Tidak ada pesta yang tidak selesai. Begitu perumpamaan yang pas untuk Real Madrid saat ini.
Jakarta, Lontar.id – Pada 6 Maret silam, tahun 1902, berdiri sebuah klub yang nantinya akan mengubah wajah sepakbola dunia. Raja Spanyol, Alfonso XIII, menambahkan nama depan pada klub itu dengan nama Real.
Real seperti ucapan doa. Pelafalannya mirip dengan royal, artinya kerajaan. Raja Alfonso tentu saja tak begitu saja menamai klub itu dengan nama Real. Real sendiri terbentuk diawali dari kelompok pelajar Institucion Libre de Ensenanza yang gemar bermain sepak bola.
Dari sana, terbentuk Football Club Sky yang kemudian pecah menjadi New Foot-Ball de Madrid dan Madrid Football Club. Pada 1902, Madrid FC menunjuk Juan Padros sebagai presiden klub.
Saat itu di Spanyol, sepak bola sudah menjamur dan masuk dalam sendi kehidupan sosial masyarakat. Melihat peluang itu, Juan Pardos lalu mengajukan permohonan kepada Gubernur Madrid, Alberto Aguilera, untuk menyelenggarakan turnamen untuk menghormati Raja Alfonso XIII.
Tak lama setelah Madrid FC terbentuk, pada 1905, Madrid FC sukses menjadi juara. Berkat keberhasilan itulah, Raja Alfonso XIII memberikan nama kehormatan Real (Royal) kepada Madrid Football Club pada 1920. Usai dibentuk, ia berproses lagi. Hingga akhirnya masuk tahun kesembilan, kompetisi resmi La Liga Spanyol pun dibuat dengan diikuti 10 klub.
Real Madrid Football Club memiliki peranan besar lantaran Presiden Madrid, Adolfo Melendez, menjadi salah satu founding fathers Federasi Sepak Bola Spanyol (RFEF) pada 4 Januari 1909.
Sejak dulu memang Madrid sudah distigma sebagai klub yang rela menggelontorkan uang untuk membentuk “tim jadi”. Hal itu dimulai pada era 1970-an. Mereka tidak doyan mengorbitkan pemain mudanya.
Sebut saja nama Alfredo Di Stefano, Ferenc Puskas, Amancio Amaro, Emilio Butragueno, Luis Figo, Zinedine Zidane, hingga Cristiano Ronaldo. Mereka semua adalah pemain bintang yang sengaja dikumpulkan.
Tidak ada yang menyangkal pada beberapa tahun belakangan, kalau Madrid adalah klub instan. Pelatih yang banyak memberi konstribusi dan sudah punya nama mentereng, maka akan terdepak dan angkat kaki jika sudah waktunya.
Sekelas Zidane, meski sudah memberikan tiga gelar Champions berturut-turut, toh tutup koper dan pergi jauh. Entah apa permasalahannya, di bawah tangan Florentino Perez, Madrid yakin klubnya akan baik-baik saja tanpa eks pemain yang mempopulerkan Zidane Roullete itu.
Sekarang ini adalah ujian bagi Madrid. Ia diguncang prahara dalam skuatnya. Memulai musim baru bersama Julen Lopetegui, ia mengacak-acak tubuh Timnas Spanyol yang telanjur nyaman dilatih Lopetegui.
Pada saat Piala Dunia 2018 baru saja dibuka, kabar soal Timnas Spanyol ditinggal pelatihnya, membuat publik tersentak. Ada hal apa, mengapa pengampu tim dengan wajah baru di dalamnya, serta catatan manis dengan torehan 20 laga bersama Spanyol, yang dikemas dengan 14 kemenangan dan enam hasil imbang, harus pergi?
Belakangan pihak federasi sepak bola Spanyol (RFEF) mengendus kalau Lopetegui sedang main mata dengan Perez untuk meninggalkan Timnas Spanyol lebih cepat. Lopetegui tak tahan dengan godaan dari Perez.
Timnas Spanyol akhirnya ditinggal begitu saja, kemudian dipilih Hierro, eks Madrid juga, untuk menjadi suksesor Lopetegui dalam daging timnas yang sudah ditaburi rempah-rempah racikan Lopetegui. Hierro tinggal makan.
Lopetegui akhirnya secara resmi menandatangani kontrak dengan Madrid. Ia membawa racikan baru dalam klub, dengan keyakinan, semoga Perez suka dengan bau “masakannya”. Ibarat koki, Lopetegui melenggang begitu yakin kalau makanannya akan jadi sorotan dan pujian di atas meja makan La Liga.
Nahas, ia gagal. Barangkali karena fokusnya terpecah, antara Madrid dan Timnas Spanyol, permainan Madrid jadi kurang menggigit. Julen Lopetegui tersingkir setelah “diajari” Barcelona bagaimana cara bermain bola dengan benar.
Ia dipermalukan dan kalah telak dengan skor 5-1. Madrid kehilangan sentuhan raja dari nama Real-nya atau royal-nya. Usai kalah, pemecatan Lopetegui dipersiapkan, dan keesokan harinya, pada pekan ke-10 Liga Spanyol, ia angkat kaki.
Lopetegui menjabat sebagai pelatih Madrid sejak 12 Juni hingga 29 Oktober 2018 atau tak lebih dari 140 hari. Itu menjadi durasi tersingkat di antara 10 pelatih terakhir Madrid.
Dalam masa kepelatihannya, Lopetegui mendampingi Madrid di 14 pertandingan kompetitif. Hasilnya ia hanya bisa mengantar Madrid memenangi enam di antaranya, sementara menelan kekalahan di enam laga lainnya.
Real Madrid kian murung setelah dipermalukan Los Azulgrana. Mereka tergeragap di tengah badai yang menghantamnya. Lalu dipilihlah dengan cepat nama Santiago Solari untuk mengisi pos yang ditinggalkan Lopetegui.
Di bawah asuhan Lopetegui, setidaknya ada harapan baru yang ditabur di tanah Raja Alfonso itu, yakni memberi kesempatan para pemain muda untuk unjuk gigi dan berkata pada khalayak, “inilah Real Madrid. Tim ini bukan sekadar tim instan. Tim ini ingin mengubah wajah sepak bola di Madrid yang telanjur terstigma jika kaderisasi dalam tubuh tim nyaris tidak ada.”
Begitulah. Saya menyaksikan beberapa pertandingan yang dilakoni Madrid bersama Solari. Memang benar, kalau pemain muda lebih diberi kepercayaan. Hal yang tentu saja sangat positif dibanding para pendahulunya, yang gemar membeli pemain jadi.
Namun, Madrid bukanlah klub kemarin yang ingin begitu saja didikte oleh Solari, dengan kalimat, “mister Perez. Anda tidak mungkin mengandalkan pemain bintang melulu. Anda harus percaya, kalau suatu saat tim ini bisa besar tanpa pemain bintang, melainkan hasil didikan akademi. Lihat saja semangat Reguilon, mister Perez yang terhormat. Bukankah permainannya memukau?”
Kalimat itu tak cukup untuk meyakinkan Perez. Kekalahan dari Barcelona, secara beruntun, mulai dari 3-0 dan 1-0 di Bernabeu, membuat Perez syok. Mereka sudah terbiasa digdaya di tangan Zidane. Itu masalahnya.
Kenyataan itu lalu membuat satu isu merebak, kalau posisi Solari akan ambruk sebentar lagi, jika Madrid tumbang di kandang untuk ketiga kalinya setelah melewati dua laga melawan Barcelona, yakni bertempur melawan anak bau kencur dari Belanda: Ajax Amsterdam.
Madrid kalah. Anak asuh Lopetegui rebah dan dipukul dengan empat gol, dan Madrid hanya bisa menyarangkan sebiji gol saja di kandangnya. Hal yang begitu menyakitkan sebab Barcelona tak bisa mencetak gol sebanyak itu setidaknya pada dua laga sebelumnya.
“Sungguh, ini sangat menyakitkan. Kami minta maaf kepada fans yang sudah memberi semangat luar biasa bagi tim di saat terjepit. Kami sedih dan sakit. Tim sudah berusaha dengan segala cara, tapi ternyata tak cukup. Malam yang menyedihkan,” tutur pelatih berkebangsaan Argentina tersebut, dalam lama resmi Real Madrid.
Hari ini, dengan wajah yang masam, Madrid merayakan ulang tahunnya. Barangkali tak ada pesta besar-besaran di ibu kota Spanyol. Saya berpikir, di kamar, Solari membeli sendiri kue ulang tahun dari Brown Bakery, yang tak jauh dari Plaza de Santa Ana.
Di kamar yang gelap, ia menyalakan sebuah lilin dan menaruhnya di atas kue yang sederhana. Solari juga memanggil seluruh pemain. “Ayo, kita rayakan, sembari menyematkan doa di ulang tahun Madrid hari ini.”
“Bagaimanakan bunyi doa dan rapalan itu, coach? Demi kebaikan Madrid, kah?” ujar Ramos.
“Ya. Tentu saja. Sekaligus mendoakan karier kawan-kawanmu, agar mereka tidak lekas dilego dengan harga miring ke klub lain. Mari kita doakan, supaya pemain-pemain muda bisa lebih punya tempat nanti, jika aku sudah pergi meninggalkan kota ini.”
Para pemain dan pelatih bersedekap dan menutup matanya. Wajahnya khusyuk. Mereka membentuk lingkaran di sebuah kamar yang cukup besar milik Solari. Selesai berdoa, Solari mengimbau, “tiup lilinya, Real Madrid!”
Semua pemain meniupnya beserta Solari. Lilin yang disulut api di permukaan kue akhirnya padam. “Maafkan aku, teman-teman. Kali ini tak ada pesta besar-besaran pada ulang tahun yang ke-117 Madrid. Pesta sudah usai, sekarang.”
Solari tahu, ada yang mengganggu benaknya. Nirgelar. Itu yang paling realitstis dalam pikirannya. Ia siap menyambut rekor baru itu.