Salah satu keuntungan sekaligus kekurangan sistem demokrasi di negara kita adalah suara semua pemilih sama nilainya. Sebab pemenang pilpres tidak ditentukan oleh kualitas siapa yang memilih tetapi kuantitas jumlah pemberi suara. Maka jika keadilan semata-mata diartikan sama rata maka dibalik kotak suara adalah wujud salah satunya. Seberapa validpun argumen memilih satu kandidat sama saja hitungannya dengan seberapa hoakspun argumen memilihnya. Satu suara orang waras sama dengan satu suara orang gila. Jangan salah, orang gila tidak saja selalu yang sering kita temui setengah telanjang dan awut-awutan di pinggir jalan tetapi orang
gila juga termasuk yang gila kekuasaan.
Di balik kotak, suara yang berangkat dari akal sehat sama dengan dengan suara suara orang mabuk. Jangan salah lagi, orang mabuk tak selalu mereka yang berlebihan menenggak minuman keras tetapi juga mereka yang mabuk agama. Suara seorang Sri Mulyani Indrawati sama dengan suara Neno Warisman. Suara seorang Gus Mus sama dengan suara seorang Habib Rizieq. Eh Habib Rizieq jadi pulang mencoblos tidakkah? Atau blio mencoblos di Arab saja biar lebih syariah dan lebih berkah gitu?
Peluang ini sebenarnya memberi kesempatan yang terbuka lebar untuk saling mempengaruhi dan memperebutkan suara. Para kandidat dan suporter dari garis keras sampai garis loyo berlomba-lomba mempromosikan jagoannya.
Serangan kepada pihak lain juga rasanya sah-sah saja asal memang sesuai koridor dan faktanya memang demikian. Tetapi inimi juga masalahnya. Saling serang antar kubu seringkali jauh melenceng dari argumen-argumen logis yang menyehatkan akal dan barometer kebenaran. Yah memang sih semua tentu merasa memperjuangkan kebenaran. Kebenaran kan seringkali tergantung di mana ia berdiri. Tetapi ada standar dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyebutnya mengklaim kebenaran. Ada kaidah-kaidah yang tak bisa diabaikan saja sehingga argumennya tidak ngawur dan kacau. Sehingga klaim-klaimnya valid dan terpercaya sebab berlandaskan data fakta. Kalau semuanya berangkat dari keilmuwan dan memenuhi syarat-syarat tentu tidak ada masalah. Malah bagus sebab dapat menambah kadar keilmuwan dan pengetahuan. Pada akhirnya kita memilih yang terbaik dari yang terbaik. Sebab kandidat yang satu lebih mumpuni dari kandidat lainnya.
Namun kenyataanya tidak seindah bulan purnama, tapi eh bulan itu tidak indah juga, ada lubang dan kerikil penuh debu di permukaannya. Kembali ke topik, prinsip-prinsip akurasi dan realibitas data dan klaim diabaikan seringkali diabaikan dalam kampanye dan disinilah hoaks bekerja riang gembira. Sebab yah sehoaks apapun argumennya, suaranya tetap sama dengan seakurat apapun datanya saat di balik kotak suara. Maka akurasi data dan klaim materi-materi kampanye untuk mempengaruhi masyarakat tidak penting lagi. Yang penting jagoannya dicoblos dan suara bertambah. Tidak penting lagi apakah dasar informasinya saat memilih menyehatkan atau menyesatkan masyarakat.
Maka informasi apapun yang dapat membakar emosi dan mempengaruhi pilihan akan terus diproduksi demi suara. Persetan dengan kebenarannya atau tidak, yang jelas bisa mempengaruhi. Presiden Jokowi diledek karena tubuhnya yang kurus tirus sehingga dianggap tidak berwibawa. Sama halnya dengan Prabowo yang selalu diserang karena jomblo. Padahal kalau mau menilai seseorang yah nilainya dengan ukuran hatinya bukan besarnya otot. Sama halnya nilailah dengan keteguhan prinsipnya bukan dengan jomblo tidaknya. Bung Hatta hampir saja tidak menikah seandainya Indonesia tidak merdeka tetapi saya yakin ketika blio berjuang tidak ada yang merudungi karena masih jomblo. Tapi memang sih Bung Hatta tidak bercerai. Yang pasti kurus gemuk dan jomblo tidaknya bukan bagian dari persyaratan menjadi presiden dan wakil presiden.
Hal lain yang seringkali dijadikan senjata paling ampuh adalah ihwal agama. Yang pasti dan inilah senjatanya, agama telah diseret-seret masuk dalam pusaran kampanye yang tidak sehat ini. Jubah-jubah agama beserta ayat-ayatnya dicaplok sana ini untuk kepentingan praktis. Tentu baik melibatkan agama dalam memilih. Yang tidak baik sebab dalil-dalil agama dipelintir untuk kepentingan kelompoknya. Dan yang paling menyebalkan tentu memakai bahasa-bahasa provokasi yang seolah mewakili semua. Kata umat misalnya, berkali-kali digunakan untuk melegitimasi kepentingannya saja.
Apakah mereka tidak tahu? Mereka justru sangat tahu bahwa jualan provokasi mereka tidak benar dan mengkhianati akal, tetapi siapa lagi yang peduli? Mereka justru sangat sadar bahwa agama misalnya adalah obat paling manjur bagi masyarakat kita yang tak ada henti membincangkan agama dari sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Mungkin sampai tidur
selamanya juga begitu.
Tidak ada keraguan bahwa sebagian besar dari kita sudah mabuk agama bahkan overdosis. Tapi,seringkali semuanya lebih sering hanya berakhir dalam perdebatan dan formal simbolistik daripada perwujudannya. Entah dimana akal sehat dan kewarasan kita ketika jenazah ditolak disalatkan hanya karena beda pilihan politik. Ketika seharusnya kita semakin progresif, sebaliknya kita malah berjalan mundur ke belakang. Semakin konservatif dan kaku. Ketika dalil-dalil agama seharusnya dijadikan petunjuk untuk bekerja keras meningkatkan ilmu pengetahuan, sebaliknya kita semakin mengkhianati kaidah-kaidah ilmu yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip keilmuwan.
Kita tentu masih ingat bagaimana bencana alam menghantam sebagian daerah tanah air. Agama dijadikan alat legitimasi menyalahkan pilihan pemimpin bukannya prihatin dan segera berbenah diri. Jangan lupa agenda tahunan perdebatan ucapan selamat ini itu yang tak ada henti-hentinya. Kita berdebat untuk hal-hal yang tidak substansial dan produktif. Dalil-dalil digunakan secara serampangan demi kepentingannya saja. Semua merasa lebih tahu bahkan lebih tahu dari mereka yang telah mempelajari bidang tertentu selama bertahun-tahun. Akhirnya kita menjadi umat yang suka mempersulit diri dan berpikir instan.
Kita belum menghitung berita-berita hoaks lalu-lalang di sosial media. Informasi-informasi palsu yang sengaja dibuat untuk mengacaukan, mempengaruhi, memprovokasi, dan membodoh-bodohi masyarakat. Dan mereka tahu bahwa hal itu salah. Mereka orang-orang pintar. Hanya kepintaran itu seperti pisau. Punya dua sisi. Bisa digunakan untuk kebaikan, bisa juga digunakan untuk kejahatan.
Kita berada dipihak yang mana? Kita bisa sama-sama mengklaim berada pada pihak yang benar. Tetapi juga mesti bisa menguji seberapa akurat data dan klaim yang kita pegang. Apakah berdasar keilmuwan atau nasfu perasaaannya saja. Sebab yang tidak waras dan yang waras, punya sama-sama punya hak mengaku paling waras. Semakin banyak tidak waras yang merasa waras, maka merekalah yang akan makin berkuasa menguasai masyarakat yang suka baper dan emosian. Kata Gus Mus, akhirnya, yang tidak waras ini merasa paling waras. Jadinya yang lain salah semua.
Hoaks-hoaks ini semakin meresahkan bukan saja karena semakin banyak berita hoaks tetapi semakin banyaknya orang-orang yang tahu dan punya otoritas keilmuwan tetapi memilih diam dan mendiamkan. Sementara mereka yang merasa dirinya paling benar semakin perkasa dan beringas hingga akhirnya merasa punya cukup kekuatan untuk menindas.
Kita tidak harus membela salah satu kandidat, kita hanya perlu membela akal dan nalar sehat. Begitulah.