Tidak ada rezim yang sempurna. Selalu saja ada kekurangannya, siapapun pemimpinnya. Olehnya, bangsa ini butuh kritikan dan masukan. Robertus Robet ada dalam barisan itu. Kalau tersinggung jangan baper. Jadikan masukan untuk perenungan. Berbenah. Berubah!
Lontar.id – Namun yang terjadi justru sebaliknya. Dini hari Robertus digelandang oleh beberapa pria berseragam, Kamis (7/3/2019). Gara-gara, kritiknya terhadap fungsi dwi fungsi abri pada rezim orde baru.
Orasi Robertus dilakukan pada aksi kamisan di Monumen Nasional (Monas) Jakarta, (28/2 2019) lalu. sejumlah aktivis melakukan kritik terhadap pemerintah terkait kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Aksi ini, memang kerap dilakukan setiap Kamis di depan istana negara.
Mereka tetap konsisten menuntut keadilan, menyeret para pelaku pelanggaran HAM ke meja hijau. Namun hasilnya, masih belum menujukkan ada upaya serius dari pemerintah menyelesaikan kasus ini.
Pada umumnya para aktivis mengenakan baju warna hitam, payung warna hitam dan atribut berupa spanduk, lengkap dengan foto keluarga dan sahabat mereka yang hilang pada rezim Orde Baru.
Para aktivis yang hilang bahkan dibunuh, hingga kini pelakunya belum mendapatkan kejelasan status hukumnya. Elit-elit yang terlibat konflik dengan mahasiswa pada era reformasi 1998, melingkar di kekuasaan dan punya posisi strategis. Posisi ini menempatkan mereka di zona aman, tak tersentuh hukum.
Meski, setiap pergantian rezim, janji menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu, kerap jadi janji pemanis di pada setiap masa kampanye tiba. Tak terkecuali di rezim Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), menjanjikan penyelesaian masalah yang tertuang dalam visi Nawa Cita.
Dalam orasi Robertus Robet depan Monas, dia mengutip bait lagu yang populer pada kalangan gerakan mahasiswa 1998. Lagu tersebut jadi pelecut semangat mahasiswa yang turun ke jalan dalam aksi demonstrasi akbar, tuntutannya agar Dwi Fungsi Abri dibubarkan dan mendesak Soeharto turun sebagai presiden.
Dwi Fungsi Abri di masa lalu, memegang dua peranan sekaligus. Selain sebagai alat untuk menjaga keamanan dan ketertiban negara, juga memegang kekuasaan dan mengatur negara. Posisi Dwi Fungsi Abri, membuat militer dapat memegang posisi strategis dalam pemerintahan.
Setelah rezim Soeharto runtuh setelah 32 tahun berkuasa, dwi fungsi Abri dibubarkan dan dari Abri lahirlah institusi polisi dan TNI yang mempunyai peran dan fungsi masing-masing.
Bait lagu yang dibacakan Robertus Robet, dianggap menyinggung turunan dari Abri itu sendiri, yakni kepolisian dan TNI. Ada kesalahpahaman ketika kritikan itu membuat kedua institusi itu merasa tersinggung dan menganggap perlu bersikap lebih jauh.
Andai akal sehat dan nurani dikedepankan sesungguhnya Robertus Robet menyikapi wacana militer masuk di posisi jabatan sipil, yang mengarah pada upaya militerisme. Wacana tersebut bermula saat Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi TJahjanto, menginginkan sejumlah personel TNI masuk ke sejumlah kementerian dan lembaga negara. Karena problem banyak perwira TNI menganggur.
TNI juga akan mengusulkan agar merevisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yaitu pasal 47 tentang prajurit yang bisa mengisi jabatan sipil. “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tidak berguna, bubarkan saja, diganti Menwa, kalau perlu diganti Pramuka. Naik bis kota nggak pernah bayar, apalagi makan di warung Tegal,” bunyi kutipan Robertus Robet melalui cuplikan video yang tersebar di media sosial.
Memasukan kembali unsur militer dalam jabatan sipil secara vulgar adalah sebuah kemunduran. Mumpung asih wacana, maka persoalan ini harus disikapi serius. Maka Robert memilih untuk mendendangkan bait syair lagu itu yang pernah menjadi yel-yel atau pun lagu penyemangat pergerakan di 1998. Robert ingin mengingatkan bahwa Indonesia punya pengalaman kelam di masa lalu, ketika Abri berkuasa di bawah komando Soeharto.
Demokrasi berjalan tertatih-tatih, tak ada diskusi dan debat dengan moncong senjata, kekerasan warisan masa lalu masih membekas pada aktivis 1998 yang juga dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini. Diskusi, dialog dan debat dalam suatu negara demokrasi sangat dibutuhkan, karena disitu akan melahirkan demokrasi yang berkualitas. Ia tidak ingin militer kembali memegang jabatan sipil, melainkan militer harus tetap berada di barak, menjaga keamanan negara dari ancaman luar.
Robertus Robet tak pernah membenci institusi manapun lalu menyalahkan institusi lain. Malahan ia merasa bangga dengan militer yang profesional menjalankan tugasnya. Melalui aksi itu juga, Jokowi diperingatkan agar tidak menggandakan supremasi sipil dan memanfaatkannya sebagai kepentingan pragmatis sesaat saja, yaitu jelang pemilu 2019.
Reaksi ICJR dan LBH Pers
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, sama-sama mengutuk aksi penangkapan dosen UNJ, melalui UU ITE. Karena menurutnya kebebasan berekspresi di muka umum adalah dilindungi oleh konstitusi Republik Indonesia melalui UU Dasar 1945 pada amandemen ke II.
Selain itu, penjeratan Robertus Robet melalui UU ITE, tidak tepat karena aturan tersebut hanya dilakukan melalui media elektronik, sementara dia tidak menggunakan saluran daring melainkan secara ofline. Demikian juga dengan lagu yang dibacakan Robertus Robet pada aksi kamisan itu, hanya ditujukan kepada Abri dan momentum kejadiannya pada masa lalu, sehingga tidak relevan jika Robertus Robet dianggap menghina institusi TNI.
“Apa yang dilakukan Robertus Robet telah secara tegas didukung oleh konstitusi, pengekangan terhadap hak itu adalah pelanggaran hukum serius serta mencederai amanat konstitusi,” ujar Sustira Dirga melalui keterangan resmi
“Tidak ada nilai informasi dari ujaran Robertus Robet, karena apa yang dia sebutkan telah lama digunakan dalam pergerakan mahasiswa sehingga tidak lagi relevan menyebutkan apakah nyanyian itu berita bohong atau tidak,”
ICJR dan LBH Pers mengeluarkan 3 rekomendasi terhadap penangkapan Robertus Robet, point utamanya kebebasan berekspresi adalah hak semua warga negara dan dilindungi oleh konstitusi. Jika kebebasan warga negara dikerangkeng maka terjadilah apa yang mereka khawatirkan sebagai upaya menghentikan kebebasan berekspresi dan melanggar hak asasi manusia
Tiga poin yang dikeluarkan ICJR dan LBH Pers:
1. Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk mengikuti aturan perundang-undangan dan memperhatikan hak asasi manusia terkait kebebasan berekspresi.
2. Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk segera menghentikan kasus saudara Robertus Robet karena telah melanggar hak asasi manusia dan justru mengancam kehidupan berdemokrasi.
3. Meminta Presiden Joko Widodo dan Kapolri untuk mengevaluasi kinerja penyidik yang telah melakukan proses hukum terhadap Robertus Robet sebagai bentuk keseriusan menjaga amanat Konstitusi, Reformasi dan Demokrasi.
Penulis: Ruslan