Lontar.id – Musim lalu, 2018, Persija Jakarta berhasil menjadi juara Liga 1. Di bawahnya, ada PSM Makassar. Sekarang, Juku Eja akan berjumpa Persija di laga final Piala Indonesia.
Teror sudah dilakukan anak-anak Makassar. Dipastikan laga ini sengit, dikarenakan juara yang musim lalu didapat Persija, penuh dengan kontroversi dan perdebatan. Satu contohnya adalah, saat Persija diuntungkan dengan jeda pertandingan.
Sebagai pencinta PSM di ibu kota, rumah saya tidak jauh dari tempat nongkrong Gue PSM, di warung Mamink Daeng Tata, Jalan Casablanca, Tebet.
Pernah sekali saya ke sana. Anak-anak Gue PSM sangat ramah menyambut saya dan orang-orang Makassar, yang jauh-jauh datang ke Jakarta demi menonton Pasukan Ramang berlaga.
Berbalut kesederhanaan, mereka menawari saya segelas kopi susu dan makanan ringan. Saya menerima tawaran itu dan memesan kopi saja. Selanjutnya kami bercerita lepas.
Sekira hampir dua atau tiga bulan, kini, di rail jembatan penyebrangan orang di Jalan Casablanca, saya membaca satu spanduk putih dengan tulisan hitam yang bertuliskan “Makassar juga mau juara”.
Saya kaget bercampur merinding. Kata-kata itu, mirip yang pernah disampaikan Anies Baswedan saat Persija selangkah lagi merengkuh gelar juara Liga 1 musim lalu. “Kota ini mau juara!”
Sesaat setelah Anies mengucapkan itu, The Jak berteriak kegirangan. Memang sudah benar, sulit melepaskan Anies dan Persija. Beberapa kebijakannya terbilang sangat membantu Macan Kemayoran.
Beda dengan gubernur atau wali kota di Makassar. Tak ada yang seperti Anies. Barangkali, anak-anak Makassar, tahulah kinerja pemerintah di sana, apalagi yang berurusan dengan PSM.
Soal kata-kata itu, saya menganggap tak lebih dari semiotika yang menunjukkan eksistensi anak-anak Makassar bisa bawa pengaruh di Jakarta.
Kalimat itu bisa juga dianggap sebagai teror dan kalimat-kalimat yang memacu semangat, bahwa PSM akan berhadapan dengan Persija di final. Tak boleh lagi Persija dipersilakan mengambil begitu saja gelar juara.
Di media sosial, sudah ramai soal spanduk itu. Banyak yang menebar provokasi. Tetapi bukan itu yang saya simak, tetapi bagaimana kekuatan dihimpun dari Makassar, untuk datang ke Jakarta. Beramai-ramai.
Jika ribuan orang Makassar pergi ke Jakarta, ditambah fans PSM yang sudah menetap di ibu kota, mendukung PSM di final pertamanya di Gelora Bung Karno pada 21 Juli mendatang, maka yakin dan percaya, pertandingan itu bakal menarik dan seru.
Soal kejelasan ini, memang masih kabur. Dalam wawancara saya bersama Ketua Gue PSM, Rio Verieza, ia mengaku belum mendapat angka pasti soal berapa suporter yang akan menyambangi Jakarta.
“Orang-orang di Makassar masih rapat koordinasi dulu. Kami di sini tinggal menyambut dan menjamu mereka saja,” terang Rio yang saya hubungi lewat aplikasi berbalas pesan.
Tentang kalimat-kalimat di spanduk yang dibentangkan di 30 titik di Jakarta, ia mengaku kalau tak ada kalimat yang lain daripada itu. “Tidak jauh dari kota ini mau juara. Kita buat kebalikannya juga kan. Itu saja.”
Tetapi saat ini, ia harus mencabut dulu spanduknya, karena untuk menjaga kondusifnya Jakarta. “Kita menghargai Persija juga. Mereka kan mau tanding lawan Persib. Jadi setelah itu kita pasang lagi kok.”
Hanya di Jakarta saja yang dicabut. Di Depok dan di Bekasi, spanduk itu masih ada. Rio juga mengaku tak khawatir dengan itu. “Jakarta terlalu kompleks untuk melarang psywar. Insyaallah semua amanlah.”
Saya berdoa, semoga tak ada kejadian kelam yang terulang seperti pada 2005, saat massa dari Makassar tiba di Tanjung Priok dan ribut dengan Bonek Mania di Senayan.
Sebab pertandingan kedua Persija akan bermain di Makassar. Apa jadinya jika bentrok susulan terjadi di sana? Mau jadi apa sepak bola ini? Kita mau nonton bola, bukan peperangan yang menumpahkan darah.
Teror sih boleh, tetapi tak harus dengan kekerasan, bukan?