah didapatkan. Saya lantas berkata, yang membuat sangat menarik selain ceritanya yang menyentuh, mungkin adalah cinematography dan pendalaman karakter masing-masing tokoh dalam film itu. Teman saya langsung menimpali, ia berkata bahwa tak ada pendalaman karakter dalam film itu. “Mereka memerankan diri mereka sendiri.”
Dalam beberapa wawancara Nadine yang saya nonton di youtube, saat ditanya terkait sosok Zain, tokoh utama dalam film itu, ia akan menjawab bahwa anak tersebut sangat luar biasa. Zain begitupun tokoh yang lain bukanlah orang profesional, mereka orang biasa yang tidak pernah mengikuti casting apalagi berperan dalam film. Karakter-karakter dalam film Capernaum adalah nyata, mereka memiliki kehidupan yang menyerupai cerita dalam film itu.
Selain cerita yang menyentuh, karakter pemain yang berperan justru sangat biasa dan jujur itu yang membuat filmnya memiliki kekuatan rasa, sensitivitas, dan keintiman.
Ribuan Anak Tidak Bahagia Dilahirkan dan Hidup di Dunia
Dalam pembuka film, kita melihat sosok Zain dalam suatu pengadilan, berhadapan dengan sang hakim. Melalui adegantersebut, kita tahu bahwa hari itu bukanlah sidang pertama Zain, karena pada saat itu ia adalah penuntut.
“Saya mau menuntut orang tua saya,” kata Zain pada hakim. Rahangnya maju dengan berani, meski begitu tatapannya terluka saat dia menjelaskan, “Karena saya dilahirkan.”
Judul Capernaum merujuk ke istilah bahasa Prancis untuk ‘kekacauan’ yang juga berarti sebuah desa kecil yang hancur yang diceritakan dalam injil.
Capernaum berkisah tentang seorang anak jalanan Beirut yang melarikan diri dari rumahnya yang tidak bahagia dan kejam. Dia berteman dan akhirnya bisa tinggal dengan seorang wanita Ethiopia yang bekerja sebagai pembersih tanpa surat-surat resmi. Sebagai imbalannya, Zain mengurus bayinya saat ia keluar ke tempat kerja. Akan tetapi, musibah datang saat perempuan Ethiopia itu dijemput oleh polisi dan Zain harus pergi kembali ke jalan, membawa bayi itu – dan dihadapkan pada beberapa pilihan yang mengerikan.
Bagi Nadine, produk seni terutama film haruslah cuplikan suatu realitas. Ia melakukan riset selama tiga tahun dan mengelilingi tempat-tempat di mana kemiskinan dan anak-anak putus sekolah bermukim. Tiga tahun sebelum ia melahirkan script dan menemukan sosok Zain yang benar-benar hidup dalam film itu. Ia berkata kepada para pemainnya bahwa tidak perlu acting. Nadine meminta kepada para pemainnya memperagakan apa yang sehari-hari mereka lakukan dan apa yang mereka rasakan selama hidup di dunia ini.
The Guardian mengatakan, film Capernaum bukanlah tangisan dari hati – tetapi teriakan yang marah. Itu bisa kita lihat dari bagaimana sikap Zain kepada orang tuanya yang marah karena telah melahirkan namun tidak sanggup menghidupkannya. Di dunia ini, surat-surat adalah bukti bahwa anak-anak adalah manusia. Padahal mereka ada di depan kita, memandang polos mata kita.
Bagi Nadine, produk seni terutama film haruslah cuplikan suatu realitas. Ia melakukan riset selama tiga tahun dan mengelilingi tempat-tempat di mana kemiskinan dan anak-anak putus sekolah bermukim. Tiga tahun sebelum ia melahirkan script dan menemukan sosok Zain yang benar-benar hidup dalam film itu. Ia berkata kepada para pemainnya bahwa tidak perlu acting. Nadine meminta kepada para pemainnya memperagakan apa yang sehari-hari mereka lakukan dan apa yang mereka rasakan selama hidup di dunia ini.
Nadine selalu memikirkan, jawaban apa yang akan dikeluarkan oleh anak-anak yang setiap hari hidup di jalan jika ditanya perasaannya hidup di dunia ini?
Melalui film Capernaum, Nadine Labaki mengabarkan kepada dunia akan jawaban mereka.