Jakarta, Lontar.id – Kembang api memang indah jika meledak di langit. Namun bagaimana jika meledak di tangan? Tahun ke tahun, banyak orang celaka karena mainan yang akrab menyapa kita saat kecil itu. Terparah, ada yang cacat bahkan tewas mengenaskan.
Seperti yang dialami Putu Dadi (45) warga Dusun Kelod, Desa Busungbiu, Kecamatan Busungbiu, semalam saat pergantian tahun, Senin (31/12). Ia cacat dengan ujung jari tengah tangan kanan putus, kukunya pada ujung jarinya tercabut, setelah kembang api yang disulutnya meledak di tangan.
Tak lama ia lalu dilarikan ke Puskesmas Busungbiu dan akhirnya dirujuk ke RSUD Buleleng untuk dirawat serius pada pukul 02.30 wita. Sebab lukanya parah dan perlu dirawat khusus.
“Kalau yang pertama sampai ketujuh lancar dan tidak tahu kembang api yang terakhir meledak di tangan suami saya,” kata Istri korban, Kadek Saini (40) di RSUD Senin (1/1), dilansir Bali Post, saat menceritakan kronologi mengapa suaminya bisa celaka.
Sekisar pukul 00.00 wita, memang suaminya menyiapkan kembang api yang dibeli anaknya Kadek Agus Muliana (17) seharga Rp50 ribu. Keterangan pedagang, kembang api tersebut mampu meletus delapan kali.
Dadi mulai menyulut sumbu kembang api dengan korek. Selanjutnya, ujung bawah kembang api tersebut dipegang dengan tangan kanannya mengarah ke atas.
Satu per satu kembang api meluncur ke udara dan disertai ledakan menggelegar hingga letusan ketujuh. Kedelapan, ledakan di udara malah gagal, namun meledak di tangan korban.
Mirip Dadi, Asep Sutandi (46) juga celaka. Jari tengahnya putus, setelah memamerkan ledakan indah dari mercon di depan ponakannya pada 2014 lalu.
Warga RT 09/03 Desa Babakan, Kecamatan Cisaat, Sukabumi, Jabar tersebut, disebut terkapar pada ledakan kedelapan. Dari pertama hingga ketujuh, semua normal saja.
Terkesan berbahayanya petasan bukan hanya melukai masyarakat. Si kecil nan indah itu juga sempat mencelakai pembuatnya, di pabrik kembang api di Kosambi, Tangerang, Banten.
Tercatat, 48 pekerja tewas dan melukai 45 pekerja lain terluka. Tentu saja hal tersebut kompleks, sebab pemerintah dan DPR RI terseret dalam malapetaka tersebut.
Sebagai alat yang diandalkan untuk mengatisipasi, polisi bahkan sudah banyak menyita kembang api. Namun, tetap saja, tahun ke tahun, celaka akibat petasan terus tersiar.
Seperti anggota Polsek Cicurug yang menyita ribuan butir petasan dari empat pedagang di sekitar Pasar Cicurug, Kabupaten Sukabumi, dalam operasi jelang perayaan malam tahun baru, lima hari yang lalu.
Detailnya, petasan yang disita terdiri dari 900 butir petasan ukuran sedang, dan 5.200 butir jenis korek. Penyitaan petasan dilakukan dalam razia bersama Satpol PP Kecamatan Cicurug.
Lain Indonesia, lain pula Jerman yang lebih mengedepankan dampak ilmiah yang ditimbulkan petasan. Jerman bahkan sudah mewanti-wanti masyarakatnya untuk tidak merayakan pergantian tahun dengan membakar petasan, mercon, dan kembang api.
Dilansir DW, Badan Lingkungan Hidup Jerman (Umweltbundesamt/UBA) menyebut dalam pesta tahun baru, setidaknya ada 4.500 ton partikel debu halus di udara.
Hitungan UBA, peralihan tahun 2017 ke 2018, orang Jerman ditaksir menghabiskan uang sekitar 137 juta Euro atau lebih dari Rp2 miliar. “Jumlah partikel debu ini setara dengan sekitar 15,5 persen partikel yang disebar kendaraan lalu lintas jalan setiap tahun,” kata Kepala UBA, Maria Krautzberger.
Selain debu, Krautzberger bilang kembang api bisa memberi konsekuensi untuk kesehatan. “Efeknya beragam, mulai dari gangguan sementara pada saluran pernapasan, meningkatnya kebutuhan untuk pengobatan penderita asma hingga penyakit pernapasan dan masalah kardiovaskular.”
Kebalikannya, Juru Bicara Bidang Lingkungan Partai CDU Marie-Luise Dött, menentang larangan itu. Dott menuturkan, partikel PM10 – partikel yang diameternya berukuran kurang dari 10 mikron-cuma menyumbang dua persen emisi tahunan dari manusia.