Lontar.id – Bulan Februari 2020 seperti menjadi awal bencana bagi warga Pulau Kodingareng, Kelurahan Kodingareng, Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar, khususnya yang berprofesi sebagai nelayan.
Nelayan di pulau itu seperti mendapat dua pukulan keras di masa pandemi Covid-19. Selain kesulitan menjual hasil tangkapan ikan, mereka juga semakin sulit mendapatkan hasil tangkapan, yang diduga disebabkan oleh hadirnya penambangan pasir laut di wilayah tangkap nelayan.
Kondisi itu terus terjadi, bahkan hingga Sabtu, 29 Agustus 2020 pagi. Hari itu, sekitar pukul 07.00 WITA, sejumlah perahu nelayan masih berjejer rapi di pinggir pantai Pulau Kodingareng.
Pemandangan ini tidak seperti biasanya. Biasanya, sebagian nelayan memilih untuk tidak melaut selama penambangan pasir berlangsung. Meski sebagian lainnya tetap memaksakan diri untuk melaut demi mencari nafkah untuk keluarganya.
Namun hari itu sebagian besar mereka memilih untuk tidak melaut. Hanya beberapa nelayan yang tetap melaut untuk mencari ikan. Salah satunya adalah Rustam.
Saat itu Rustam berangkat menuju kawasan Copong. Copong merupakan salah satu kawasan andalan untuk menangkap ikan Tengiri. Rustam berangkat sekira pukul 05.00 Wita.
Namun, setelah sekitar delapan jam melaut dan mencari ikan di kawasan Copong, Rustam pulang dengan tangan hampa. Dia hanya berhasil menangkap beberapa ekor ikan yang tidak memiliki nilai ekonomis tinggi.
“Pukul 05.00 pagi berangkat. Saya hanya dapat dua ekor ikan Lanjawa dan Kerapu kecil, ini hanya untuk dimakan. Tidak sebanding dengan pengeluaran. Hanya jalan-jalan. Kata orang Makassar tenai tawa (tidak ada bagian),” ujar Rustam sambil mengeluhkan adanya penambangan pasir laut di wilayah tangkap nelayan.
Menurut Rustam, sejak lima bulan terakhir dirinya dan nelayan lain semakin sulit mendapatkan ikan Tenggiri dan Kerapu Merah, bahkan di kawasan Copong yang selama ini menjadi primadona nelayan.
Kehadiran tambang pasir laut ditudingnya menjadi penyebab utama masalah ini. Pengerukan pasir laut yang disebutnya dilakukan oleh kapal milik PT. Boskalis, merusak wilayah tangkap nelayan.
“Sebelumnya, lima sampai tujuh ekor ikan Tengiri lebih mudah didapatkan. Sekarang susah carinya. Biar satu ekor tidak dapat ini. Ini pengaruhnya pengerukan pasir Boskalis. Karena air keruh, karang di bawah hancur-hancur ki karena dikeruk. Airnya tambah dalam dan ombaknya tambah besar,” keluhnya.
Senada dengan Rustam. Seorang nelayan lain bwrnama Hamzah tiba di kawasan pantai Pulau Kodingareng sekitar pukul 16.00 WITA.
Hamzah dibantu oleh beberapa nelayan lain menarik kapalnya ke darat. Istri dan anaknya sudah menunggu di pinggir laut. Wajah mereka penuh harap. Namun wajah Hamzah terlihat kurang bersemangat.
Menurutnya, hari itu dia melaut lebih jauh dari biasanya. Namun hasilnya jauh dari cukup. Ikan hasil tangkapannya hanya laku seharga Rp 50 ribu. Padahal dia melaut hingga ke Copong dan Langkai, sejauh kurang lebih 12 mil.
“Saya hanya dapat ikan Cepa-cepa lima ekor. Sudah dijual 50 ribu di pengumpul. Itu ji di dapat dan berdua memancing selama 1 hari,” ujar Hamzah.
Hamzah juga mengaku sudah empat bulan kesulitan mendapatkan hasil tangkapan di laut saat memancing, terutama ikan Tenggiri, yang merupakan ikan kualitas ekspor dengan harga lumayan tinggi.
“Tidak dapat umpan, sudah lama tidak dapat Tengiri. Empat bulan mi lebih begini terus. Rata-rata penghasilan sehari hanya 50-70 ribu. Bahkan kadang tidak ada. Ongkos jalan-jalan, hanya menutupi pembeli bahan bakarnya saja,” katanya.
Lokasi Berkumpulnya Ikan Tengiri
selama ini kawasan perairan Copong Lompo, Copong Caddi dan Bonemalonjo menjadi wilayah tangkap nelayan yang sangat dijaga kelestariannya. Sebab bagi nelayan wilayah ini adalah ladang emas. Di situlah tempat ikan berkumpul, terutama ikan Tenggiri.
Mas’ud, seorang nelayan Pulau Kodingareng mengaku bahwa sejak zaman nenek moyangnya, Copong menjadi wilayah tangkap nelayan, terutama ikan Tenggiri.
Namun, enam bulan terakhir, sejak penambangan pasir laut masuk di wilayah itu, semua berubah dengan cepat.
“Saya turun (melaut) jam 05.30 subuh, balik jam 04.00 sore. Cari ikan di Copong, tapi tidak dapat. Sekarang musimnya ikan tenggiri di bulan 8 hingga 10, tapi sulit sekali dapat ikan. Paling dapat satu- dua ekor. Biasa tujuh hari tidak dapat, satu hari dapat. Lebih banyak tidak dapatnya sekarang,” kata Mas’ud.
“Keruh air karena penambang pasir. Luar biasa ini penambang pasir, sangat merusak,” tambahnya.
Kerusakan yang ditimbulkan dan dampak terhadap mata pencaharian mereka, membuat nelayan Pulau Kodingareng mencoba mencari keadilan.
Kehadiran penambangan pasir laut yang dilakukan Queen of the Netherlands milik PT. Royal Boskalis Internasional untuk proyek strategis nasional Makassar New Port (MNP) di wilayah tangkap nelayan, menjadi salah satu hal yang mengusik para nelayan.
Mereka pun bersuara. Nelayan dan warga Pulau Kodingareng yang dihuni oleh 4.526 jiwa dari 1.081 kepala keluarga bersikukuh menolak keras penambangan pasir laut.
Terlebih dari 950 nelayan yang ada di Pulau Kodingareng, hampir seluruhnya merupakan nelayan pencari ikan Tengiri, yang merasa sumber penghidupannya diporakporandakan oleh penambangan pasir.
Apalagi pada bulan April hingga Agustus biasanya hasil tangkapan ikan Tengiri mereka meningkat. Tapi tahun ini, sejak penambangan pasir dilakukan di kawasan tangkap, mereka hanya bisa menangkap maksimal dua ekor ikan Tenggiri dalam sehari.
Ismail, salah satu nelayan sekaligus tokoh masyarakat pulau Kodingareng, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar menyesalkan kebijakan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, yang dinilai tidak melakukan sosialisasi dan musyawarah dengan nelayan pulau Kodingareng terkait rencana penambangan di wilayah tangkap nelayan.
“Seandainya ada sosialisasi, tidak mungkin dikasi (diizinkan) lokasi disitu. Tempat penyimpanan uang nelayan Pulau Kodingareng disitu. Sebelum adanya penambangan, memasuki bulan 8 hingga 9 nelayan mulai menabung dengan cara beli emas hasil penjualan ikan Tenggiri yang melimpah,” ujar Ismail, saat ditemui di Pulau Kodingareng, Jum’at, 28 Agustus 2020 lalu.
Bagi Ismail dan nelayan Pulau Kodingareng, wilayah Copong merupakan wilayah tangkap nelayan yang wajib dipertahankan.
Copong merupakan jantungnya nelayan pancing secara turun temurun. “Piring ta’ disitu, di Copong. Kalau musim Tenggiri, banyak penghasilan nelayan disitu. Sekarang Copong tinggal nama, karena sudah tidak kelihatan. Keruh. Keruh sekali. Sejak penambangan berlangsung. Kami masyarakat Kodingareng minta hentikan ini penambangan pasir. Supaya kami tetap sejahtera. Karena selama ini kami sejahtera. Setelah penambangan di Copong, penghasilan sudah merosot,” keluhnya.
Akibat kesulitan dalam menangkap ikan, sebagian warga Pulau Kodingareng mengalami masalah ekonomi, termasuk utang yang menumpuk, seperti yang disampaikan salah satu nelayan, Rizal.
“Utang saya sudah mencapai Rp 20-an juta. Maka dari itu, Gubernur harusnya peka dengan masalah yang dialami para nelayan di Pulau Kodingareng. Kami pun meminta Bapak Nurdin Abdullah tidak mengorbankan para nelayan, dan menghentikan penambangan pasir laut di wilayah tangkap nelayan,” kata Rizal berharap.
Praktik Intimidatif oleh Aparat
Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar bersama Koalisi Nasional Selamatkan Laut Indonesia mencatat 6 (enam) praktik intimidatif baik secara verbal dan non verbal oleh aparat Polairud Polda Sulawesi Selatan yang terjadi sejak Juli – September 2020.
Praktik tersebut diikuti oleh tindak kekerasan hingga penangkapan dan penahanan masyarakat/nelayan Kodingareng yang dilakukan aparat kepolisian.
“Peristiwa tersebut terjadi ketika nelayan dan sejumlah masyarakat Kodingareng melakukan aksi penolakan terhadap kegiatan penambangan PT Royal Boskalis Internasional guna mempertahankan ruang hidup mereka,” ujar Edy Kurniawan Wahid, koordinator Bidang Hak atas Lingkungan Hidup, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI-LBH) Makassar, 27 September 2020.
Kehadiran Negara, melalui aparatnya, diharapkan dapat mengambil langkah yang tepat untuk mencegah, menyelidiki, menghukum, atas praktik kejahatan bisnis dan penyalahgunaan wewenang, yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah bersama koleganya saat menerbitkan izin terkait aktivitas tambang pasir laut maupun pembangunan proyek Makassar New Port.
Namun mereka malah menjadi bagian dalam mendukung perusakan lingkungan dan membungkam suara masyarakat melalui praktik kriminalisasi dan intimidasi.
Bahkan hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata karena memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dilindungi oleh pasal 66 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pun seperti diabaikan.
“Serangkaian aksi protes nelayan Kodingareng meski dipandang sebagai wujud perjuangan untuk mempertahankan lingkungan hidup yang baik dan sehat, karena kegiatan tambang pasir yang telah nyata merusak ekosistem laut dan menghilangkan ruang hidup dan mata pencaharian utama nelayan tradisional,” terang Edy Wahid.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan, Muhammad Al-Amin mengatakan tambang pasir laut yang dilakukan PT. Boskalis telah menimbulkan dampak kerusakan luar biasa bagi lingkungan pesisir dan kondisi sosial-ekonomi nelayan terutama di wilayah Galesong Raya dan di Pulau Kodingareng.
Data WALHI Sulsel, sejak tanggal 13 Februari 2020, kapal Queen of the Netherlands milik PT. Boskalis Internasional, yang memiliki kapasitas 33.423 Gross Ton (GT) mulai melakukan penambangan pasir laut di perairan Bonemalonjo.
Pasir laut hasil tambang ini digunakan untuk keperluan reklamasi Makassar New Port (MNP) tahap II. Pembangunan MNP yang digawangi oleh PT. Pelindo memiliki luas 1.428 ha yang akan direncanakan selesai pada tahun 2025.
PT Royal Boskalis adalah kontraktor pemenang tender penyediaan pasir untuk kepentingan reklamasi untuk kepentingan reklamasi yang menambang di wilayah konsesi sejumlah perusahaan lokal di Sulsel, seperti PT Banteng Laut Indonesia.
Penentangan nelayan Pulau Kodingareng terhadap keberadaan tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan, kata Al Amin, sekaligus menunjukkan kuatnya relasi nelayan dengan wilayah tangkap mereka.
“Pemberian nama-nama lokal ini menunjukkan betapa kuatnya relasi nelayan dengan wilayah tangkapnya. Dan ini juga merupakan tanda bahwa di lautan yang begitu luas, ada daerah tertentu yang dijadikan wilayah tangkap andalan karena kelimpahan sumber daya ikannya,” ungkap Al-Amin.
Saat ini, lanjut Al Amin, nelayan di Pulau Kodingareng Lompo itu masih menyatakan sikap menolak keberadaan tambang pasir laut. Nelayan tidak membutuhkan kompensasi dari Pemerintah maupun perusahaan.
“Yang mereka butuhkan adalah kegiatan tambang pasir laut berhenti total dan meninggalkan wilayah tangkap nelayan,” ujar Muhammad Al-Amin, Jum’at, 10 Juli 2020 lalu.
Sebagai bentuk protes akibat ketidakadilan yang dialami, pada 13 hingga 14 Agustus 2020, puluhan istri nelayan Kodingareng memilih tidur di pelataran jalan tepat di depan pintu gerbang kantor Gubernur Sulawesi Selatan.
Pujiati, salah satu istri nelayan mengungkapkan, aksi bermalam di depan kantor Gubernur ini buntut kekecewaan nelayan karena tidak mendapat respon baik dari Gubernur Nurdin Abdullah atas protes penolakan tambang pasir laut yang dilakukan kapal milik PT. Royal Boskalis.
“Tapi, gubernur Nurdin Abdullah hanya janji. Pemerintah jaga jarak. Tidak pernah datang kesini (Pulau Kodingareng). Minta solusi tapi tidak direspon. Kami mengeluhkan masalah ini selama penambangan. Bahkan nginap dua malam di depan kantor Gubernur, tapi tidak ditemui. Bantu kami bagaimana solusinya,” kata Pujiati.
Izin Tambang Pasir Laut Kilat
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Nasional Selamatkan Laut Indonesia terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahli), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) juga mendesak Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah agar menghentikan dan mencabut izin tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan.
Hasil temuan Koalisi Nasional Selamatkan Laut Indonesia, ada dugaan konflik kepentingan dalam proses pemberian izin.
Ditemukan ada relasi dan koneksi antara pelaku penambangan dengan keluarga dan kolega Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah.
“Apa yang koalisi temukan. Pertama, ada dugaan konflik kepentingan, karena ada relasi/koneksi. Ada bukti-bukti yang memberikan kesimpulan. Ada hubungan antara pelaku izin pertambangan dengan keluarga atau dinasti politik, lingkaran politik Gubernur Nurdin Abdullah di Sulawesi Selatan. Itu ditunjukkan dan diperlihatkan bagaimana anak dari Gubernur menjadi penghubung antara si pemilik bisnis ini dengan gubernur. Bahkan juga, masuk dalam struktur pemenangan tim lebah pasangan Nurdin – Sudirman pada Pilgub lalu,” ungkap Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), 24 Juli 2020
Selain itu, temuan lain Koalisi Nasional Selamatkan Laut Indonesia menunjukkan dalam proses pemberian izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), salah satunya adalah PT Banteng Laut Indonesia (BLI) dinilai sangat kilat.
Mulai dari pengesahan atau persetujuan kerangka acuan hingga penerbitan izin lingkungan kurang lebih waktu pembahasannya hanya 48 hari dan tidak melibatkan masyarakat lokal Kodingareng.
Setelah mempelajari amdal dan dokumen perizinannya, disimpulkan bahwa izin yang diberikan pada PT Banteng Laut Indonesia terbilang sangat cepat.
Perusahaan didirikan tanggal 28 Mei 2019, disahkan oleh Kemenhumham 28 Mei 2019, lalu bulan Desember 2019 itu sudah dapat izin usaha pertambangan.
“Silsilahnya itu, dapat izin lokasi 31 Juli, tanggal 1 Agustus dapat IUP. 7 Agustus dapat izin usaha pertambagan eksplorasi, 29 oktober dapat persetujuan kerangka acuan, lalu 6 Desember dapat izin lingkungan. Begitu sangat cepat prosesnya. Dibandingkan dengan amdal-amdal yang lain. Kenapa PT. Banteng Laut Indonesia diterbitkan izin lingkungannya begitu kilat dan cepat,” kata Muhammad Al-Amin, Direktur Esekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan.
Data WALHI Sulawesi Selatan menemukan, dari 12 izin tambang di wilayah tangkap nelayan, 4 diantaranya berstatus produksi.
Sementara dua perusahaan yakni PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur dilaporkan oleh Koalisi Selamatkan Laut Indonesia, karena diduga rangkap jabatan. Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 terkait dengan larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
“Dua izin itu yakni PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. Direksi dua perusahaan itu dimiliki oleh orang yang sama berikut komisaris dan pemilik sahamnya pun juga sama. Makanya setelah kami terlusuri siapa orang-orang itu, ternyata memang mantan tim sukses Nurdin Abdullah,” terang Amin.
Sementara itu, proses tender dan lelang yang dilakukan oleh PT Pelindo IV diduga bermasalah. Termasuk alasan memilih PT Banteng Laut Indoensia sebagai penyedia pasir untuk proyek Makassar New Port (MNP).
Menanggapi masalah ini, PT Pelindo IV melalui DVP Corcom & Secretariat Anna Maryani mengatakan sebelum lokasi penambangan ditetapkan oleh pemerintah sudah melalui proses kajian yang mendalam, apakah tidak merusak lingkungan seperti terumbu karang dan lain sebagainya.
Menurut Anna, lokasi menambangan pasir yang dilakukan oleh PT Boskalis sudah sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Penambangan pasir laut ini sudah diminimalisir dampaknya. Proyek ini juga sudah memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan memperhatikan mitigasi lingkungan sekitarnya.
Anna mengatakan lokasi penambangan pasir ini telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K) Provinsi Sulawesi Selatan
“Kalaupun ada dampak atau masalah yang ditimbulkan pada nelayan, kami sungguh minta maaf. Namun sekali lagi kami sampaikan, penambangan pasir tidak pernah keluar dari lokasi yang telah ditentukan. Karena lokasi itu sebelumnya telah melalui berbagai kajian para ahli dari lingkungan hidup dan pemerintah,” ujar Anna, saat dihubungi via Whatshapp, Sabtu 3 Oktober 2020.
Penulis: Nurdin Amir