Lontar.id – Beberapa bulan lalu, Ibu saya menelpon dari kampung. Ia menanyakan kabar saya di perantauan. Di penghujung telepon, tiba-tiba ia memberikan informasi yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Katanya, ia baru saja menghadiri acara “mappaenre doi” atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan langsung dengan frase kasi naik uang.
Dalam suku Bugis, ada aturan jika calon mempelai laki-laki ingin menikahi calon isterinya maka ia harus memberikan uang panaik. Besar uang panaik tergantung kesepakatan dua belah pihak. Uang Panaik diputuskan saat acara mappaenre doi tersebut. Yang membuat saya kaget bukanlah acara persiapan pernikahannya. Akan tetapi, usia tetangga saya yang akan menikah masih 15 tahun dan calon suaminya berusia 17 tahun.
Fenomena nikah muda ini tidak hanya terjadi di kampung, tapi juga di daerah-daerah urban. Hal itu bisa dilihat saat kita berselancar di sosial media seperti instagram dan sebaran-sebaran di group WhatsApp.
Entah sejak kapan bangsa kita memilki ketakutan akut pada kata jomlo. Kata itu semakin jadi hantu ketika menghampiri mereka yang belum menikah di usia 30 tahun. Fenomena ini menjadi ketakutan buat saya yang meskipun masih berusia 24 tahun, tapi jika diberi umur panjang saya pasti akan melewati angka itu juga. Dan saya was-was, pasalnya saya belum memikirkan pernikahan.
Setiap orang memiliki pertimbangan mangapa tidak ingin menikah. Mengapa belum memiliki pasangan di usia 30 tahun.Dan mengapa harus menikah di usia muda. Tapi, yang membuat saya penasaran sekaligus merasa aneh, mengapa dan sejak kapan kata jomlo itu sangat ditakuti?
Selain itu, kata ini juga telah menjadi wacana tersendiri. Tidak hanya ditakuti, tapi juga di saat yang sama digunakan untuk bahan bercandaan. Dan tentunya digunakan untuk mem-bully para jomlowan dan jomlowati.
Fenomena ketakutan menjomlo ini menyiratkan karakter dan mental bangsa kita. Seolah-olah orang-orang yang belum menikah tidak berhak dan tidak dapat bahagia. Makanya kita gampang memproduksi ekspresi yang tak biasa ketika mendengar kata jomlo.
Padahal siapa yang bisa mengukur kebahagiaan setiap orang?
Menikah memang bukan sekedar menyempurnakan iman, saling menghalalkan diri antar pasangan. Menikah menjadi persoalan ilahiah, yang tidak bisa dilihat dari sekedar “berhalal-halalan” dan memproduksi keturunan. Tapi juga ihwal membangun peradaban. Masalahnya adalah, dalam konteks hari ini apakah mudah melakukan itu? Saya sih masih skeptis.
Saat bertanya kepada teman dekat laki-laki saya tentang kapan dia akan menikah dan memiliki anak. Ia lalu menjawab, “Saya belum memikirkan menikah, dan saya tidak ingin memiliki anak. Dunia ini nggak asik dan saya tidak ingin ada satu orang yang lahir harus menanggung beban dunia.”