Jakarta, Lontar.id – “Pelan-pelan dulu, kalau belum bisa memakai kerudung yang menutupi dada, yah setidaknya dimulai dengan tidak memakai celana panjang. Berhijrah itu memang butuh proses, yang penting istikomah,” kata seorang teman yang baru saja memutuskan memakai niqob (kain penutup wajah) kepada saya.
Kalimat di atas tentu paling sering kita dapatkan beberapa tahun belakangan ini, entah itu di instagram, facebook, ataupun platform sosial media lainnya. Dalam kehidupan nyata, tentu saja akan sering kita temukan. Terkhusus bagi saya, sebagai manusia yang sudah dianggap telah memutus silaturahmi terhadap dunia per-hijrah-an, ceramah-ceramah hijrah itu paling sering saya dapatkan. Mislanya, “Eh, perasaan dulu kerudungmu panjang, kok sekarang pendek. Hati-hati loh dengan pergaulan kota.”
***
Kurang lebih satu dekade, tren berhijrah terus meningkat. Saat ini, kita melihat, tren hijrah itu memasuki arena artis-artis Indonesia. Dan oleh karena itu, fenomena berhijrah ini semakin marak. Dilansir dalam laman historia.id, tren hijrah di Indonesia dimulai pada tahun 1990. Ary Budiyanto, antropolog dan peneliti Center for Culture and Frontiers Studies (CCFS) Universitas Brawijaya, mengungkapkan seperti apa era yang menandai tren berhijrah.
“Salah satu yang paling saya ingat ya Astri Ivo. Baru kemudian ada artis generasi Inneke Koesherawati.”
Menurutnya, tren hijrah terjadi saat Rezim Soeharto mulai memberi angin kepada kelompok-kelompok Islam dari pelbagai orientasi ideologi untuk masuk ke pemerintahan. Hal ini berbeda jauh dari strategi politik Soeharto terhadap Islam pada tahun-tahun sebelumnya.
Faktor lainnya, pada tahun tersebut, industri mode dan hijab sudah berkembang pesat. Hal itu didukung oleh pengaruh budaya populer seperti film, musik, sinetron, yang secara tidak langsung ikut mengampanyekan tren berhijrah. Misalnya, film Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dll.
Munculnya tren hijrah mendesakralisasi proses hijrah itu. Masalahnya adalah, kenapa proses berhijrah harus dimaknai sesempit itu. Kenapa misalnya hanya artis yang telah memutuskan menggunakan kerudung yang dilabeli cap berhijrah? Kenapa hanya artis yang telah menggunakan celana cingkrang yang boleh dicap telah berhijrah? Dan kenapa artis yang berhijrah itu pasti harus rutin melakukan pengajian?
Sebagai contoh, hari ini Tiara Dewi, seorang artis yang kembali ramai diperincangkan karena telah ber-niqob. Tampilanya yang telah tertutup tersebut terekam kamera watawan saat ia dan mantan suaminya, Lucky Hakim, mendatangi Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan pada Rabu, 9 Januari 2019. Keduanya datang berdua untuk melaporkan mantan pegawainya yang telah melakukan penggelapan uang.
Yang justru ramai diperbincangkan bukan kasus yang sedang dibawanya ke aparat kepolisian. Akan tetapi perubahan tampilannya yang dianggap telah berhijrah.
Sebagai penghayat sosial media, saya sebenarnya skeptis untuk memberikan label berhijrah kepada sejumlah artis yang mengklaim atau diklaim oleh orang-orang telah berhijrah. Karena proses berhijrah itu bukan sebatas tampilan. Misalnya nih, banyak artis yang hijrah itu membuka usaha kuliner? Apakah sudah benar mereka memperlakukan pekerjanya dengan memberikan upah yang pantas?
Apakah pabrik usahanya telah baik dalam mengelolah limbah? Apakah bahan makanan yang akan diolah berasal dari petani atau justru dibeli melalui tempat-tempat mewah yang membeli hasil pertanian petani dengan harga murah dan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi? Apa iya, mereka yang berhijrah ini telah memikirkan petani kecil atau justru semakin menghidupkan industri kapitalis?
Belum lagi jika diperhatikan dengan seksama, beberapa di antara deretan artis berhijrah ini berbondong-bondong membuka usaha oleh-oleh, yang diklaim sebagai oleh-oleh khas daerah. Padahal oleh-oleh yang dijual sama sekali tidak berasal dari nusantara. Komodifikasi identitas kelokalan yang justru merugikan pengusaha-pengusaha kecil di daerah yang selain berjuang mencari duit juga berjihad mempertahankan identitas kuliner nusantara.
Contoh lainnya, jika para artis ini telah berhijrah pasti akan membuka brand hijab sendiri. Popularitasnya dimanfaatkan agar masyarakat semakin konsumtif. Jadi bagaimana ya? Alih-alih menganggap mereka telah berhijrah, mending dipikirkan dulu bagaimana cara berempati dengan petani, pengusaha-pengusaha daerah, dan orang-orang kecil yang lebih gampang ditindas.