Hingga kini Supersemar masih misteri. Ada banyak versi dan kontroversi yang menyelimutinya. Katanya beginilah, katanya begitulah.
Lontar.id – 53 tahun yang lalu, bangsa Indonesia mengalami suatu peristiwa besar yang menentukan arah sejarah perjalanan bangsa hingga hari ini. Peristiwa tersebut dikenal sebagai lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar. Supersemar juga disebut-sebuat sebagai ‘surat sakti’ pengambilalihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).
Tonggak kekuasaan Orde Baru (Orba) dimulai pada peristiwa Supersemar, yang menjadikan Soeharto sebagai presiden selama tiga dekade (32). Tidak ada yang tahu pasti, apa saja poin-poin yang tertulis dalam Supersemar, sebab hingga saat ini surat sakti tersebut masih kontroversi dan memiliki beberapa versi dari sumber yang berbeda-beda sehingga masih sangat diragukan keasliannya.
Tetapi, Soeharto memaknai keluarnya Supersemar dari Soekarno merupakan penyerahan kekuasaan atau pelimpahan wewenang presiden untuk menjalankan sistem pemerintahan. Karena pada saat itu terjadi krisis ekonomi dan krisis politik, memicu gerakan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran dengan menuntut Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura).
Tritura menuntut pada pemerintahan agar membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta ormas-ormasnya, perombakan kabinet dwikora dan turunkan harga pangan. Aksi pembubaran PKI karena didasari oleh adanya Gerakan 30 September yang dilancarkan PKI, dengan menculik dan membunuh para jenderal dan mayatnya dibuang ke lubang buaya.
Sedangkan perombakan kabinet gemuk yang dilantik Soekarno berjumlah 100 orang, terindikasi adanya tokoh PKI yang masuk dalam kabinet agar dikeluarkan dan dibersihkan. Tokoh dan simpatisan PKI kemudian dibunuh hingga ke akar-akarnya melalui kekuasaan Soeharto, setelah dilantik sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1966.
Dalam tulisan Imam Maulana tentang Latar Belakang Lahirnya Supersemar, menjelaskan terjadi perbedaan pendapat antara Soekarno dan Soeharto terkait mengatasi krisis politik yang terjadi. Soeharto mengusulkan agar menumpas PKI sedangkan Soekarno masih mempertahankan PKI. Lalu pada tanggal yang sama, sebelum Soekarno mengeluarkan Supersemar, sang proklamator itu, memanggil seluruh menterinya dan mengadakan Sidang Kabinet Dwikora yang telah disempurnakan pada 11 Maret di Istana Negara. Soekarno sendiri yang memimpin jalannya sidang dengan tujuan mencari jalan keluar penyelesaian krisis.
Dalam berbagai sumber menjelaskan, pada saat berjalannya sidang kabinet, ajudan Soekarno memberikan laporan bahwa di sekitar istana terdapat sejumlah pasukan yang tidak dikenal. Lalu presiden menuju ke Bogor sebelum sidang berakhir bersama dengan Waperdam I Dr Subandrio dan Waperdam II Chaerul Saleh. Sidangpun kemudian diserahkan ke Waperdam II (Wakil Perdana Menteri II) Dr J Laimena dan menyusul Soekarno ke Istana Bogor, usai sidang dilaksanakan.
Pada hari itu juga, Soeharto mengutus tiga perwira tinggi menghadap Soekarno di Istana Bogor dan mengeluarkan Supersemar, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rakhmat, Brigadir Jenderal M Jusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bersama Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa.
Supersemar Yang Tak Relevan Lagi
Mempelajari sejarah akan menuntun kita pada fakta dan kejadian masa lalu, sehingga kita dapat mengambil pelajaran di masa kini untuk menata kembali bangsa. Memang belajar sejarah bukan suatu yang gampang dan juga sulit.
Sejarah akan sangat gampang sekali dipelajari jika, fakta dan kejadian sebuah peristiwa ditulis sesuai dengan apa adanya dan tidak mengandung muatan atau kepentingan kekuasaan di dalammnya. Tetapi bagaimana dengan sejarah yang dikonstruksi sesuai dengan keinginan penguasa, alur ceritanya dirombak dan menghilangkan peran orang-orang kecil dan justru peran tokoh-tokoh besar diutamakan.
Pengaburan sejarah akan melahirkan generasi yang tidak mengenal akar sejarah secara otentik. Melainkan sejarah yang ditulis ulang kembali, begitulah yang terjadi di masa rezim orde baru. Setidaknya pada peristiwa Supersemar.
Lalu apa masih penting bagi generasi sekarang belajar tentang Supersemar? Menurut saya, belajar tentang sejarah lahirnya Supersemar dalam konteks saat ini, tidaklah terlalu relevan lagi, meskipun sejarah masa lampau penting untuk diketahui. Alasannya sederhana, dengan berbagai kontroversi isi Supersemar dan perdebatan yang tiada ujungnya, akan sangat menghabiskan banyak energi. Terlebih lagi surat sakti tersebut hilang entah kemana, kecuali salinan dari berbagai versi yang tersimpan.
Selain itu, apakah mengetahui isi Supersemar, kekuasaan Soeharto selama 32 tahun lamanya, dapat didelegitimasi karena surat itu bukan pengambilalihan kekuasaan melainkan menyerahkan pengamanan negara pada Soeharto. Sekali lagi, semuanya sudah terjadi dan waktu tidak akan bisa diputar kembali. Dari pada kita terus berlarut-larut dalam perdebatan yang tiada ujungnya ini, lebih baik berpikir apa yang bisa kita lakukan untuk bangsa dan negara sebab itu lebih berfaedah ketimbang masuk dalam labirin yang tak berujung.
Penulis: Ruslan