Lontar.id – Berbicara soal keragaman suku, bahasa, etnis, budaya dan agama, Indonesia termasuk yang paripurna dalam urusan keberagaman, ketimbang negara lain. Negara yang terdiri dari ribuan pulau-pulau ini dihuni oleh beragam suku asli dengan corak yang berbeda-beda pula. Meski berbeda, namun kita disatukan dalam naungan Pancasila yang dicetuskan para The Faunding Fathers (pendiri bangsa) terdahulu, yang merumuskan bangsa ini, menjadi bangsa yang majemuk dan menghargai perbedaan satu sama lain.
Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan Pancasila adalah harga mati, tak ada tawar menawar bagi ideologi lain (Komunis), merecoki bangsa ini, sehingga melahirkan polarisasi ektrem yang berujung pada perpecahan antar sesama. Pancasila adalah suatu ideologi dan falsafah, ia merupakan cerminan dari perilaku dan tindakan bangsa Indonesia. Dengan mengamalkan Pancasila, bangsa Indonesia tetap akan hidup rukun dan harmonis selamanya.
Munculnya ideologi lain, seperti Khilafah (Negara Islam) yang hendak menggantikan Pancasila sebagai dasar negara. Ditolak mentah-mentah menjamur di Indonesia, bahwa tekat hidup bersama dalam naungan Pancasila lebih besar, ketimbang menjadikan negara ini sebagai negara berbasis agama.
Terlebih lagi Indoenesia sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, menolak mentah-mentah adanya keinginan kelompok yang berjuang mendirikan Islam sebagai negara. Penolakan ini justru bukan datang dari kalangan agama non-muslim yang minoritas seperti Kristen, Hindu, Budha dan Khonghucu. Melainkan muslim sebagai mayoritas, karena Indonesai tidak mengenal negara berdasarkan agama tertentu melainkan agama dan negara memiliki keterkaitan satu sama lain, meskipun demikian negara tetaplah negara demikian dengan agama.
Saya merasa berbedaan dan keanekaragaman ini, jadi suatu karunia dari tuhan yang tiada nilainya, dia (Tuhan) menciptakan manusia dengan rupa (wajah) berbeda-beda, meski terkadang ada kemiripan (kembar) namun tetap saja ada perbedaan yang mencolok, sehingga keduanya dapat dibedakan satu sama lain.
Perbedaan tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk berpecah belah, melainkan sebaliknya menguatkan dan menyatukan kita menjaga keutuhan NKRI. Sebagaimana pesan Jendral Besar Soedirman pada 1944 mengtakan “Janganlah berbuat seperti sapu yang meninggalkan ikatannya, sebatang lidi tidak berarti apa-apa, tetapi dalam satu ikatan sapu akan mampu menyapu segala-galanya”.
Lebih jauh lagi dalam Islam juga menyerukan bahwa keragaman suku bangsa merupakan hidayah dari tuhan untuk saling mengenal satu sama lain.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal,” Surat Al-Hujurat Ayat 13.
Pemicu Perpecahan
Di negara yang majemuk seperti Indonesia, potensi perpecahan memang sangat besar, bila perbedaan tersebut terus dipertajam dan menghasut antara suku, etnis dan agama. Maka kejadian seperti koflik agama di Tolikara, Papua pada 2017 silam, akan berulang jika perbedaan terus dihasut oleh kelompok tertentu. Meski permasalahan diawali dengan masalah kecil, namun ketika terus dikompor-kompori maka konfilk pun pecah.
Kejadian yang sama juga pernah terjadi sewaktu kerusuhan di Ambon pada tahun 2011 lalu yang menewaskan banyak korban dari kedua belah pihak. Kerusuhan ini berujung pada SARA. Lalu pada tahun 2001 terjadi lagi kerusuhan serupa di Sampit, Kalimantan Tengah antara etnis Dayak dan Madura. Konflik berdasarkan SARA memang kerap terjadi di Indoensia, meski demikian pada akhirnya dapat didamaikan.
Namun saya khawatir saat ini, ditengah pesta politik berlangsung bakal muncul konflik lantaran meningkatnya tensi politik antara kedua kubu. Kedua pemilih sudah tersegmentasi kedalam dua kubu pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi. para pendukung ini kerap kali membangun narasi perpecahan dengan menyebarkan fitnah yang mengancam disentegrasi antar sesama.
Hal ini pula yang dikhawatirkan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terkait menguatnya politik identitas keagamaan di Pilpres 2019 nanti. Seperti kampanye akbar pasangan nomor urut 02, Prabowo-Sandi di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK). Kampanye itu menurut SBY, menunjukkan ekslusifitas sebuah identitas politik dan menguatnya politik keagamaan.
Ya memang, jika menelisik lebih jauh kampanye Prabowo-Sandi memang didatangi oleh mayoritas dari kalangan muslim, itu dibuktikan pada saat sebelum kampanye berlangsung didahului oleh Salat Tahajud dan Salat Subuh berjemaan oleh kalangan muslim. Demikian juga dengan tagar yang digunakan dalam media sosial seperti Putihkan GBK, merupakan suatu simbol pada entitas agama tertentu.
Politik identitas ini memang rentan melahirkan kecemburuan sosial bagi kalangan non-muslim, sebab kampanye politik paslon juga paling tidak merepresentasikan semua suku bangsa dan agama di Indonesia. Namun kita berharap pesta politik yagn tak lama lagi ini, tidak diwarnai oleh aksi bar-bar dan brutal yang menciderai kebhinekaan kita.
“Bangsa kita sangat majemuk. Kemajemukan itu disatu sisi berkah, tetapi disisi lain musibah. Jangan bermain api, terbakar nanti” kata SBY