Lontar.id – Manchester United pernah sangat perkasa. Itu dulu. Sekarang, ya, tahu sendirilah bagaimana permainan Si Setan Merah. Saya menyerahkan semua pada publik, jangan sampai jari saya keseleo dan membuat orang mengamuk.
Sebagai orang yang pernah merasa Manchester United adalah salah satu klub idaman sewaktu kecil, saya patut resah dengan keadannya sekarang. Saya mencintainya, sebab aroma bau kencur saya melekat di sana. Melekat di baju merahnya yang cerah.
Senang melihat bagaimana Ryan Gigs dan Paul Scholes menjadi gelandang waktu itu. Manchester United cukup kreatif membangun serangan dari bawah ke tengah. Mereka tampil berani dan membawa banyak risiko di pundaknya.
Satu hal yang saya ingat, dia menjadi satu klub yang tak ingin bermain tertutup meladeni Barcelona yang waktu itu, jika lengah sedikit, maka seluruh pemainnya bisa menghancurkan siapa pun dan klub mana pun.
Pelatihnya adalah Sir Alex Ferguson. Ia yang begitu dirindukan sekarang, adalah ia yang lahir di Glasgow dan mampu membuat Manchester United meraih kegemilangan yang cukup terang pada eranya. The golden era of Red Devils, kalau anak keminggris menyebutnya.
Ada nama Van Nistelrooy, Wayne Rooney, Dwight Yorke dan nama lainnya yang mampu memecah kebuntuan lini depan saat Manchester United sedang sulit mencetak gol. Mereka semua adalah pemain hebat yang mustahil didapatkan lagi.
Setiap zaman memang punya pemain yang akan besar. Namun sekarang, siapa yang bisa memberikan contoh satu saja pemain yang disegani di Manchester United selama Sir Alex pergi dari Old Trafford? Pogba? Wong, dia saja dibuang dulu lalu dipuja-puja.
Nanti dulu jawabnya. Saya akan ceritakan sedikit, bagaimana klub ini begitu banyak membawa saya melanglang buana pada masa-masa berumur belasan.
Zaman PS 1 dan PS 2 itu mulai ramai, saya selalu mencari klub apa yang harus saya pakai untuk melawan kawan-kawan saya bermain gim. Saya tidak baik-baik amat main Winning Eleven. Percayalah.
Tetapi buruknya permainan saya, cukup terbantu dengan adanya Rooney dan Nistelrooy di lini depan. Sementara di lini tengah saya dengan bangga bisa memamerkan Giggs dan Scholes dalam mengolah bola.
Saya suka membuat Rooney berlari dan berlari dan berlari. Saya juga sering menyuruhnya menembak dari luar kotak penalti, sebab saya tahu, sepakannya keras dan terukur. Syuto! Rooney memang jadi primadona saat itu. Mukanya yang Inggris banget juga unyu.
Perasaan saya belum berubah semenjak Manchester United mengeluarkan satu baju resminya yang bercorak kotak-kotak. Orang-orang menyebutnya seperti taplak meja. Tak apalah, saya tetap mencintainya dan masih ada Fergie di sana.
Saya masih bertahan mencintai dua klub, Barcelona dan Manchester United. Selepas 8 Mei, akhir musim 2012-13, Fergie pamit dari Manchester United. Saya juga pamit. Permainan Manchester United berubah dan tidak menarik lagi.
Saya selalu mengharapkan Manchester kembali dengan lebih kuat setelah ditinggal Opa. Sebab, Manchester lebih besar daripada satu orang tua itu. Saya selalu berharap.
Masa-masa itu, hati saya sering patah. Berapa kali saya yakin kalau Manchester United akan kembali kuat, namun faktanya berkata lain. Tiap tahun, Manchester United tidak menunjukkan perkembangan yang menarik selain pamer banyak-banyakan pendukung.
Ini apa sih?
Saya sering bertanya dalam hati, buat apa pendukung banyak, kalau para pendukung fanatik seluruh dunia kurang menggaungkan cara mereka menekan kebijakan soal pelatih yang akan melatih Manchester? Padahal jika dipikir, mereka pasti mampu.
Malcolm Glazer seakan tidak mengerti bagaimana seharusnya Manchester dibawa dalam pertarungan sepak bola dunia yang kian hari kian sengit.
Maaf, paragraf di atas salah. Ia mengerti kok. Buktinya, masuknya Ole Gunnar Solksjaer mengganti si butut Mourinho, membawa angin segar. Kemenangan demi kemenangan diraih. Pemain muda juga mendominasi skuat.
Tetapi semenjak dipermanenkan, kok ya Manchester sering kalah dan kemuakan saya sampai di puncak, sewaktu mereka melawan Barcelona, salah satu klub favorit saya. Penampilannya memble dan seperti latihan saja.
Apa yang diharapkan dari striker macam Lukaku, yang jumlah ia pegang bola di lini pertahanan Barcelona saja bisa dihitung jari? Gelandangnya juga kuat, tapi tidak bisa menghalau kreativitas Barcelona. Seriuskah Ole melatih MU?
Lebih jengkel lagi, hari ini orang-orang sudah mengingat-ingat masa keemasan klub andalannya itu, di bawah asuhan Opa Fergie. Lalu untuk apa ada hari ini? Pergilah mencari mesin waktu dan tahan Fergie untuk tidak pensiun jika boleh.
Dan tentu saja saya jengkel pada diri saya sendiri. Untung saya mendua. Mencintai Barcelona secara diam-diam di belakang Manchester United, memang mengasyikkan, ya, kawan?