Oleh: Al Farisi Thalib, Alumni SPs UIN Jakarta
Kata sofis berasal dari tatabahasa Yunani “sophos”, yang berarti orang yang terampil dalam kerajinan seni, orang yang memiliki keahlian atau keterampilan istimewa; “sophites” atau “sophistikos”, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “sophistic”, yaitu orang-orang cerdik dan pintar.
Kelompok ini, dalam sejarah filsafat, muncul sekitar pertengahan abad ke-5 SM, sebagai sebuah “aliran baru filsafat” yang mula-mula di Athena, kemudian berkembang di Attika, dan memberi dampak signifikan bagi perkembangan peradaban Grik zaman Yunani Kuno. Yaitu suatu aliran yang menandai berakhirnya era filsafat ala dikemukakan Thales, Anaximandros, Anaximenes, Xenophanes, Zeno, dan Demokritos, dkk-sekaligus menjadi pendahulu bagi gerakan filosofis (pecinta kebijaksanaa) yang digelorakan oleh Socrates, Plato dan Aristoteles.
Pada mulanya, dalam praktik sehari-hari, kaum sophos atau kaum sofis, adalah orang-orang yang pandai dalam urusan sosial, pintar, terampil dalam berbagai keahlian pengetahuan seperti ahli bahasa, politik, retorika, dll, sekaligus licik. Sehingga dengan kepandaiannya itu pula, dalam perkembangannya mereka mengalami distorsi: yakni menjadi gelar bagi orang-orang yang pandai memutar lidah, membelokkan kebenaran menjadi kebohongan, dan kedustaan menjadi kebenaran. Serta menjadi istilah ejekan dan menghina.
Sebab, mereka menggunakan kepintarannya sebagai alat untuk menipu dan menyesatkat banyak orang. Sinonim dari eristik, dimana menurut Aristoteles argumen-argumen sofistik diadakan demi bayaran, sedangkan eristik semata-mata demi kemenangan. Bayaran dan kemenangan, dalam bahasa politik kita hari ini disebut uang dan kekuasaan, merupakan tujuan utama dari gerakan sofistik.
Hal itu dikarenakan sifat kaum sofis yang selalu menghamba, mengabdi dan menjilat kekuasaan, sehingga argumen-argumen yang disampaikan haruslah sesuai dengan kehendak dan membahagiakan penguasa. Jangan harap ada objektifitas kebenaran yang dapat diperoleh dari mereka– mereka tidak memiliki pendirian dan selalu berubah-ubah; memutar balikkan fakta, pandai bersilat lidah. Pemuka kaum ini adalah Protagoras, Gorgias, Hippias, dan Prodikos.
Bagi mereka, tidak ada kebenaran (kecuali kelompok mereka) dan setiap orang berhak membawa ukuran kebenarannya masing-masing. Sebab itu, kata tokoh utama kelompok ini Gorgias, jikapun kebenaran itu ada maka sulit dibahasakan. Sehingga itu, sifat buruk dari kaum sofis adalah: menjual kebenaran kepada kekuasaan dan uang, meniadakan kebenaran (nihilisme) dan membenarkan segala pendapat (relativisme).
Ringkasnya, kaum sofis merupakan kelompok orang cerdik pandai yang gemar menjual kebenaran dan pengetahuan mereka melalui retorika-retorika dan argumen yang apik, yang memuji-muji kekuasaan untuk mendapatkan jabatan dan harta yang berlimpah. Lawan kelompok ini adalah filosofis, yaitu orang yang mencintai kebenaran dan kebijaksanaan, yang selalu mengkritik kekuasaan dengan menyampaikan kebenaran dan kejujuran.
Gerakan sofis tidak pernah berhenti, sifatnya terus menjelma. Boleh saja Protagoras dan Gorgias mati, tapi watak dan ruh mereka muncul setiap waktu dari periode ke periode kekuasaan, bisa dalam bentuk aktifis, ulama, ustaz, doktor, profesor, seniman, birokrat, pengacara, peneliti, bahkan dalam bentuk diri kita.