Pada 2019 ini, tahun yang baru, sebaiknya kita sudah mulai bisa banyak mengubah wajah kata-kata yang sering dilontari. Baik itu makian, caci, dan masih banyak lagi.
Kita harus sadar kalau kita sudah tua, pergantian tahun tak membuat kita makin muda. Pikiran, setidaknya harus lebih maju lagi, tanpa melupakan nilai dan adat yang dititip para pendahulu dan buyut kita.
Dalam hemat saya, ada banyak kata-kata yang mungkin menjadi momok yang di dalam alam bawah sadar kita, terdengar biasa-biasa saja. Tapi bagaimana cara mengukur kuatnya kata, kalau tidak dideteksi pakai hati?
Tulisan ini akan membahas satu kata dulu. Pembantu. Kata sekaligus sapaan yang kerap kita dengar dan kita anggap biasa-biasa saja. Namun, punya makna dan terkesan buruk. Untuk contohnya, saya kira saya perlu menceritakannya panjang lebar.
*
Sore itu, di salah satu sudut kota, saya berjanji akan menjemput seorang kawan dari jauh. Ia naik kereta dari siang, dan sampai di dekat tempatku menetap. Keretanya tiba sore hari. Keretanya dari Depok dan berhenti di stasiun Kalibata.
Ada banyak orang di sana. Maklum, jam pulang kerja. Pandangan kulempar di segala arah untuk mencarinya. Setiap yang berjilbab dan masih muda kuperhatikan baik-baik.
Kawanku itu pemudi. Posturnya tidak tinggi. Tampilannya necis dan suka memakai tas kepit ke mana saja. Tasnya, setidaknya dua kali, saya lihat hanya diisi ponsel, dompet, alat rias wajah seadanya—itulah ciri kawan saya, yang kucari di stasiun.
Seseorang dari jauh memanggil namaku di sela bunyi gesekan kereta dengan rel dan jejak langkah yang berderap terburu-buru dalam peron. Saya menemukannya. Ia sudah keluar dari gerbong. Ia tersenyum lepas. Wajahnya tampak lelah dan tak berpulas bedak.
“Ayo kita jalan,” ia bilang ke saya. Saya menyuruhnya naik ke motor. Lima menit sudah sampai ke rumah. Ia masuk, langsung duduk di kursi, lalu bercerita soal ujian proposal tesisnya. Saya menyimak.
“Alhamdulillah, sisa satu tahap lagi yakni ujian tesis. Ujian proposal saya sudah jalani dengan mengasyikkan. Tak ada kesulitan berarti dari tadi.” Ia bercerita dengan semangat soal pengalaman yang baru saja disudahinya.
Saya bertanya soal pakaian dan perlengkapannya. Toh, sisa selangkah lagi ia akan pindah dari rumah yang ditempatinya di sekitar Universitas Indonesia (UI) bagian Depok.
Kawanku ini seorang mahasiswa Sastra Indonesia strata dua, di UI. Di Depok, ia menempati rumah dosennya yang tak ditinggali. Makanya kawan saya itu disuruh untuk berkegiatan di rumah dosennya saat masa perkuliahan.
“Barang-barang saya masih ada di sana. Saya tinggal sangat nyaman. Ada asisten rumah tangga. Ia menyiapkan segala kebutuhan kami dengan sangat baik. Saya tidak tinggal sendiri, melainkan dengan teman-teman yang lain.”
“O ya, asistennya dipanggil Inem. Saya tahu itu bukan nama aslinya. Pemilik rumah yang kutinggali dekat tempatku berkuliah, Prof ku itu, memanggilnya Inem saja. Entah apa kaitan Inem itu.”
Kalimat itu kemudian saya selidiki. Saya berpikir jauh lagi. Ya. Kata-kata itu sepertinya lebih sopan daripada pembantu. Saya langsung menyebut suka dengan bunyi kalimat yang ia usapi ke kepala saya baru saja.
Soal Inem ada juga baik buruknya. Di sisi lain, panggilan yang merujuk pada gender itu terdengar merendahkan perempuan. Di sisi lain, menjadi patokan bahwa perempuan bisa lebih kuat daripada lelaki soal bekerja.
Sementara, soal asisten rumah tangga, hal itu bisa melenakan. Sebab sapaan tersebut bisa saja membuat objek yang disapa mengendurkan semangatnya bekerja dan tidak merasa ditekan. “Memang bagus sih, sopan, tapi ada lebih kurangnya.” Ia menyorong friksi pada saya.
Setelah perbincangan itulah maka tulisan ini dibuat. Saya bilang padanya kalau saya akan tulis isi pikiran saya setelah obrolan singkat dan lebih banyak tawanya itu. Ia setuju.
Bicara soal sapaan, orang-orang yang derajat sosialnya lebih tinggi, ketika bisa membayar seseorang untuk bekerja mengurus rumah dan tetek bengeknya, biasa menyapanya dengan pembantu.
Barangkali kita harus sepakat untuk mengganti sapaan itu mulai tahun ini pada pekerja yang kita upah di rumah kita. Meskipun hal itu pasti akan menyulitkan kita bercakap karena “asisten rumah tangga” ada tiga kata atau “pramuwisma” sungguh asing diucapkan. Penjajahan lewat sapaan itu harus dihapuskan, saya kira.
Jika ada yang mempersoalkannya dengan kalimat, “bro, serius amat, itu cuma sapaan aja kali.” Sini, saya jelaskan lebih jauh, boleh ya?
Syahdan, saat masa pemerintahan Hindia Belanda, orang-orang Indo-Belanda yang berkumpul dalam Indo Europe Verbond (IEV) dan National Socialistische Beweging (NSB), sangat menganggap rendah orang Indonesia. Mereka rasis sekaligus merepresi orang Indonesia dengan sapaan.
Inlander. Sapaan itu sendiri adalah sebutan kasar untuk orang-orang pribumi, yang boleh disamakan dengan udik, bodoh. Intinya rendah. Dari sini perlu kita telaah lagi, apa memang kita bermental penjajah untuk sesama?
Selain itu, pada masanya, ada kalimat imbauan yang terkenal untuk melarang orang-orang pribumi memasuki societeit atau kolam renang: “Verboden voor honden en inlander,” yang artinya “Dilarang masuk bagi anjing dan pribumi.”
Memang tidak semua orang yang bilang pembantu itu menggeneralisasi jika sapaan itu merendahkan. Tetapi saya, secara jujur, berpikir, kata itu sudah tidak adil dan membentuk mindset saya, kalau pembantu adalah orang rendahan dan tidak berpendidikan.
Soal perdebatan itu, pada paragraf sebelumnya, sampai sekarang saya masih pikirkan. Paling tidak, saya masih kukuh dengan pendapat saya, kalau sapaan itu mesti dikurangi atau paling tidak diganti dengan yang lebih baik.
Begitu bagi saya, bagaimana kalau kalian?