Lontar.id – Menyambut tahun kelahiran Yesus Kristus, ummat kristiani biasanya mendandani rumah atau tempat ibadah dengan pernak pernik khas natal. Ada pohon Natal dengan lampu kerlap-kerlip, kartu natal, sinterklas dan lagu-lagu rohani yang menceritakan tentang kelahiran Yesus Kristus.
Acara penyambutan hari besar di Indonesia, bukan hanya dilakukan oleh kalangan kristiani. Ummat Islam biasanya merayakan hari kemenangan di saat lebaran.Perayaan keagamaan sangat mudah ditemukan di negeri ini, baik muslim maupun non-muslim.
Keberagaman budaya, agama, dan ras, menjadikan antar pemeluk agama saling bertoleransi. Mereka hidup rukun dan harmonis, saling menjaga dan menghargai ibadah masing-masing.
Tapi dalam beberapa kasus, khususnya menyangkut perayaan hari besar suatu agama, kita kerap terlibat dalam perdebatan yang tidak ada habis-habisnya.
Seperti saat ini, perdebatan apakah ummat muslim diperbolehkan memberi ucapan selamat hari natal atau tidak kepada sesama saudara yang berbeda keyakinan. Karena dalam beberapa pandangan, menyebutkan bahwa ummat muslim tidak diperbolehkan dengan alasan merusak akidah Islam.
Ada anggapan yang menyatakan memberi ucapan selamat natal, sama halnya dengan mengakui dan membenarkan bahwa Yesus Kristus (Nabi Isa dalam kepercayaan Islam) sebagai anak tuhan. Sementara dalam kepercayaan Islam, Nabi Isa atau Yesus Kristus merupakan nabi yang diutus oleh Allah untuk memperbaiki ummatnya pada saat itu.
Perdebatan ini sudah sejak lama, namun masih terjadi sampai sekarang. Memberi ucapan selamat natal setiap tanggal 25 Desember kepada ummat kristiani dilarang. Meskipun beberapa diantara ummat muslim masih mengucapkan selamat, atas dasar menghargai agama lain.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, mengeluarkan instruksi melarang umat muslim memberi ucapan selamat natal kepada saudara kita yang akan sedang merayakannya. MUI beralasan, ucapan selamat natal dianggap dapat merusak akidah umat Islam dan membenarkan agama lain.
Dua poin yang perlu digaris bawahi pernyataan MUI Jatim, pertama dapat merusak akidah Islam. Kedua membenarkan agama lain. Apakah pernyataan institusi keagamaan seperti MUI Jatim dapat dibenarkan di tengah konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang berama.
Sekali lagi, perdebatan ini memang tiada habisnya. Selalu diputar setiap mendekati perayaan Hari Natal. Kita akan diperhadapkan dengan kondisi dilema, pertama jika melakukan dianggap akan merusak akidah, bila tidak dilakukan maka kita dianggap tidak menghargai dan toleransi terhadap agama lain.
Ucapan selamat merayakan hari natal sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas keberhasilan seseorang, seperti selamat wisuda, selamat atas kerja keras dan sebagainya. Memberi ucapan selamat natal tidak ada korelasinya dengan merusak akidah Islam, atau tiba-tiba seseorang setelah mengucapkan lalu pindah agama.
Kita hanya menghargai sesama manusia yang memiliki kepercayaan lain. Sikap itu lebih pada menunjukkan toleransi dan penghargaan. Karena konsekuensi hidup dalam suatu masyarakat yang beragam, tentu saling menghargai satu sama lain agar terciptanya hidup yang rukun tanpa melahirkan sikap permusuhan.
Begitupun sebaliknya, orang yang tidak memberikan ucapan selamat natal tidak boleh dipaksa-paksa. Ia pasti memiliki alasan tersendiri, entah alasan keagamaan atau alasan lain.
Dalam hidup berbangsa dan bernegara, ungkapan yang dapat mencederai dan melukai hati agama lain, sebaiknya dihindari sebab kita tak ingin terjadi konflik karena agama.
Di momentum peringatan hari natal sekaligus merayakan tahun baru, kita memberikan kebebasan dan menghargai siapapun yang memberi ucapan selamat begitupun bagi yang merayakannya.
Editor: Ais Al-Jum’ah