Jakarta, Lontar.id – Saya sudah menonton Avengers End Game. Filmnya menarik. Ia butuh lima jempol bahkan lebih untuk membuat peringkatnya terus meroket, sebelum filmnya ditonton belasan juta orang Indonesia.
Saya menyukai alur ceritanya dan diskusi antara tokoh dalam film itu. Semuanya berisi. Kadang terselip candaan untuk tidak membuat film itu tegang melulu.
Saya hampir bingung, bagian mana yang tidak begitu penting? Saya menganggap film ini sukses, terlepas berapa jumlah penontonnya. Bioskop-bioskop di kota bahkan membuka layar khusus menonton tengah malam.
Saya menonton film itu jelang hari berganti. Pukul 23.45 WIB, 23 April 2019, di sebuah bioskop kecil di Slipi, Jakarta. Orang-orang masih banyak yang mengantre dan membeli jagung pop. Tua dan muda jadi satu.
Dengan durasi tiga jam lebih, saya kira film ini akan membosankan dan membuat orang menggerutu di dalam bioskop. Ternyata tidak. Dalam bioskop yang temaram, satu tepukan tangan seseorang cukup jadi pembeda, meski itu dianggap sebagai tindakan norak.
Netizen…
Saya menyukai bagaimana konflik terbangun dan pertarungan demi pertarungan diperlihatkan. Terpenting, sains adalah hal yang ingin ditonjolkan dalam film ini. Saya melihatnya begitu.
Ada perdebatan antartokoh soal sains. Itu menariknya. Soal siapa yang sebaiknya lebih dipercaya dalam mengelola kekuatan ilmu pengetahun eksakta. Terjadi perdebatan. Timbul konflik dari itu semua.
Film ini mengajarkan soal seharusnya kita menyerahkan orang-orang berkompeten dalam mengambil sebuah keputusan krusial dan penting. Sains, misalnya. Seperti Pilpres 2019, film ini juga berdebat soal ilmu pengetahuan.
Dalam film ini, diceritakan pula soal bagaimana kita harus berjuang. Bukan memenangkan pertarungan. Saya menikmati setiap scene yang cukup masuk akal dan menyentuh sisi-sisi humanistik manusia Indonesia, yang masih menganggap hasil adalah yang utama dari perjuangan.
Sampai di sini, saya belum membocorkan jalan cerita filmnya. Alhamdulillah, saya berhasil manut oleh aturan main yang ditentukan oleh empunya film. Lagi-lagi pikiran dan batin saya tersinggung.
Di Indonesia, aturan kerap dikangkangi. Kita berdebat dalam kekakuan aturan. Kita memintanya agar seharusnya ia elastis, dan tidak menghukum orang dengan mudah. Tetapi mengakangi hukum, saya kira akan dapat ganjaran negatif.
Pada sebuah grup whatsapp, saking menghindarinya spoil, kawan saya keluar dari grup. Ia mengaku tak ingin melihat ada bocoran alur cerita yang beredar. Ia menomorsatukan kepuasan menontonnya tanpa mau diusik.
Sebuah sikap yang saya kira mirip pahlawan. Memilih hal begitu cukup sulit, di tengah anggapan orang, “ngeri amat sih. Masa hal kayak gitu doang mesti left grup? Apa coba?”
Tetapi itulah pilihan hidup. Sama seperti jika kita berada dalam sebuah komune dan kita mendebat seseorang yang ingin melanggar aturan bahkan untuk sekadar mencoba untuk meluruskannya. Pastri terjadi persinggungan. Pasti.
Soal spoil itu memang punya implikasi pada jiwa. Psikolog klinis dari Personal Growth, Veronica Adesla, mengatakan galau akut lantaran spoiler ‘Avengers: Endgame’ bisa menyebabkan emosi menjadi tidak stabil, gampang marah, sensitif, hingga menyebabkan pada pertengkaran.
Lebih dari itu, perdebatan soal membuang sampah dalam bioskop yang dibahas warga maya, patut diperhatikan. Ini penting, sebab membuang sampah dengan dalih agar petugas bioskop punya kerjaan, adalah kalimat yang mudah diamini namun menyesatkan.
Semisal kau punya hajatan besar di rumahmu dan kau menyiapkan tempat sampah untuk limbah-limbah makanan dan minuman bagi para tamumu, lantas tamumu itu memilih membuangnya di bawah meja. Bagaimana perasaanmu?
Kau bisa saja mengaku bahwa itu adalah tanggung jawab empunya rumah. Juga menganggap dirimu adalah raja. Tetapi bisakah raja itu menyamakan derajatnya atau menurunkan dengan empunya rumah? Ini soal pengertian.
Harmoni harus dibangun. Budaya hirarki semacam itu harus ditebang pelan-pelan. Bekerjalah bersama untuk menciptakan satu budaya baru, yang bisa menjadi contoh di tempat lain. Perkuatlah kerja sosial dan saling pengertian.
Seharusnya sebelum melihat animo penonton yang begitu besar, kau bisa berpikir soal pegawai yang harus pulang larut hingga subuh, karena menuruti kemauanmu untuk menonton larut malam.
Pegawai lelah. Beberapa dari mereka mungkin saja punya keluarga yang harus ia temui secepatnya di rumah. Tetapi mereka urung. Dengan tidak membuang sampah, kau bisa memangkas waktunya dengan tidak repot membersihkan ruangan nonton.
Selain itu, kau bisa membantu mereka untuk bersegera merebahkan lelahnya di kasur dan beristirahat, agar ia bisa bugar kembali untuk mencari rezeki.
Tolonglah, jangan cuma melihat satu arah ke sebuah film. Wajiblah kita melihat pekerja-pekerja di belakang kita yang membantu kita agar mencapai zona nyaman menonton sebuah film. Pupuklah rasa pengertian dan tenggang rasa.
Saya kira hanya itu saja. Avengers End Game memang adalah film yang penting untuk ditonton, tetapi lebih penting untuk peduli pada pekerja di bioskop, demi membuat kita tak terganggu selama pertunjukan film berlangsung.
Selamat menonton. Film ini kuberi empat jempol, tentu saja.