Jakarta, Lontar.id – Selain pengerjaan Stadion Mattoanging yang akan dilaksanakan tahun 2020, yang dibahas pada tulisan sebelumnya. PSM juga membawa kabar kalau saham PSM akan dijual sebagian. Tentu saja untuk meningkatkan performa perusahaan.
PSM untung, masyarakat untung. Itu kata-kata Sadikin Aksa, pada tahun lalu, setelah mengambil PSM kembali dan pulang ke kandangnya: Makassar.
Saat itu Sadikin menangis, matanya merah. Ia sempat tertunduk dan menyadari, kalau betapa malunya ia jika PSM yang notabene punya sejarah panjang buat Makassar, punah karena tak ada lagi yang perhatian pada klub tertua di Indonesia itu.
Tampak menyedihkan. Aku berada di sana melihatnya. PSM memang, beberapa tahun yang lalu, nyaris hilang. Aku bahkan tidak pernah berpikir, jika tak ada Bosowa, bagaimana nasib PSM? Sulit untuk mencari pemegang saham.
Tetapi tidak sampai di situ. Sadikin juga, pada tahun 2015, berencana akan melepas sahamnya untuk masyarakat Makassar yang berniat untuk membelinya. Tentu saja, itu juga ditujukan bagi para suporter.
Pada tahun itu pula, Sadikin mengaku kalau PSM bisa sangat menguntungkan para investor, jika memang ada yang ingin membeli saham PSM.
Dulu, saham PT PSM dimiliki oleh beberapa pihak. Sadikin dan beberapa pengusaha Makassar (konsorsium Makassar) memiliki 40 persen, konsorsium 39 persen, Ilham Mattalatta sebesar 1 persen, dan Yayasan PSM sebanyak 20 persen.
Meski saat itu PSM sahamnya mengalami penurunan dari sebelumnya sebesar 30 persen. Meski demikian nilainya justru makin besar.
“Dulu nilai PSM tidak terlalu mahal hanya Rp1 miliar. Jika klub punya saham 30 persen, jadi hanya mendapat 300 juta. Sekarang memang sahamnya turun 20 persen, tapi mendapat sekitar Rp2 milyar nilainya. Ini jauh lebih bagus,” ujar Sadikin.
Memasuki tahun 2019, wacana itu dilempar lagi. Memang masih dalam tahap pembicaraan, namun hal tersebut terdengar serius bagi para pendukung PSM sejauh ini. Bagaimana jika PSM mayoritas sahamnya dibeli kemudian namanya diganti?
Dalam banyak kasus, banyak klub bahkan merger dan mengganti namanya. Dalam realitasnya, kedaerahan dan budaya dalam suatu klub bisa saja tiba-tiba dibalik menjadi nama yang sangat asing. Anda tahu kan, apa klub dan dari daerah mana klub itu, kemudian berganti nama?
Kukasih satu contoh sederhana. Sebuah klub, bernama PS TIRA, berhasrat lagi mengubah nama mereka, padahal mereka baru semusim meninggalkan nama PS TNI. Sekarang, mereka berupaya menyertakan Kabupaten Bogor. Padahal, Bogor sudah punya klub lokal yakni Persikabo. Isu merger antara kedua kesebelasan akhirnya menyeruak.
Sadar atau tidak, jika mayoritas saham PSM terbeli, pemilik perusahaan klub bisa bikin apa saja untuk PSM. Ia punya hak untuk itu. Ia bisa mengganti manajemen, merombak sistem, memindahkan kandang PSM, dan lain hal. Sederhananya, logo PSM saja bisa diganti. Bagaimana nama PSM, bisakah diganti? Yakinkah para pendukung akan menerima pergantian nama itu?
Hal itu tentu saja disusul setelah manajemen PSM Makassar mewacanakan pelepasan saham di Bursa Efek Indonesia, dan mereka berniat mendaftarkan Initial Public Offering (IPO) ke otoritas bursa.
Karena terbilang genting, para pendukung PSM langsung memberi sinyal kalau sepatutnya para suporter bisa membeli saham untuk PSM. Itu adalah salah satu cara untuk menghentikan apa yang mereka takutkan.
Sebagai contoh, jika harga saham PSM seharga Rp2 miliar, maka para suporter bisa urunan mengumpulkan nilai segitu. Soal keuntungan, mereka bisa berdiskusi dengan pakar-pakar ekonomi dan meminta masukan, bagaimana hak pengelolaan, dan segala macam urusan-urusan dalam perusahaan.
Yang jadi pertanyaannya sekarang, apakah suporter bisa membeli mayoritas saham PSM jika memang jadi dilepas di lantai bursa efek? Bagaimana cara suporter menggalang kekuatan untuk menahan PSM agar tak lepas dari Makassar, khususnya untuk mengumpulkan modal?
Aku percaya banyak yang bisa. Namun tentu saja, bagi banyak juga masyarakat kelas menenangah ke bawah, akan berpikir dua kali. Inilah masa-masa sulit yang akan dihadapi para suporter dan PSM tentunya.
Tetapi tenang saja. Besar kemungkinan, PSM akan tetap berkandang di Makassar. Sebab, penonton terbesar PSM semuanya berbasis di Makassar. Keuntungan banyak bersumber dari sana.
Masalahnya, bagaimana kalau klub itu berganti nama dan Makassar kehilangan sejarahnya? Ini adalah industri. Investor akan berbicara untung rugi. Tergantung bagaimana pencintanya meyakinkan calon investor dan pemilik saham mayoritas PSM yang sekarang.
Semoga tak ada tangisan Sadikin Aksa lagi. Semoga tak ada lagi tangisan para suporter juga. Sebab, PSM tidak akan kalah dengan persoalan pelik yang merundungnya. Selamat datang tahun-tahun yang sulit buat para suporter. Ingat, dalam wajah bisnis, PSM tetaplah produk industri di mata pengusaha.