Disrupsi media dari cetak ke daring, dibilang senjakala. Lalu kata apa yang pantas disematkan, kalau semakin hari, pekerja dan kekuatan media selalu disinisi oleh penguasa, oposisi, dan seluruh sekondannya?
Jakarta, Lontar.id – Dari tahun ke tahun, pekerja media selalu dianggap rendah. Narasi yang keluar dari kubu Jokowi dan Prabowo tidak pernah ada yang beres. Beberapa kasus sudah terpampang nyata di muka publik.
Pertama, Prabowo menghina kerjaan jurnalis. Meski hal itu sebagai cambuk bagi diri sendiri untuk berbenah, tetapi cukup menyakitkan untuk didengar. Suram.
Kedua, di negeri ini, pendekatan persuasif urusan belakang. Hantam dulu baru minta penjelasan. Contohnya, saat puluhan kader PDIP datang marah-marah, membentak, memaki, dan merusak properti kantor Radar Bogor.
Radar Bogor memang salah, jika mengikut dari penilaian Dewan Pers. Sebab beritanya, pada Rabu, 30 Mei 2018, berjudul ‘Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp 112 juta’ melanggar kode etik jurnalistik. Isinya menyinggung Megawati.
Apakah menyerang dan menghantam jadi solusi, ketika pemberitaan itu keliru? Penyelesaian masalah saya kira ada caranya. Komunikasi itu penting.
Bredel-bredel itu pernah dirasa pada zaman Orde Baru. Era Prabowo jadi Pangkostrad. Hak berpendapat dibungkam, dan kader PDIP dengan getol melawannya. Sekarang bagaimana?
Termutakhir, Jokowi dan kroninya membuat kebijakan yang seakan-akan membuat para pewarta kian tidak enak untuk kritis bahkan duduk berlama-lama di kantornya.
Ya. Susrama dapat remisi usai membunuh Narendra Prabangsa, jurnalis dari Radar Bali, dengan keji. Padahal, hukumannya berat pada awal, dari hukuman mati, kemudian turun menjadi seumur hidup.
Lalu muncullah Kepres No. 29 tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Sementara tertanggal 7 Desember 2018.
Menerima keputusan itu, jujur saja, membuat saya jadi berpikir lebih dalam lagi, jika mendapati satu liputan bernas yang membongkar cawe-cawe oligarki dalam mereguk duit besar lewat sendi-sendi pembangunan.
Apakah saya harus takjub dan menilai kemampuan jurnalisnya begitu mumpuni. Atau kasihan, soal keamanan penulis ini akan dijaga dan dilindungi dengan baik? Kita semua bisa saja berbaik sangka. Tapi, nyatanya?
Setiap pekerjaan memang punya risiko besar. Menjadi buruh bangunan, bisa bikin mampus kalau tidak hati-hati. Makanya, ada regulasi dan alat keamanan yang dibikin untuk meminimalisir kecelakaan kerja.
Masalah itu, saya mengapresiasi pemerintah dan pemangkukepentingan yang ingin duduk bersama dalam membahas amannya kerja, perlindungan baik kesehatan dan hari tua, serta tunjangan lainnya.
Lantas bagaimana jurnalis? Pekerjaan ini cuma cocok untuk orang-orang yang tangguh, kuat mental, dan luhur pekertinya agar membantu publik. Dunia jurnalistik, bagi saya, seyogiayanya membuat saya bangga.
Banyak kawan saya yang bergaji minim, meliput dengan semangat. Kekuatannya penuh sekali. Itu salah satu bukti, meski kurangnya jaminan hidup dalam pekerjaan ini, setidaknya, jurnalisme belum mati.
Sulit untuk meneguhkan pimpinan perusahaan agar memperhatikan kelayakan upah buruh tulis. Di antara ribetnya persoalan soal pemasukan tiap bulan, wajah hukum kita seakan merobohkan semuanya.
Tidak ada jaminan yang meyakinkan wajah pewarta ke depan untuk menjaganya dari serangan. Setelah bergulat dengan gaji, keamanan juga makin kabur setelah kasus Prabangsa dan diberinya remisi bagi Susrama.
Keputusan Jokowi itu, setidaknya, akankah membuat perusahaan jurnalisme akan baik-baik saja ke depannya? Dari segi kapital, saya yakin akan baik, namun kemanusiaan?
*
Di ruang kepala saya, ada sedikit cerita. Membayangkan saja. Entah itu sudah terjadi, belum, atau akan terjadi. Saya terakan di sini, agar kita sama-sama paham duduk perkaranya.
Saya membayangkan setelah pulang dari meliput suatu kasus besar, kemudian menerbitkannya, seseorang menghintai saya dari belakang. Saya dikuntit dari pergi sampai pulang ke rumah.
Awalnya, tidak ada keanehan, Semakin lama, saya semakin gusar. Kejadian itu berulang-ulang. Apalagi setelah saya tahu, keluarga saya sudah diteror habis-habisan.
Dalam satu pagi, oleh ibu, saya disuruh duduk di meja makan. Ada kudapan lezat, kopi hitam, dan telur ayam kampung terhidang. Kata ibu, saya harus sehat sebelum beraktivitas.
Tidak ada koran di sana, sebab ibu saya sekolahnya tidak selesai. Ia malas untuk mengetahui persoalan-persoalan yang bikin kepalanya makin penuh. Ia mau hidup luwes saja tanpa baca berita ini dan itu.
Di meja itu, ibu saya sudah mewanti-wanti, kalau saya tidak usah mengganggu kepentingan orang. Kata ibu saya, saya bisa mati kalau melanjutkan tulisan-tulisan yang mengusik.
Ibu sudah diganggu. Beberapa malam yang lalu. Ia dikirimi secarik surat usang, yang ditujukan pada saya. Isinya memang bikin ngeri. Setelah membaca, ibu merobeknya.
Isi diskusi sudah jelas ke mana. Saya diam. Ibu terus menggurui. Kata ibu, pekerjaan saya adalah pekerjaan yang berbahaya. Gajinya kecil. Urusannya sama orang-orang gede. Ia takut saya dapat marabahaya.
“Biarin orang-orang itu bikin angkara. Kamu bisa cari pekerjaan lain. Jangan masuk dan mengusik mereka.”
Dasar saya. Bagaimanapun keras, ibu selalu memberi jalan yang luas untuk berpikir. Ia tidak pernah mau memaksakan apa yang diberitahunya untuk saya laksanakan. Saya iyakan saja semuanya.
Di kantor, saya terus terusik dengan kalimat yang dilontari ibu. Batin saya bergejolak. Saya harus berhenti atau tidak? Dalam hati saya, persoalan mati dan hidup urusan Tuhan.
Selama jadi jurnalis, saya yakin kerja saya adalah ibadah. Publik harus tahu. Borok harus dibongkar, apalagi sudah merugikan orang banyak.
Tiba masanya, saya makin bertanya-tanya dan ragu berat, setelah seorang jurnalis tewas mengenaskan karena memberitakan hal menyimpang dari pemerintah.
Pelakunya tertangkap, ia dihukum mati, lalu hukumannya diubah menjadi seumur hidup, kemudian dapat remisi lagi dari presiden. Setelah mendengar kabar itu, saya menyadari kalau saya harus berhenti. Ya, saya harus berhenti.
Ibu…
Baca juga: Gantung Diri: Dosa Jokowi dan Jualan Prabowo
*
Bagaimanakah ukuran kejahatan luar biasa itu? Apakah bunuh orang itu adalah kejahatan yang biasa?
Jujur, pandangan saya agak kabur, setelah membaca komentar Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, sewaktu menanggapi pemberian remisi bagi Susrama.
“Pertimbangannya, dia sekarang sudah sepuluh tahun di penjara. Dan dia selama melaksanakan masa hukumannya, tidak pernah ada cacat, mengikuti program dengan baik, berkelakuan baik,” kata Yasonna.
Yasonna juga menegaskan perbuatan Susrama bukan termasuk kejahatan luar biasa. Menurut dia, remisi sejenis juga sudah sering diberikan ke banyak narapidana.
“Jadi dihukum itu, orang tidak dikasih remisi, enggak muat itu lapas semua kalau semua dihukum, enggak pernah dikasih remisi,” tambah dia.
Saya kira sudah pantas, jika kebijakan Presiden Joko Widodo dikecam oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan tiga poin:
- Mengecam kebijakan Presiden Joko Widodo yang memberikan remisi kepada pelaku pembunuhan keji terhadap jurnalis. Fakta persidangan jelas menyatakan bahwa pembunuhan ini terkait berita dan pembunuhannya dilakukan secara terencana. Susrama sudah dihukum ringan, karena jaksa sebenarnya menuntutnya dengan hukuman mati, tapi hakim mengganjarnya dengan hukuman seumur hidup.
- Kebijakan presiden yang mengurangi hukuman itu melukai rasa keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia.
- Meminta Presiden Joko Widodo mencabut keputusan presiden pemberian remisi terhadap Susrama. Kami menilai kebijakan semacam ini tidak arif dan memberikan pesan yang kurang bersahabat bagi pers Indonesia. AJI menilai, tak diadilinya pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk juga memberikan keringanan hukuman bagi para pelakunya, akan menyuburkan iklim impunitas dan membuat para pelaku kekerasan tidak jera, dan itu bisa memicu kekerasan terus berlanjut.