Jakarta, Lontar.id – Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengirim surat pada tiga unsur pimpinan di Partai Demokrat. Mereka adalah Ketum Wanhor PD Amir Syamsuddin, Waketum PD, Syarif Hassan dan Sekjen PD, Hinca Panjaitan. Surat tersebut, SBY tujukan pada kader Demokrat terkait responnya mengenai ‘run down’ kampanye akbar yang di gelar pasangan calon Presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga S Uno.
Surat tersebut dianggap sangat penting, terutama pada Partai Demokrat sebagai partai pengusung calon nomor urut 02, Prabowo-Sandi. SBY ingin memastikan Partai Demokrat saat kampanye berada di jalur yang benar serta berlandaskan prinsip dasar yang dianut partai berlambang bintang mercy itu.
“Juga tidak menabrak akal sehat dan rasionalitas yang menjadi kekuatan partai kita,” bunyi surat dari SBY yang di tulis National University Hospital, Singapura, (6/4/2019.
Menurut SBY, kampanye akbar yang digelar Prabowo-Sandi di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), tidak menunjukan kampanye nasional yang berdasarkan inklusifitas dimana Indonesia terdiri dari keberagaman, sebagaimana yang tercermin dalam Bhineka Tunggal Ika.
Kampanye akbar Prabowo-Sandi terkesan hanya ingin menunjukkan kekuatan atau show of force pada suatu entitas tertentu dalam hal ini ummat muslim, suku etnis dan kedaerahan. Masyarakat akan terbelah menjadi berkubu-kubu dan tidka menciptkan rasa harmonisitas yang sedang di perjuangkan Partai Demokrat. SBY tak ingin kampanye akbar Prabowo-Sandi mengarah pada politik ekstrem.
“Cegah demonstrasi apalagi ‘show of force’ identitas, baik yang berbasiskan agama, etnis serta kedaerahan, maupun yang bernuasa ideologi, paham dan polarisasi politik yang ekstrem,” sambung SBY
Melalui surat tersebut SBY ingin memastikan apakah kampanye akbar tersebut benar adanya. Namun pada malam hari (6/4), SBY mendapatkan konfirmasi pada dilingkaran pendukung, bahwa informasi tersebut benar.
“Karena menurut saya apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif,” ujarnya
Pilpres 2019 adalah memilih pemimpin bangsa, pemimpin rakyat dan pemimpin kita semua kata SBY. Sejak awal bergulirnya kampanye haruslah didasari dengan pikiran “Semua untuk semua, atau all for all,” akunnya. Jika kedua capres mengedepankan mindsetnya pada semua untuk semua, maka pemimpin yang akan muncul nanti akan kokoh menopang rakyat Indonesia.
Namun sebaliknya, pemimpin yang mengedepankan politik edintitas, membenturkan yang satu dengan yang lainnya, dimana rival politik dianggap sebagai lawan akan menciptakan pemimpin yang rapuh dan tidak memenuhi syarat menjadi pemimpin.
Meski demikian, SBY merasa yakin jika kedua paslon Jokowi dan Prabowo tidak memiliki pikiran untuk membenturkan politik identitas yang melahirkan kubu-kubuan.
“Bahkan sejak awal sebenarnya dia tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin bangsa. Saya sangat yakin, paling tidak berharap, tidak ada pemikiran seperti itu (sekecil apapun) pada diri Pak Jokowi dan Pak Prabowo,” imbuhnya
SBY mengu tidak ingin pilpres 2019 terjebak pada segementasi isu yang mencuat seperti ada pro Pancasila dan pro Khilafah. Jika polarisasi politik seperti ini terwujud, maka masing-masing kubu akan saling bermusuhan selamanya. Untuk itu SBY berharap, pemilu kali ini bisa belajar dari pengalaman sejarah bahwa negara yang mengusung polarisasi politik seperti ini akan mengalami nasib tragis.
“Saya pikir masih banyak narasi kampanye yang cerdas dan mendidik. Seperti yang kita lakukan dulu pada pilpres tahun 2004, 2009 dan 2014. Bangsa kita sangat majemuk. Kemajemukan itu disatu sisi berkah, tetapi disisi lain musibah. Jangan bermain api, terbakar nanti,”
“Relijius. Bagi kita Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah harga mati. Tidak boleh NKRI menjadi Negara Agama ataupun Negara Komunis. Indonesia adalah ‘Negara Pancasila’ dan juga ‘Negara Berke-Tuhanan’. Inilah yang harus diperjuangkan oleh Partai Demokrat, selamanya,”
SBY membela Prabowo terhadap klaim yang menyudutkannya, bahwa sejauh ini Prabowo dinggap mendukung Khilafah, demikian juga dengan Jokowi yang dituduh sebagai PKI. narasi yang dibangun semacam itu kata SBy, tidaklah tepat dan sangat gegabah.
“Saya berpendapat bahwa juga tidak tepat kalau Pak Prabowo diidentikkan dengan kilafah. Sama tidak tepatnya jika kalangan Islam tertentu juga dicap sebagai kilafah ataupun radikal. Demikian sebaliknya, mencap Pak Jokowi sebagai komunis juga narasi yang gegabah. Politik begini bisa menyesatkan. Sejak awal harusnya narasi seperti ini tidak dipilih. Tetapi sudah terlambat. Kalau mau, masih ada waktu untuk menghentikannya,”