Lontar.id – Adalah hal yang sangat mengharukan ketika saya mendatangi bioskop bersama teman-teman yang sudah mengkhatamkan semesta Marvel mulai dari Iron Man (2008) sampai dengan Avengers: Infinity War (2018). Ajakan menonton itu, tentu bukanlah peristiwa biasa sebab film Captain Marvel yang beberapa minggu ini sangat heboh ditonton oleh sesosok perempuan yang tidak tahu menahu tentang MCU (Marvel Cinematic Universe).
Hasilnya tentu saja bisa ditebak, saya tidak mengerti dengan isi ceritanya. Benar-benar tidak mengerti. Mulai dari tokoh dan penokohannya, latar, hingga alur. Tetapi tak perlu berkecil hati, tidak mengerti bukan berarti tidak mendapatkan apa-apa. Setidaknya, saya bisa menuliskan apa yang didapatkan kaum awam MCU (yang samasekali tidak pernah menonton apalagi membaca komiknya) setelah menyaksikan film yang berdurasi dua jam tersebut.
Dalam durasi dua jam itu, saya menghabiskan waktu sekitar 40 persen menonton filmnya dan 60 persen dalam keadaan terlelap alias tidur di bioskop, itu sekaligus menjadi pengalaman pertama saya tertidur di bioskop. Jadi jangan berharap tulisan ini sarat akan informasi MCU, alih-alih bisa meresensi atau mengkritik filmnya.
Lalu, apa yang bisa didapatkan dari ulasan film Captain Marvel yang ditulis oleh seseorang yang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk tidur di bioskop? Bukankah pengalaman itulah yang dibutuhkan? Barangkali, ini bisa mewakili teman-teman yang juga awam dengan MCU dan setelah menonton filmnya semakin tak mengerti.
Membaca ulasannya di internet agar dapat mengerti alur ceritanya memang sangat melelahkan, apalagi harus mengingat-ingat nama tokoh dan cerita di masing-masing versi. Saya ingin mengajak kalian yang awam dengan MCU untuk tak perlu terburu-buru mengerti, kita memetik pelajaran dengan keawaman itu saja.
Oke!
Film dibuka dengan kehadiran tokoh perempuan yang belakangan saya tahu ia bernama Vers, sang Captain Marvel. Vers adalah wanita yang sudah 6 tahun berada di Planet Kree dan berlatih untuk mengendalikan kekuatannya yang kelak dapat digunakan untuk melawan Skrulls, alien jahat yang mampu berubah wujudnya menjadi siapa saja. Vers sendiri menderita amnesiasehingga tidak mengetahui asal-usul dirinya.
Sayang sekali misi pertama Vers di pasukan Starforce gagal dan membuat dirinya terdampar di planet bumi pada tahun 1995. Selain harus menghentikan Skrulls, Vers juga harus mencari tahu tentang kebenaran dirinya yang ternyata memiliki ingatan di bumi.
Terlepas dari konteks ceritanya, setelah membaca ulasan beberapa penikmat dan kritikus film, Captain Marvel diklaim mengusung paham feminisme. Orang awam seperti saya juga mestinya bisa membaca itu saat mengetahui bahwa tokoh utamanya seorang perempuan yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Kelemahannya, hanya satu ia tidak memiliki kepekaan dan olah rasa yang baik untuk mengendalikan kekuatannya itu.
Apakah itu bisa dianggap feminis? Jawabannya bisa iya, dan bisa tidak. Akan tetapi, saya sendiri bersetuju jika karakter Vers merepresentasikan perempuan yang kuat. Jelas bukan karena dia mendominasi tokoh laki-laki lainnya tapi karena kesadarannya untuk bisa menguasai dirinya jika ingin menang. Vers membuktikan jika ia mampu mengolah emosi dan memanfaatkan pikirannya.
Saya mengingat perbincangan dengan seorang teman beberapa hari lalu . Ia mengatakan bahwa dalam suku Jawa ibadah itu terdiri dari empat bagian, yakni sembah rasa, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah alam. Menonton sebagian film ini membuat saya berefleksi jika dalam tubuh perempuan, jiwa, pikiran, dan rasa harus sejalan. Perempuan harus memiliki kemampun mengolah tubuh jika ingin menjadi makhluk yang kuat laiaknya Vers.