Lontar.id– Bukan hanya kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang kerap melahirkan kisah miris. Akan tetapi, kiprah mahasiswa yang juga kini sedang menimba ilmu di luar negeri. Seperti kembali ke zaman penjajahan, mereka korban kerja paksa. Jadi buruh. Makanannya mengandung daging babi pula.
Ini persitiwa yang tidak biasa. Setidaknya begitu berita yang dikutip dari Taiwan News, Rabu (2/1/2018). Jika mahasiswa itu identik dengan torehan prestasi atau sekadar mengabadikan moment bahagia di ruang belajar, maka hal itu tak berlaku bagi pelajar di Taiwan.
Anggota legislator Taiwan, Ko Chihen mengungkapkan, kabar mengejutkan itu. Katanya, kondisi mahasiswa Indonesia cukup memprihatinkan. Pasalnya, mereka harus menjadi buruh manual pabrik di sana. Terkesan dipaksakan, setelah birokrasi kampus yang mengharuskan demikian.
Enam kampus tercatat menandatangani perjanjian pelajar dari New Southbound Policy (NSP). Kondisi itulah yang menurut laporan Ko Chihen, yang mengharuskan universitas tersebut mengirim ratusan mahasiswa Indonesia ke pabrik manufaktur untuk menjalani kerja paksa.
Para mahasiswa Indonesia hanya diberi waktu sehari untuk istirahat dan dua kali masuk kelas. Sisanya mereka menjadi buruh pabrik. Kondisi itu kian diperparah dengan jatah makan yang disiapkan. Bukan nutrisi yang dipersoalkan, melainkan konsumsi para mahsiswa itu yang mengandung babi. Sementara mayoritas mereka beragama islam.
Dilansir dari merdeka.com jumlah pelajar atau mahasiswa di sana sekitar 300 orang dan di bawah usia 20 tahun. Mereka diutus oleh Hsing Wu University ke Distrik Linkow, New Taipei City, melalui jasa broker. Para mahasiswa pun terlebih dahulu mengikuti kelas internasional khusus lalu berangkat melalui Departemen Manajemen Informasi pada Oktober tahun lalu.
Kementerian Pendidikan Taiwan sesungguhnya melalui kebijakannya telah melarang mahasiswa tingkat pertama untuk magang. Namun dasar, para kampus nakal itu mengakali penyimpangan yang dilakukan dengan kedok program khusus pelajar.
Mereka dipaksa bekerja dengan diberangkatkan menggunakan bus wisata ke pabrik. Para mahasiswa itu bekerja secara sift dari pukul 07.30 hingga 19.30. Hanya ada satu sesi istirahat selama dua jam. Dengan dalih program khusus yang diajukan kepada Kementerian Pendidikan, para kampus itu mendapat untung dua kali.
Sebab program kelas khusus memang mendapat atensi langsung dari pemerintah dan berhak menerima uang subsidi. Dana itulah yang kemudian digunakan universitas itu untuk membayar para broker.
Saat kasus ini mulai mencuat dan menjadi pembahasan para senator, Kementerian Pendidikan Taiwan dibuat kelimpungan. Kementerian Pendidikan pun akhrinya mengundang para pimpinan kampus dan memberi mereka peringatan agar tak melanggar hukum. Dan, selanjutnya kasus ini akan diselidiki.
Tak hanya mahasiswa Indonesia, pelajar dari Sri Lanka juga mengalami hal serupa. Mereka di paksa bekerja di rumah jagal di Taipei dan Tainan.