Jakarta, Lontar.id – Pemerintah pusat gencar menggelontorkan anggaran ke Papua dan Papua Barat melalui dana Otonomi Khusus (Otsus). Praktisi Hukum dan Tenaga Ahli Desk Papua Kementerian PPN Bappenas, Laode M Rusliadi Suhi mengatakan, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pembiayaan Otsus Papua telah digelontorkan selama periode 2002-2018 sebesar lebih dari Rp76 triliun. Untuk Papua Barat selama periode pemerintahan 2008-2018, sudah digelontorkan dana nyaris mendekati Rp30 triliun.
“Besarnya dana yang telah digelontorkan tidak sebanding dengan output kualitas pembangunan fisik dan sumber daya manusia serta kualitas pelayanan yang masih tertinggal dibandingkan daerah lain. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar 70.81 persen, yang artinya IPM paling rendah di bawah rata-rata IPM nasional (urutan ke 34 dan 33 dari 34 provinsi di Indonesia),” kata Laode kepada Lontar.id beberapa waktu lalu.
Sementara, pada 2019 ini, dana otsus untuk Provinsi Papua Barat kembali ditingkatkan menjadi Rp100 Miliar. Dana tersebut meningkat dari tahun sebelumnya Rp2,4 Triliun menjadi Rp2,5 Triliun di tahun 2019.
Ketua DPRD Kabupaten Puncak Jaya, Nesco Wonda mengatakan, dana Otsus dari pemerintah pusat sejauh ini belum cukup untuk membangun daerah Papua. Disebabkan anggaran yang turun akan dibagikan ke kabupaten/kota dengan komposisi 80 persen untuk daerah dan 20 persen untuk provinsi, sehingga menurutnya dana itu tak pernah cukup.
“Dana Otsus itu, kalau dibilang banyak, tidak juga. Karena dibagi dalam 3 bagian seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Terus kalau dibagi (ke provinsi dan kabupaten kota), walaupun pusat katakan dana itu besar, tapi sampai di daerah dibagi-bagi belum cukup, dan tidak pernah cukup,” ujarnya kepada Lontar.id di Jakarta, Sabtu (9/2/2019).
Nesco Wonda menjelaskan, masyarakat Papua tak pernah mau ambil pusing dengan dana Otsus–jika kekayaan alam bumi cendrawasih belum dikembalikan ke Papua seperti perusahaan tambang PT Freeport.
Baca Juga: Mengapa Amerika Serikat Menanamkan Demokrasi ‘Secara Paksa’ ke Seluruh Dunia?
Kekayaan alam Papua menurutnya sangat melimpah, namun ia sayangkan sumbangan Papua lewat kekayaan alam lebih banyak ke Jakarta ketimbang kembali ke warga Papua.
“Kita yang punya kekayaan alam, di sana lebih banyak yang keluar (dana) dibandingkan dengan yang masuk. Makanya orang Papua, tidak pernah pusing dengan dana Otsus. Otsus itu bukan orang Papua yang minta, ini dikasih dari pusat, karena Papua mau lepas,” ujarnya.
Minta Freeport Dikembalikan
Dana Otsus lanjut Nesco Wonda , hanya berlaku sampai 2021, setelah itu Papua dapat apa setelah dana Otsus selesai. Olehnya itu, dia meminta agar pengelolaan PT Freeport dikembalikan kepada orang Papua asli, sehingga dengan demikian mereka dapat meningkatkan kesejahteraan yang selama ini masih dianggap di bawah rata-rata.
“Dikasi tawaran ini (Otsus), tapi batasnya sampai 2021. Tetapi setelah 2021 apa? Kami orang Papua, mau sebaiknya dana kami di Freeport dikembalikan. Seperti Jokowi mengambil saham 51 persen, berarti kami dapat 15 persen, dengan sendirinya kita tidak bergantung dari Otsus,” ujarnya.
Dia kemudian menyoroti soal pembangunan infrastruktur Papua. Nesco Wonda politisi Demokrat ini mencontohkan, di sektor pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan belum merata ke permukiman warga yang tinggal di wilayah pegunungan.
Tantangannya, karena medan yang sulit, di mana permukiman warga melewati pegunungan, rawa-rawa, lembah dan pesisir pantai. Sehingga kerap kali pembangunan di Papua tersendat karena masalah wilayah yang sulit dijangkaui.
“Pembangunan Papua memang kelihatan seperti itu, tetapi di lapangan kan tidak semua daerah. Ada daerah yang bisa dibangun (jalan) ada daerah yang tidak bisa,” katanya.
“Kalau dibangun di pesisir pantai enak, tapi kalau sudah di rawa-rawa, lembah tidak mungkin lagi, apalagi di gunung. Membangun Papua itu bukan seperti Pulau Jawa yang rata begini,” lanjutnya.
Sementara Anggota DPRD Kabupaten Kaimana, Papua Barat, Ridwan Ombaier (PAN) mengatakan ada warga yang salah persepsi, bahwa dana Otsus itu dikira untuk dibagi-bagi ke masyarakat. Padahal kata dia, dan Otsus diperuntukkan pembangunan Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur.
“Dana Otsus ini kan global, untuk di bikin sekolah, bagaimana bisa kita mau bagi satu orang satu. Kan tidak mungkin, tapi ada pikiran kelompok yang diluar dari itu, kita punya dan Otsus harus di bagi, tapi aturan pusat tidak begitu toh,” ujarnya.
Dia melanjutkan, pembagian dana Otsus ke Papua masih dirasa belum cukup, karena warga Papua merasa memiliki ladang emas, minyak, nikel dan gas alam dikeruk di Freeport. Tetapi anggaran yang turun ke Papua masih sedikit.
“Kalau dikasi Rp1 juta tak cukup, Rp2 juta tak cukup, kadang mereka hitung dengan Freeport. Kita punya Freeport tapi kenapa pembagiannya sedikit,” ungkapnya.
Warga Asli Tersisih
Ketua DPRD Kabupaten Puncak Jaya, Nesco Wonda mengatakan, gejolak Papua Merdeka dan konflik yang muncul salah satunya dipicu karena pembangunan proyek jalan, jembatan dan infrastruktur lainnya. Pembangunan kata dia, tidak melibatkan warga asli Papua sebagai pekerja.
Warga Papua disebut hanya jadi penonton dan tidak terlibat. Sehingga Nesco Wonda menyebut wajar jika terjadi kecemburuan sosial, dan kemudian mengakibatkan pemberontakan warga asli Papua.
“Wajar kalau di Papua ada pemberontakan dan lain-lain, karena tidak ada keterlibatan orang Papua asli dalam membangun,” kata Nesco Wonda.
Kata dia, pekerja di Papua didatangkan dari Pulau Jawa, mereka juga yang jadi tukang masak sementara warga asli Papua, kalaupun dipekerjakan hanya jadi buruh kasar. Para pekerja dari Jawa lanjut dia, datang dengan dikawal pihak keamanan Polisi dan TNI.
“Jadi apa yang mau diberdayakan orang Papua, kalau orangnya (pekerja) didatangkan dari Pulau Jawa terus orang tukang masak didatangkan dari Jawa. Apa orang Papua tidak mengamuk? Salah satunya seperti itu, harus dikasi ruang untuk bergerak masyarakat, ada dapat uang sedikit dari pekerjaan,” katanya.
Ridwan Ombaier politisi PAN mengatakan, pemeritah pusat harusnya memberikan ruang kepada warga asli Papua agar dimasukkan sebagai pekerja di perusahaan.
“Orang berharap, anak negeri (Papua) harus bisa kerja,” ujarnya.
Penulis: Ruslan