Sepak bola Indonesia butuh direvolusi. PSSI tidak beres bikin aturan, suporter saling hujat, pemain sikat pendukungnya sendiri.
Jakarta, Lontar.id – Miljan Radovic dipukuli seorang Bobotoh, seorang pendukung Persib Bandung. Banyak media dan kita semua barangkali dalam beberapa kesempatan menyebutnya oknum.
Proteslah. Mengapa saat pendukung Persib memberitakan hal-hal yang baik, semua dengan bangga bilang kalau Bobotoh yang melakukannya. Jika bikin ketimpangan, orang menjawab, “ah, itu oknum.”
Nyaris seluruh kelompok suporter tidak ada yang benar-benar bersih, dan mereka tentu saja tak boleh dilepaskan dari satu insiden timpang yang kecil. Kelompok suporter adalah muara tanggung jawab.
Dalam banyak diskusi dengan dedengkot suporter, mereka bersama kelompoknya selalu mengajari hal-hal yang baik bagi para anggotanya. Suporter seperti rumah, dan pimpinan seperti kepala keluarga.
Maka kurang elok, jika seorang anak dalam suatu rumah yang adem ayem di dalamnya, lantas membuat keonaran di luar. Saat anak itu ditangkap, orang tua bilang, “itu oknum keluarga saya.” Begitukah cara komunikasi kita selama ini?
Aku sendiri tidak ambil pusing terlalu jauh ke dalam tubuh mereka. Itu rumah mereka. Yang aku kritik adalah, informasi soal oknum-oknum macam begitu. Risiko hidup dalam lingkup kerasnya dunia sepak bola memang begitu, bukan?
Kita atau informan yang kerap memberitakan oknum, oknum, dan oknum, sebenar-benarnya kurang adil. Sekarang, aku senang menyebutnya seorang suporter dari, atau seorang suporter saja, tanpa harus menggeneralisir di mana lokasi kejahatan yang dibuatnya.
Kejahatankah kalau seorang suporter memukul pelatih yang menangani suatu klub yang dicintainya? Saya rasa iya. Bagaimana mungkin kritikan dan kecaman mayoritas publik pencinta satu klub, namun ditumpangi satu kelakuan barbar seperti penyerangan secara fisik.
Lihat saja, komentar Yana Umar, dedengkot Viking Persib Club. “Wajarlah (permintaan Radovic mundur), dua kali berturut-turut kalah main di kandang sendiri, walaupun ini pra musim,” kata Yana dikutip dari Detik, Jumat (8/3/2019).
Meski menilai teriakan ‘Radovic Out’ wajar, ia malah menyayangkan adanya insiden penyerangan. “(Penyerangan) terlalu berlebihan. Walau gimana pun, itu pelatih Persib. Sampai pemukulan begitu enggak lah, bukan budaya orang Sunda,” tegas Yana.
Pekik perlawanan atas nama fanatisme memang sah-sah saja. Semua ada porsinya. Aku menyimpulkannya seperti itu, sebab Yana menyebut kalau sikap pemukulan atau penendangan terlalu berlebihan dilakukan oleh seorang suporter.
Aku perlu menegaskan, kalau kita ini bukanlah seseorang atau kelompok komune yang diam melihat klub sepak bola kita berjalan di situ-situ saja. Dalam sejarah klub besar, selalu ada kritik yang menyertai perjalanannya.
“Main” kekerasan tidak dicontohkan oleh suporter Persib saja, kok. PSM juga begitu, Persija juga, atau klub-klub lain barangkali tak ingin absen. Aku mengambil contoh dari kabar-kabar yang sudah diverifikasi oleh media-media.
Aku sebut saja, suporter PSM Makassar. Dalam pertandingan kontra Perseru Serui pada tanggal 5 Agustus 2018, seorang suporter Red Gank masuk ke lapangan dan memukuli hakim garis. Belakangan, Red Gank mengakui kalau itu suporternya.
Media lagi-lagi menyebutnya oknum. Mengapa tak menulis seorang anggota saja? Toh, mereka, sumber primer itu, tak merasa kalau itu seorang oknum. Mereka menyebut itu anggotanya. Mereka bertanggung jawab dan siap memberi sanksi. Saya kira begitu.
Aku tidak menyoal soal keputusan dalam organisasi, sebab itu urusan yang sangat privat. Yang aku soal adalah, cara media mengaburkan fakta kalau sepakbola kita ini memang sedang tidak baik-baik saja.
Suporter, sebagai wadah untuk bersatu menghimpun suara mengawal suatu klub, punya tanggung jawab seperti itu. Meluruskan informasi dengan senetral-netralnya. Bisakah kita?
Begitu juga dengan Persija. Saat itu, anak Menteri Pemuda dan Olahraga dipukuli seorang anggota The Jakmania di PTIK, pada 26 Juni 2018 lalu, sewaktu Persija Jakarta melawan Persabaya Surabaya.
Tidak jelas kronologinya. Namun, media, lagi-lagi menyebutnya sebagai oknum. Ini berbanding terbalik dengan komentar pembesar The Jakmania akan mengevaluasi pihaknya.
“Intinya kami dari pihak Jakmania menyesalkan kejadian seperti itu, kejadian bahwa situasi memanas lalu situasi jadi nggak asyik lalu ada hal yang kurang berkenan bagi banyak orang,” ujar Sekjen Jakmania Dicky Soemarno dikutip dari Detikcom, Minggu (1/7/2018) silam.
Apakah ini cuman untuk suporter saja? Tidak. Kekerasan dalam sepak bola juga kerap terjadi. Ada pemain yang memukul wasit, ada pemain yang memukul suporternya sendiri. Siapakah mereka?
Contoh pertama adalah M Rahmat. Sayap lincah dari PSM Makassar ini menendang seorang suporter yang belakangan diketahui mendaku dirinya berasal dari PSM Fans. Baikkah sikap seperti itu? Tentu saja tidak.
Mengapa? Sebab itu kelakuan barbar. Kenapa tidak mencoba untuk menahan amarah atau memberi tahunya dengan baik, kalau jangan menyalakan cerawat saat pertandingan, dikarenakan PSM akan didenda. Memintalah dengan mengedepankan adab.
Belakangan aku salut kalau mereka akhirnya meminta maaf. Rahmat mengaku salah. Begitu juga suporter dari PSM Fans. Masalah kelir, dan adem-adem kemudian.
Aku percaya satu kebaikan akan menularkan kebaikan-kebaikan lain. Dunia ini masih berbentuk dan belum punah, sebab masih banyak orang baik daripada orang yang jahat. Itu saja bukti dalam ceruk besarnya, kawan.
Sampai di situ sajakah kekerasan? Ternyata tidak. Dari Komite Disiplin (Komdis) PSSI, tercatat, kalau mereka membuat beberapa putusan terkait pelanggaran, salah satunya pemain Persiwa, Aldo Claudio, yang belakangan divonis tak boleh menjalani kegiatan di lingkup PSSI selama seumur hidup.
Persiwa saat itu bermain melawan Persegres Gresik United pada 15 September 2018 lalu. Dalam laga itu, pemain-pemain Persiwa melakukan pemukulan kepada wasit hingga terjatuh. Aldo pun menjadi salah satu pemain Persiwa yang mendapat hukuman berat.
Lebih dari itu, PSSI lah yang paling sering dikritik. Sebab memang, keputusannya ngeyel dan memble. Bagaimana mungkin, jadwal liga resmi yang sudah dipersiapkan jauh hari, kemudian ditunda cuma karena turnamen?
Politis benar. Cuman, apakah PSSI sudah tidak bertaji lagi? Jika ia bertaji, mereka pasti tetap kukuh menjalankan peraturan yang sudah dibuatnya jauh hari. Aku jadi berpikir, ngurus bola itu bisa sampai seenak dhewe begitu, ya?
Soal kesalahan lain? Mungkin Anda lebih tahu sendiri lah. Buruk-buruk PSSI itu selalu ada di mata pandangan setiap suporter klub yang ada di Indonesia. Tergantung kerugiannya apa.
Perlu pula sepertinya diberi saran pada PSSI, apakah satu per satu klub dan pentolan suporternya harus digembleng setiap bulan atau setiap tahun, guna mengedepankan adab dalam nenyelesaikan satu persoalan barbar? Mereka kan punya anggaran.
Jika toh tidak, suporter dan voters seperti asprof harus mengoreksi seluruh gerakan PSSI yang terlihat dungu, demi kebaikan sepak bola Indonesia. Jika tidak bisa lagi, jangan salahkan jika muncul persepsi kalau masing-masing pemegang kepentingan ada yang masuk angin.
Jika sudah begini, revolusi itu adalah ujung dari ide-ide brilian. Sebab, aku masih sering mendengar, “klub kita lebih baik daripada klub itu, karena suporternya pukul orang.” Saya jadi mual mendengarnya, dan berkata dalam hati, “sehatkah klub dan pikiran serta tindakan kita?”