Prabangsa tewas mengenaskan. Dalang pembunuhnya, I Nyoman Susrama, dapat remisi yang tak jelas juntrungannya.
Jakarta, Lontar.id – Sampai sekarang, sebagai jurnalis saya belum paham apa urgensi Susrama dapat remisi tahanan? Toh, bersama kawannya, ia berkomplot untuk bunuh Prabangsa.
Saya kaget. Bukan karena remisinya, tapi karena alasan di balik remisi yang diucapkan Yasonna Laoly, yang masih susah saya terima pakai akal.
Dari Kompas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly bilang begini sewaktu menanggapi pemberian remisi bagi Susrama.
“Pertimbangannya, dia sekarang sudah sepuluh tahun di penjara. Dan dia selama melaksanakan masa hukumannya, tidak pernah ada cacat, mengikuti program dengan baik, berkelakuan baik,” kata Yasonna.
Alasan pertama, terdengar ngawur. Perbuatan baik ukurannya apa? Apakah Susrama mau jadi bandit dalam penjara dan mengacaukan bui dengan mengumpulkan massa dan bergerombol keluar bersama narapidana lainnya?
Saya percaya mayoritas narapidana ketika dipenjara akan berubah menjadi lebih baik dan berhati-hati. Itu kalau dia tidak punya bekingan yang besar. Nyalinya pasti ciut.
Untuk alasan pertama, saya punya kawan yang pernah dipenjara. Kasusnya adalah kedapatan memakai ganja di rumah kawannya. Kenapa ia didapat? Sebab ada informan tengik yang melapor, jadinya ia disergap di rumah kawannya.
Kemudian ia masuk penjara dalam keadaan yang murung. Keluarganya syok berat. Namun, ia tidak meninggalkan kawan saya seorang diri.
Keluarganya tak mau memuluskan jalan keluar kawan saya itu. Katanya, biar kawan saya dapat pelajaran dan berubah jadi lebih baik lagi. Biar ia rasa, betapa tidak enaknya hidup dalam penjara.
Kawan saya menerima dengan lapang dada. Ini salahnya, jika keluarganya tak ingin membantu memuluskan jalannya untuk keluar, tak mengapa. Lagipula ia tetap dibawakan sandang serta pangan.
Lama kelamaan kawan saya keluar dari penjara. Ia bebas. Lalu kami bertemu, bertatap muka pada malam hari. Ia bercerita panjang soal hidupnya dalam penjara.
Kesimpulannya, ia kapok. Ia cuma bisa melihat gedung-gedung dari dalam penjara. Apalagi, saat azan tiba. Terdengar sayup-sayup masuk ke kupingnya.
Dibayangilah olehnya soal lelaki yang bergegas ke masjid, bersama kawannya yang lain. Pakai sarung, lalu baju putih. Seperti berlebaran. Ia pikir itu lebih detail, dan pusing, kemudian jeranya menjadi-jadi.
Saya kapok. Tidak enak dalam penjara. Kumpul jauh dari keluarga. Saya cuman bisa melihat bangunan tinggi dari dalam ppenjara. Saya tidak bisa keluar untuk jalan-jalan seperti biasa. Saya tobat. Kawan saya bilang begitu.
Kawan saya menyesal. Kini, ketika diajak kawan lainnya untuk nyimeng, badannya gemetar dan menolak secara halus karena akibatnya sudah diketahui. Ia tak mau jadi pesakitan lagi.
Nah, setidaknya, penjara membuatnya menjadi orang baik. Sensasi kelam jeruji besi yang dingin membuat sisi antagonisnya luntur. Tanpa dibantu oleh keluarga, ia bisa berubah jadi lebih berhati-hati. Begitulah.
Alasan kedua, Yasonna juga menegaskan perbuatan Susrama bukan termasuk kejahatan luar biasa. Menurut dia, remisi sejenis juga sudah sering diberikan ke banyak narapidana.
“Jadi dihukum itu, orang tidak dikasih remisi, enggak muat itu lapas semua kalau semua dihukum, enggak pernah dikasih remisi,” tambah dia.
Ini alasan kedua yang paling konyol. Jika ada kesempatan untuk bertanya pada Yasonna, pertanyaan saya cuma satu: jadi kejahatan luar biasa itu yang mana, kalau bunuh orang tidak masuk dalam kategori itu?
Kata bunuh saja itu sudah terdengar ngeri. Prosesnya apalagi. Prabangsa yang malang itu, kawan kami seprofesi, dipukuli dulu, lalu jasadnya yang payah dan berlumur darah dibuang ke laut.
Dari fakta kesaksian dalam persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar pada 8 Oktober 2009. Terungkap bahwa Susrama memerintahkan anak buahnya menghabisi nyawa Prabangsa pada 11 Februari 2009. Susrama meminta Komang Gede, Mangde, dan Rencana menjemput Prabangsa di Taman Bali, Bangli.
Pukul 15.00 Wita, Prabangsa dijemput menggunakan mobil Honda Civic LX warna hijau metalik. Saat dibawa, kedua tangan Prabangsa diikat tali ke belakang. Ia dibawa ke rumah kosong milik Susrama di Banjar Petak, Bebalang.
Pukul 16.10 Wita, muncul Susrama bersama Dewa Sumbawa. Tanpa banyak bicara, Susrama langsung memerintahkan anak buahnya memukuli Prabangsa yang masih terikat.
Tubuh Prabangsa ambruk. Saat itu Prabangsa sempat bangun dan berusaha lari, tapi gagal. Kegagalannya, membuat ia ditangkap lagi oleh Mangde, Rencana, dan Sumbawa. Saat itu Prabangsa diseret kembali ke belakang rumah kosong.
Di sana, Susrama makin emosional. Ia memerintahkan anak buahnya menghabisi nyawa Prabangsa. Tanpa pikir panjang, Mangde dan Rencana mengambil balok kayu. Tubuh dan kepala Prabangsa pun beberapa kali dihantam balok kayu.
Prabangsa roboh, pingsan. Tubuhnya luka parah dan pendarahan hebat. Saat itu Prabangsa diseret dan disekap di dalam kamar. Susrama memerintahkan Endi dan Darianto membersihkan pekarangan itu dari darah yang menggenang.
Pukul 21.00 Wita, Prabangsa yang sudah tak loyol, dibawa menggunakan mobil Kijang Rover ke Pantai Goa Lawah, Kabupaten Klungkung, oleh Susrama dkk.
Begitu sampai, sudah ada Gus Oblong dan Maong. Susrama memerintahkan agar tubuh Prabangsa dibuang. Kedua orang itu lalu menaikkan tubuh Prabangsa ke perahu, dan membawanya ke tengah laut. Gelap malam jadi saksi, sata tubuh Prabangsa dibuang ke laut.
“Pembunuhan yang dilakukan para terdakwa sangat keji,” kata ketua majelis hakim Djumain ketika menjatuhkan vonis pada 15 Februari 2010.
Lalu atas dasar apa Yasonna dan Jokowi berkomplot dengan pelbagai macam alasan untuk memberi remisi pada Susrama?
Belakangan, Presiden Joko Widodo mencabut remisi I Nyoman Susrama, pembunuh wartawan Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa dalam puncak perayaan Dirgahayu yang ke-73 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surabaya.
Alhasil, Susrama tetap harus menjalani hukuman penjara seumur hidup. “Sudah, sudah saya tandatangani,” kata Jokowi di sela-sela acara tersebut, Sabtu (9/2/2019), setelah didesak untuk mencabut remisi.
Saya sendiri turut berbangga atas desak-desakan kawan-kawan jurnalis karena membuat Jokowi menandatangani Keppres pembatalan remisi bagi Susrama. Meski begitu, saya senantiasa mengingat narasi yang dikeluarkan pemerintah, membuat saya tidak bisa lupa, kalau jurnalis masih tetap disinisi, baik sewaktu hidup dan saat sudah tak bernyawa.
Itu bagi saya. Entah kalau jurnalis yang lain.