Aksen bahasa itu identitas, bukan candaan yang harus segera dihilangkan cuma karena zaman kiwari ia jadi olok-olokan.
Jakarta, Lontar.id — Betapa tidak menariknya menjadi orang Bugis dan suku-suku selain mereka, yang bangga dengan bahasa ibunya.
Hari demi hari yang dilewatinya selalu mendapat cercaan dan olok-olokan, sebab gaya bicaranya yang terkesan kampungan dan terdengar lucu bagi sebagian orang
Sewaktu kuliah, beberapa tahun lalu, kawan-kawan saya curi dengar, cerita orang desa yang datang ke kota di kampus kami. Si pencerita itu perempuan, masuk ke organisasi daerah.
Bahasa ibu yang dilantunkan si pencerita menarik para kawan saya untuk kemudian bergerombol, lalu tukar pendapat, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Dalam lingkaran pertemanan itu, saya kemudian diam saja. Entah apa yang lucu dari mengolok aksen kampung saya sendiri. Pembicaraan kawan-kawan saya terus berlanjut.
Apa yang mereka dengar, lalu ia sampaikan pada kami. Kalau si pencerita dari daerah itu, lucu sekali bahasanya. Kampungan kalau bahasa sarkasnya.
Ia mengibaratkan mulut si pencerita itu dengan sirine mobil ambulans. Cerita soal sirine ambulans ini memang sudah masyhur di Makassar, tempat saya lahir.
Jadi, jika di Makassar, sirine ambulans mengalun biasa saja. Namun, kalau di daerah Bugis, misal Bone, suara sirine akan berubah sesuai aksen bahasa di Bone.
Berkali-kali candaan usang itu dilontarkan, makin tidak menarik terasa. Entah bagaimana orang-orang kota masih menganggap hal itu masih relevan.
Khusus soal ini, dalam satu kesempatan, saya pernah ditegur oleh kerabat dari Bone, saat bervakansi ke Bumi Arung Palakka. Tegurannya sarkas.
Kesalahan pertama, saya mencontohkan dan memerolok bahasanya. Sama seperti cerita usang di atas. Di hadapannya, saya mengagungkan kehidupan kota.
Lalu refleks, ia menanggapinya dengan kalimat, “tidak ada yang salah dari kampung, Nak. Kamu juga masih ada darah kampung, ibumu, bapakmu juga.”
Setelah pesan itu saya jadi sadar, kalau berpisah dari bahasa ibu adalah sesuatu yang konyol. Bagi saya.
Entah kalau yang lain, yang lebih suka bahasa Indonesia aksen Makassar dan merendahkan bahasa lainnya. Semoga saja mereka khilaf.
Pada lain kesempatan, seorang kawan yang punya studio rekaman, bercerita lepas soal lagu Makassar yang direkam di studionya. Ia terharu.
Bagaimana tidak, saat ini lagu daerah memang sudah jadi barang usang di tanah sendiri. Lagi-lagi predikat kuno dan kampungan ampuh sekali untuk menghilangkan satu tradisi.
Ia katakan, kalau dirinya secara serius menggarap lagu daerah. Karena dipikir, jika tak ada lagi lagu daerah, maka budaya lenyap. Begitupun pada musisinya, ia bangga karena masih mau berkarya lewat bahasa daerah.
Atau yang terbaru, saat saya datang ke Jakarta, kawan saya dengan bersemangat datang ke tempat saya menginap. Kami sama-sama orang dari Makassar.
Hal ini bukanlah primordial, melainkan lepas kangen saja. Saat bertemu, ia langsung memeluk saya, lalu berseloroh kalau bertahun-tahun di ibu kota, ia tidak punya teman berbalas sapa pakai bahasa Makassar.
Tentu saja saya kaget. Terheran-terheran. Bagaimana mungkin ia yang sudah lama di Jakarta, tidak pernah ketemu dengan orang sekampungnya?
“Ia. Barupa ini ketemu sama anak Makassar di Jakarta. Setiap hari ketemu sama orang Betawi dan lain-lain. Sisa orang dari kampung sendiri yang belum,” kata kawan saya itu.
Lalu saya ajaklah ia ke tempat mengaso di sekitar Jl. Kalibata. Kebetulan, ada satu kafe sederhana, yang pramusajinya adalah orang Makassar. Ia memesan kopi susu, saya teh tarik.
Kami ngobrol ngalor-ngidul di sana, sambil menanti pesanan kami berdua datang. Tak lama, datang juga yang ditunggu. Pramusaji simpan baki di meja dan membagi pesanan kami.
“Tabe,” kata pramusaji.
Kawan saya kaget dan bercampur haru. “Lamaku tinggal di Jakarta, barusanku dengar orang bilang tabe (tabik). Deh, bahagiaku pergi ke sini,” ucapnya dengan nada bangga.
Persoalan rindu dan proses penghilangan bahasa tidak saja berlaku di Makassar, kok. Di luar negeri juga ada. Cuma caranya beda. Di luar negeri, bahasa ibu harus dihilangkan dan diganti menjadi satu bahasa.
Seperti yang dialami Marie Smith Jones. Ia adalah ketua kehormatan Eyak, suku yang tinggal di bagian selatan Alaska, Amerika Serikat. Tanah leluhur sukunya terletak di Teluk Alaska.
Jones orang yang gigih dalam mempertahankan bahasa Eyak. Rupanya khas Indian, dan memang orang Indian, yang ceritanya telah menjaga jarak dengan orang sekitarnya yang berbahasa Inggris.
Saking sayangnya Jones pada bahasa Eyak, ia membantu Universitas Alaska menyusun kamus bahasa Eyak. Melalui tugas itu, ia ingin melestarikan bahasanya yang bisa dibilang mustahil.
Pada kenyataannya, saat Jones meninggal, penutur bahasa Eyak tak lagi bisa diandalkan. Jones menjadi penutur penutup yang paling bersemangat di antara lima puluh orang Eyak yang tersisa saat itu.
Dilansir dari Los Angeles Times, Michael Krauss, profesor linguistik di Universitas Alaska menggambarkan kematian Jones pada usia 89 tahun, sebagai lonceng kepunahan bahasa Eyak itu sendiri. Krauss benar.
UNESCO, lembaga PBB untuk pendidikan, sosial, dan budaya pernah mencatat, ada sekisar 6 ribu bahasa di dunia. Lebih dari 200 bahasa di antaranya sudah punah, hanya dalam waktu satu abad.
Sebuah bahasa disebut terancam punah apabila jumlah penuturnya kurang dari seribu orang. Sudah dicatat pula, kalau ada 20 bahasa dari 600 bahasa di Indonesia, yang terancam hilang dari peredaran.
Dari sekarang saya sudah bisa membayangkan, kalau bahasa daerah terus dianggap sebagai bahasa orang tertinggal, bukan tidak mungkin bahasa Bugis itu tamat.
Barangkali kita harus introspeksi mulai dari sekarang, apakah etis kalau bahasa Bugis beserta aksennya mampus dihajar zaman karena mulut kita yang gampang merendahkan?
Ataukah kita lebih bangga berbahasa Indonesia dengan baku, logat Jakarta seperti di televisi, dan menghantam orang secara serampangan kalau ia harus meninggalkan bahasa ibunya?
Jika memang begitu, kita tidak lebih dari penjajah atau paling tidak komprador, untuk menghabisi nyawa bahasa Bugis dan bahasa suku dari lain tempat itu sendiri.