Jakarta, Lontar.id – FPI akan dibubarkan. Di media sosial, ada petisi untuk mendukung pembubarannya. Lagipula, Surat Tanda Terdaftar FPI akan habis pada Juni 2019.
Sebab FPI sering berbuat onar, maka mereka harus dibubarkan. Begitu gagasan si pembuat petisi di laman Change. Baiklah jika begitu. Tetapi apakah mereka onar melulu?
Kebijakan itu membuat saya berpikir lebih keras lagi untuk menyikapinya. Memang, FPI suka bikin kacau dan sering membawa sentimen rasial dalam demonstrasinya, tetapi rasa-rasanya dengan membubarkan itu kelewat batas.
Di Makassar, saya sekali dua melihat FPI bikin ribut. Ia mengundang perhatian karena menegur pemilik tempat-tempat yang dianggap bisa membawa mudarat dalam masyarakat. Tentu saja mereka yang tahu.
Saya bukan orang yang agamais. Saya belum bisa mendorong aturan soal perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat.
Sayangnya, FPI bisa melakukan itu. Ia keras dengan pembuatan aturan. Ia mengawal hal itu semua karena merasa begitulah tugasnya, demi menciptakan suasana ajek dan damai di masyarakat.
Banyak hal yang dilakukan FPI yang kulihat di media malah menguliti mereka sendiri. Di jalanan, mereka biasanya hanya memakai songkok dalam konvoi. Padahal, diwajibkan bagi masyarakat untuk memakai helm.
Membahas kesalahan FPI dan ngeyelnya mereka saya kira cukup banyak. Tetapi membahas kebaikan mereka? Saya mungkin seorang dari banyak kepala yang bisa menyebutkannya.
Saya pernah bertemu dengan Panglima Laskar FPI Sulsel, Abdurrahman. Senyumnya merekah sekali. Ia datang dengan pakaian bergamis di tempat saya bekerja dulu, di salah satu surat kabar harian di Makassar.
Panglima panggilannya, saat itu dikawal beberapa orang anggotanya. Mereka datang ke kantor dengan melemparkan senyum. Sirna sudah wajah garang mereka yang kerap ditampilkan di televisi.
Tujuannya datang ke kantor tak lain adlaah untuk mengajak orang-orang berdiskusi soal Islam dan isu-isu terkini. Kebetulan, saat itu memang ada rubrik khusus untuk mengakomodir suara mereka dan organisasi Islam lain.
Panglima adalah seorang pemimpin yang enak diajak ngobrol. Saya tidak bohong. Suaranya datar-datar saja. Jika saya berbicara atau bertanya, ia mendengar dengan takzim.
Saya sempat bertanya pada Panglima, apakah di FPI ada banyak berkumpul preman? Sebab, jika menginspeksi usaha-usaha gelap, yang turun bisa saja bikin onar dan keras.
Ia menjawab, kalau di tempatnya banyak mantan preman dan sudah memilih bergabung dengan FPI. Alasannya, untuk mempelajari Islam. Selain itu, untuk menegakkan syariat di Kota Makassar.
“Tidak semua orang di FPI itu kasar. Ada orang yang cepat marah dan tidak. Kalau ada yang marah, harus diketahui dulu alasannya kenapa.”
“Main-mainlah ke markas. Kita bisa ngeteh atau ngopi di sana. Nanti kita cerita lebih banyak lagi. Telpon saja kalau mau datang.”
Ia pamit dari kantor tanpa ribut-ribut dan tanpa mau ditakuti.
Atas hal itu saya berpikir lama soal pembubarannya. Patutkah mereka dibubarkan cuma karena kita belum kenal mereka? Tak kenal maka tak sayang. Adagium seperti itu berlaku untuk FPI.
Lagipula FPI juga telah membantu warga di jalan yang senyap. Organisasi macam apa yang tidak ada gunanya di Indonesia ini? Setidaknya, mereka sudah membantu banyak orang terlepas dari kekerasan demi kekerasan yang dibuatnya.
Jika masih pusing mencari kebaikan FPI, ada mesin pencari. Ada banyak yang sudah dilakukan oleh FPI. Apalagi saat bencana, mereka banyak membantu dalam mengevakuasi korban.
Soal kekerasan yang dibuatnya, hal itu diakomodir oleh UU Ormas yang baru sebagai kelanjutan dari Perpu No 2/2017 menggantikan UU No 17/2013 tentang Ormas.
Telah diberikan wewenang pada pemerintah untuk membubarkan sebuah ormas apabila melanggar aturan.
Pada pasal 59, ayat 3.
Ormas dilarang:
a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
b. Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
c. Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; dan/atau
d. Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika memang FPI sudah melakukan itu seluruhnya, kenapa pemerintah tidak menyetopnya dari dulu seperti bagaimana HTI disetop napasnya? Tetapi setop-setopan organisasi itu terdengar aneh dan lucu bukan?
Jika memang alasannya begitu, banyak organisasi selain FPI yang harus bubar merujuk undang-undang di atas, yang poinnya berisi tindakan kekerasan, menganggu ketentraman dll. Apa organisasi dan kesatuannya, saya kira Anda semua sudah tahu.
Bukankah kita ingin keadilan?