Lontar.id – Sastra memiliki banyak pintu ke mana saja, sehingga menghasilkan banyak tanggung jawab pula kepada sastrawan atau akademisi yang mempelajari sastra.
Sastra dapat menjadi sebab, juga akibat. Sastra dapat melayang di atas tanah, dapat pula mencuat dari dalam tanah. Meski begitu, satu hal yang pasti bahwa kesusasteraan adalah manifestasi dari dialog-dialog dan interaksi manusia dengan sekitarnya.
Seiring perkembangan zaman, aliran-aliran kesusasteraan lahir variatif. Dari yang konservatif, provokatif, hingga progresif. Akibat dari perubahan iklim dan pengrusakan lingkungan, sebenarnya masyarakat abad ini memerlukan sastra konservasi yang mengakar dari sastra ekologis. Yaitu seni kata-kata yang lahir merekam alam dan menyampaikannya kepada manusia dalam skala luas.
Dalam kesusasteraan, alam ekologis memiliki peranan penting, di mana ada hubungan abstrak yang tak terdefinisikan dengan pasti antara alam dan manusia.
Dalam paham ekologi sastra menurut Bennett (2001: 35), ekologi manusia dipandang sebagai sebuah sistem yang disebut ekosistem. Wujud sederhananya ada pada diksi atau tema yang digunakan para penyair dalam puisi-puisinya.
Oleh karena itu, perubahan alam dapat berdampak langsung pada perubahan produk sastra. Manusia membutuhkan alam sebagai sumber inspirasi. Sehingga sudah sepantasnya dikatakan, bila alam membutuhkan sastra sebagai alat konservasinya.
Baik sastrawan maupun seniman yang banyak menghabiskan waktunya di alam, sadar atau tidak, mereka telah menjadi penerjemah dari ekosistem yang tak dapat bertutur. Banyak syair yang memuja keindahan lanskap, banyak prosa yang detail mendeskripsikan kondisi alam dalam latar kisahnya.
Pembaca pun terbuai, berangan-angan dapat merasakan keindahan tersebut. Dalam konteks lain, seringkali alam yang telah megah malah dibesar-besarkan hingga menjadi bungkusan belaka. Akibatnya, sabda alam tak tersampaikan, hilang ditelan keindahan untaian diksi.
Benar, seorang penulis yang seolah telah mendedikasikan hidupnya demi sastra ekologis adalah Theodor Seuss Geisel atau lebih dikenal dengan nama pena Dr. Seuss. Dalam kisah Lorax, Dr. Seuss menyampaikan uneg-uneg alam yang menjadi korban terbesar industrialisasi.
Meski sebagian menilai Lorax itu misantrophyc, kisah anak-anak ini dipercaya menjadi media yang efektif mendidik generasi muda untuk bertanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungan. Tidak ada narasi yang rumit di sana, kisah mengalir sederhana, mudah dicerna, dan bernilai etis-filosofis.
Berbicara tema di luar daratan, panglima puisi, Husni Djamaluddin kerap mengangkat laut sebagai inspirasinya. Dalam kumpulan puisi Bulan Luka Parah, terdapat 24 puisi yang menggunakan kata laut. Lebih kurangnya, tema ini menggambarkan interaksi yang tidak biasa antara Husni Djamaluddin dan laut sebagai seorang orang Makassar.
laut mengirim ikan
lewat perahu-perahu nelayan
laut dijamu lumpur
terhidang di meja makan
laut disuguh keruh
air selokan
laut mendapat ludah
dari kapal-kapal yang muntah
laut mengirim minyak
jadi timbunan dollar
laut dibayar
dengan ampas-ampas teknologi
…
Laut (1), Husni Djamaluddin
Tidak sulit memaknai penggalan puisi di atas. Terlihat ada kontradiksi yang nyata, kebaikan dibalas keburukan. Alam laut memberikan semua yang terbaik miliknya kepada manusia, namun manusia dalam berperadaban justru membalasnya dengan yang terburuk.
Seperti itulah kenyataan yang ditangkap sang penyair akan perilaku manusia kepada alam pada masa dituliskannya puisi ini. Upaya perlindungan alam dan koservasi menjadi fokus global dewasa ini. Seperti kaget setelah ditampar kenyataan. Sehabis bencana natural dan tidak natural terjadi, perangkat negara dan kelompok masyarakat terkesiap mencari strategi.
Meski demikian besar agendanya, upaya tersebut masih diusahakan segelintir manusia yang melek lingkungan saja. Mitigasi bencana, perhutanan rakyat, kampanye perilaku sadar lingkungan, dan sebagainya, lebih kurang hanya menyentuh fisikal.
Lantas, apa siasat yang berfaedah bagi mental masyarakat umum, yakni kaum konsumtif produk-produk dari olahan alam? Barangkali di situlah sastra ekologis ditempatkan.
Karya penulis populis di Indonesia lebih banyak bermain dalam tema-tema urban yang remeh, yang memberikan sarana eskapisme sejenak tanpa berniat untuk menanamkan tanggung jawab kepada ekosistem.
Sabda-sabda alam “ditugaskan” kepada folklor, yang kini pun jarang dilirik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Alhasil, sastra ekologis dan folklor dikesampingkan dari obrolan warung kopi dan aktivitas sehari-hari. Tak heran bila tim mitigasi bencana kewalahan mengorganisir masyarakat, sebab kesadaran akan fungsi mereka menjaga ekosistem sepertinya telah absen.
Bila manusia adalah apa yang dibacanya, saatnya memasukkan kesadaran berekosistem dalam bacaan-bacaan. Tanamkan siasat konservasi alam di dalam sajak, cerita pendek, atau novel. Bukan apa-apa, bila keindahan alam yang seimbang rusak, di mana lagi manusia menggali inspirasi?
Ditulis oleh: Rezkiyah S. Tjako