“Sujud Allah, berdiri juga Allah. Selama ini hanya itu yang kami yakini sebagai muallaf yang ingin selamat memeluk agama Islam”
Makassar, Lontar.id – Agama adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Agama adalah opium bagi masyarakat. Setidaknya begitu bunyi sepotong kutipan dari Karl Marx.
Di Indonesia, agama sendiri bisa menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Mengingat bahwa mayoritas masyarakatnya menganut ajaran Islam.
Doktrin mengenai Surga dan Neraka selalu disampaikan ustaz-ustaz melalui toa masjid. Sehingga kerap kali kita yang mengaku ber-Islam sejak lahir mengikrarkan diri sebagai yang paling benar.
Sangsi pada apa yang disampaikan ajaran agama lain. Bersuka cita saat ada manusia yang memutuskan memeluk Islam. Meninggalkan agama dan kepercayaannya yang dahulu. Islam sendiri menyebut orang-orang dari agama lain yang masuk Islam sebagai mualaf.
Islam di Tanah Sulawesi Selatan telah ada sejak lama. Masuk ke Sulawesi pada abad ke-16, sejak masa kekuasaan Sombayya Ri Gowa I Mangngarrangi Daeng Mangrabia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin Awalul Islam raja Gowa ke-14. Tetapi baru mengalami perkembangan pesat pada abad ke-17 setelah raja-raja Gowa dan Tallo menyatakan diri masuk Islam.
Islamisasi itu menyebar begitu pesat, menyentuh beberapa suku yang ada di Sulsel. Bugis, Makassar, dan Mandar. Toraja satu-satunya suku yang disebut luput dari pengaruh Islamisasi saat itu, hingga jadilah Toraja sebagai basis agama Kristen sampai saat ini.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya Sabtu, 9 Februari 2019. Sebuah postingan dari seorang teman yang bermukim di Pinrang berhasil membawa saya menginjakkan kaki di salah satu dusun di Kecamatan Lembang, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.
Adalah Dusun Patambia, Desa Mesa Kada. Dusun yang berada di antara kepungan hutan. Menempuh sekitar dua jam perjalanan dari kota Pinrang, dengan akses yang cukup berbahaya dan terjal pada kala hujan melanda.
Sekitar satu hektare tanah yang diperoleh dari wakaf seorang dermawan, Patambia berdiri sebagai kampung mualaf. Dihuni sekitar 9 KK dengan total rumah baru dibangun sebanyak delapan.
Di depan perkampungan mualaf, terdapat sungai yang menjadi satu-satunya akses mereka jika ingin keluar kampung. Selain rumah warga, kampung mualaf juga telah memiliki satu musala yang digunakan untuk menunaikan salat dan belajar mengaji.
Baca juga: Guruku Sayang, Guruku Malang
Para mualaf yang sekarang berdomisili di Patambia, adalah warga pindahan dari Dusun Makula, Desa Mesa Kada, Kecamatan Lembang, Pinrang. Di Dusun Makula, sebelumnya mereka adalah penganut Kristen, beberapa animisme.
Walaupun berada di Kabupaten Pinrang, bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat diakui adalah bahasa asli Toraja. Alasan ini juga menggerakkan saya untuk berkunjung ke kampung mualaf, mengingat Pinrang sebagai kota yang mayoritas penduduknya adalah suku Bugis.
“Bahasa yang kami pakai itu sehari-hari bahasa Toraja,” ungkap Tokoh Masyarakat Kampung Mualaf, Hasbullah, kepada tim Lontar.id.
Warga Dusun Makula mayoritas beragama non-Muslim. Masuknya Islam di dusun tersebut diungkapkan warga melalui pernikahan. Tetapi meski begitu, Islam yang masuk tetap tidak bisa menenggelamkan dominasi non Muslim di wilayah tersebut. Sebab persoalan agama adalah persoalan keyakinan yang tidak bisa diubah dalam jangka waktu singkat.
“Sebelumnya istri saya itu berkeyakinan animisme, lalu menikah dengan saya. Setelah menikah juga tidak langsung masuk ke agama saya, Islam. Nanti saya punya tiga anak ini baru mereka yakin untuk masuk Islam,” ungkap Bapak Guntur, sapaan akrab Hasbullah.
Menurut informasi dari Bapak Guntur, saat ini masih ada 21 KK di Dusun Makula yang telah masuk Islam. Menanggalkan kepercayaan terdahulunya.
Baca Juga: Ritus Pengislaman Calon Mualaf di Pinrang
Viral, Karena Surat Seorang Anak Mualaf
Saya baru mengetahui bahwa Kampung Mualaf ternyata menjadi viral di sosial media, justru saat saya telah ada di kampung tersebut. Musababnya ada pada surat terbuka yang diakui teman-teman yang saya temui di Patambia sebagai curahan hati seorang anak mualaf.
Namanya Arjun, bocah lelaki kelas 5 SD. Ceritanya dituliskan entah oleh siapa dan kemudian diunggah ke laman akun facebook. Tak ayal, ceritanya itu mengundang banyak reaksi dari netizen. Dalam suratnya, Arjun banyak menyinggung soal kehidupannya sebagai anak mualaf yang minim pembinaan agama.
Singkatnya, dalam surat Arjun menginginkan diajar tentang Islam. Mendirikan salat dan mampu membaca ayat suci Alquran. Apa yang dituliskan Arjun dalam suratnya dibenarkan oleh bapaknya, Hasbullah.
Baca juga: Maaf, Murid di Sekolah Tak Bisa Dikerasi
Meski telah lama mengucapkan dua kalimat syahadat, kebanyakan mualaf di Dusun Makula tidak mengetahui apa-apa tentang ibadah seorang Muslim.
“Sujud Allah, berdiri juga Allah. Selama ini hanya itu yang kami yakini sebagai mualaf yang ingin selamat memeluk agama Islam. Kami mengerjakan salat sesuai dari apa yang kami tahu saja, mengenai bacaan dan gerakan, ya kami pasrahkan pada Allah,” terang Bapak Guntur.
Mereka telah mengenal Islam selama bertahun-tahun, bahkan ada sejak tahun 1996. Tetapi Islam yang diyakini sebatas ucapan dua kalimat syahadat.
Jauh sebelum Perkampungan Muallaf berdiri empat bulan terakhir ini. Mereka tetap hidup berdampingan dengan warga non Muslim di Dusun Makula.
“Ya dulu kami itu salatnya ya cuma hari jumat saja kasihan. Itu juga harus jalan kaki sejauh 2 km untuk sampai masjid. Dulu pernah ada pembinaan dari KUA, dua kali sebulan, terus jadi satu kali satu bulan, terus hilang. Ya mungkin karena akses jalanan memang yang sulit juga,” kenang Hasbullah.
Hingga akhirnya Hasbullah bertemu dengan seorang dari Yayasan Darussalam dan mengutarakan niatnya untuk membantu para mualaf belajar setidaknya bacaan salat yang benar.
Tawaran bersambut dengan pemberian satu hektare tanah wakaf yang digunakan untuk mendirikan perkampungan mualaf. Kemampuan Yayasan Darussalam hanya sampai pada penyediaan tanah untuk mendirikan bangunan.
Selebihnya, warga yang ingin pindah harus merogoh kocek sendiri untuk membopong rumah mereka di Dusun Makula ke Dusun Patambia. Atau setidaknya membangun rumah baru dengan membeli kayu dan seng terlebih dahulu.
“Jadi mereka yang masih ada di Dusun Makula ini juga mau pindahmi kodong, tetapi belum ada uangnya. Yayasan juga terbatas, karena masih ada 21 KK yang kalau dihitung-hitung biaya untuk pindahnya itu sekitar 3 juta per kk,” kata Hasbullah.
Meski mengaku ingin segera pindah ke Dusun Patambia, salah seorang warga yang akrab dipanggil Ibu Tua tidak menyimpan rasa tidak suka pada warga non Muslim di Makula.
Baca juga: Kisah Usang Tukang Utang
Toleransi yang ditunjukkan warga Makula kepada mereka sangat tinggi. Bahkan saat 9 rumah di Patambia berdiri, campur tangan warga Makula cukup berjasa.
“Saya sudah tuami, Nak. Sudah lamami saya masuk Islam sejak 1996, tapi masih tidak tahu mengaji saya. Jadi itu, saya mau sekali pindah di sini, dibina, diajar. Saya Islam karena suami, tetapi meninggalmi sudah lama. Tapi biar suamiku meninggal, saya tetap tidak maumi keluar dari Islam,” ungkap Ibu Tua.
Surat terbuka Arjun ternyata berhasil membuat banyak masyarakat bersimpati. Terbukti dua hari di sana, saya menyaksikan banyak komunitas datang menembus hutan hanya untuk mencapai perkampungan mualaf tersebut.
Tidak ada yang datang dengan tangan kosong. Masing-masing mereka membawa buah tangan. Beras, mi instan, telur, pakaian, bahkan uang tunai. Memakai baju dan atribut kebanggaan mereka berduyun-duyun masuk ke lokasi.
Gawai di tangan digunakan untuk berswafoto. Sesekali bergaya ala vlogger. Memasang spanduk bertuliskan komunitas masing-masing peduli kampung mualaf. Saking senangnya atau mungkin saking terharunya, ada yang tidak lagi sempat membaca tulisan “batas parkir kendaraan” yang dipasang sebelum sungai. Alhasil motor mereka melaju dengan gagahnya membelah air sungai yang semula jernih menjadi keruh.
Mungkin karena perasaan bahagia karena saudara Muslim bertambah, maka keinginan kuat untuk datang melihat para mualaf itu menjadi besar dan tidak terbendung. Namun sayang, kebahagiaan itu seringkali tidak sejalan dengan pola pikir dalam memaknai sebuah perpindahan agama seseorang.
Alih-alih mengenalkan huruf hijaiyah, bacaan salat, gerakah salat, cara berwudu, beberapa malah langsung menghantamkan perihal konsep surga dan neraka kepada mereka. Menakut-nakuti soal azab dan murka Tuhan.
Saya terperangah ketika mendengar seorang anak kelas 3 SD bercanda mengejek seorang temannya. “Kak, kak, itu e’ keriting rambutnya karena kena azab dari Allah,”.
Pada titik ini, hal yang mengkhawatirkan bukan lagi mengenai perpindahan keyakinan seseorang dari agama apa ke agama apa, melainkan cara seseorang menunjukkan kebenaran dengan mempertontonkan kesalahan di pihak lain. Kekhawatiran menganggap diri lebih Islam ketimbang Islam itu sendiri.
“Kami senang karena banyak saudara Muslim yang peduli. Terima kasih banyak. Kami bisa lebih bahagia lagi kalau tidak diberi apa-apa, cukup ajari kami Islam, dampingi kami. Kalaupun mau membantu secara materi, mungkin saudara-saudara kami yang di Makula lebih membutuhkan bantuan dana untuk bisa pindah secepatnya ke sini,” harap Hasbullah.
Penulis: Miftahul Aulia