Cristiano Ronaldo membuktikan kelasnya. Ia sukses membawa Juventus melangkah ke babak 8 besar Liga Champions.
Lontar.id – Ronaldo menciptakan drama, lagi-lagi di sepak bola. Ia mencetak tiga gol ke gawang Atletico Madrid, saat posisi Juventus terjepit dengan defisit gol yang harus mereka kejar di Allianz Stadium.
2-0 adalah angka yang berat disusul. Madrid harus mengemas tiga gol untuk membalikkan keadaan. Jika melihat gaya permainan Atletico Madrid, mereka pasti bergidik, sebab klub itu, beberapa tahun belakangan, diakui punya pertahanan yang oke punya.
Bukan cuma pertahanan, pemain belakangnya memang punya kekuatan di atas rata-rata. Salah satunya Diego Godin atau Juanfran, yang kerap merepotkan para striker tim lawannya dikarenakan sulit mengembangkan permainan.
Namun itu tak berarti bagi Ronaldo. Ronaldo lebih dari sebuah klub. Ia seperti sosok yang menghidupkan sepak bola Italia yang sudah tandus dan butuh disirami dengan permainan aktraktif. Makanya, transfer saga dari Madrid ke Juventus harus dilakukan.
Bayangkan saja, seorang kawanku meng-unfollow akun Real Madrid. Ia membeberkan kenyataan itu pada satu kesempatan di tempat yang remang, hanya ada musik yang terdengar dan di hadapannya ada satu gelas teh hijau dingin.
Semua berubah setelah Cristiano pindah ke Juventus. Ia langsung mengikuti akun Bianconeri saat transfer yang pernah bikin gempar itu rampung seratus persen.
Dalam sedikit perbincangan, ia mengaku kalau memang ia lebih tertarik pada Ronaldo. Kawan saya adalah seseorang yang mengerti sepak bola. Ia bukan sosok yang cuman lihat tampang doang. Ia pemain futsal yang punya gaya flamboyan.
Dalam pertandingan dini hari tadi, tiga gol Juventus diborong oleh Cristiano Ronaldo. Satu gol tercipta di babak pertama pada menit ke-27, sementara dua gol dibuat pada paruh kedua pada menit ke-49 dan 86.
Atletico tak kuasa menahan dominasi dan tekanan Juventus. Tuan rumah mencatatkan penguasaan bola hingga 62 persen. Mereka melepaskan 16 tembakan, empat mengarah ke gawang.
Aku membayangkan tak ada Ronaldo di sana. Apakah Juventus bisa seperkasa itu dan melenggang lolos dengan mudah? Entahlah, yang jelas sepak bola Juventus sekarang, tak bisa dipisahkan dari sosok fenomenal sejagad itu.
Melihat kenyataan, pikiranku terlempar ke Santiago Bernabeu. Si Putih melempem semenjak ditinggal Ronaldo. Ia menjadi klub semenjana, mirip seorang lelaki atau perempuan yang menangis tersedu-sedu dengan mata yang sembap karena ditinggal kekasihnya.
Dalam bahasa umpama. Anggap saja Madrid sekarang duduk menekuk lutut di satu sudut ruangan yang sepi. Kepalanya ditundukkan dan wajahnya ditutup di sela paha.
Menyedihkan sekali. Terdengar tarikan napas disertai ingus yang basah dan cair, macam orang dirongrong keburukan yang jumud. Tak berhenti. Tak selesai-selesai. Deritanya tiada akhir.
Bagaimana tidak. Real Madrid hampir pasti tak akan dapat gelar apa-apa. Dua pelatihnya dalam semusim tak berkutik. Tim ibu kota gentar dan berpikir: apa yang salah dari tim ini?
Nyatanya, tidak ada yang bisa membawa Madrid keluar dari tekanan itu sekalipun. Meski pelatih diganti, dan strategi serta taktitk diutak-atik. Peraih Ballon d’ Or, Luka Modric, punya kekuata apa sih?
Jika ditanya apakah masalah ini tidak ada kaitannya, maka dengan mantap aku bisa membantah kalau semuanya sangat berhubungan. Madrid adalah tim perkasa, selama ada Ronaldo. Raba saja faktanya.
Bahwa kalau dipikir, satu Ronaldo sebanding dengan sebelas Real Madrid, bisa dibilang iya. Memang kedengaran berlebihan. Namun, kenyataannya begitu. Ronaldo bisa membawa semangat positif.
Kelakuannya di atas lapangan, sangat baik. Begitu juga di luar. Sekiranya itu yang terlihat dalam hasil sorot kamera. Ia penderma yang sederhana dan menyayangi anak-anak, baik yang ingin meminta tanda tangan atau yang dipeluk kemiskinan.
Jika Madrid tertinggal, maka teriakan-teriakan untuk menyemangati temannya yang tertunduk, adalah kebiasaan yang kerap bisa dilihat sewaktu ia menjadi pemain paling ditakuti di Liga Spanyol dan dunia.
Sebelum ia hengkang, sebab merasa posisinya krusial, pada manajemen Madrid, ia meminta kenaikan gaji. Ia merasa amat terusik, ketika media terus menerus menulis kabar akan pindahnya Mbappe dan Neymar ke Madrid. Seakan-akan kualitasnya sudah menurun.
Ronaldo ingin menjadi matahari di klub mana saja. Meninggalkan Manchester United, ia torehkan kisah yang manis. Penggantinya belum ada hingga kini. Apalagi dalam skuaty Si Putih, meski diasuh oleh siapapun.
Madrid sudah memasuki waktu jelang Maghrib. Matahari sudah hampir tenggelam. Para pemainnya sedang letih habis bekerja. Pemainnya juga sedang menunggu di atas kendaranya, di kota yang macet parah dan berdarah-darah.
Peralihan waktu dari sore ke malam itu memang tampak indah. Berpikirlah, setiap ada yang ditinggal, selalu menyisakan hal-hal yang manis. Madrid paham situasi, yang mari, kita bisa melukiskannya seperti itu.
Madrid belum padam. Zidane sudah datang setelah sempat meninggalkan kota itu. Ia menjadi sosok pemimpin pada tempat yang hampir ambruk diserang dominasi kekuatan dana. Ia berbisik lirih pada seluruh warganya, agar tetap bersemangat menjalani hidup. Ia yakin akan memenangkan kotanya sama seperti dulu.
Sekarang warga kota yang berdarah-darah itu, akan memilih yang mana? Dibayang-bayangi oleh matahari yang tenggelam dan berpindah tempat, atau ucapan-ucapan syahdu pemimpinnya yang baru dilantik?