Lontar.id- Kalimantan Tengah sebagai salah satu provinsi yang tingkat ketebalan asapnya paling tinggi di pulau Kalimantan harus menanggung beban dan kerugian yang besar. Tidak hanya bagi manusia yang setiap saat menghirup udara kotor, namun juga satwa, tumbuhan, dan ekosistem yang lain.
Saya berbincang dengan Fitri, seorang warga Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah yang sehari-hari bekerja sebagai guide di Taman Nasional Tanjung Puting. Fitri tinggal di daerah yang berada di level sedang untuk ketebalan asap.
Menurutnya, asap tebal saat ini sangat ia rasakan karena sebelumnya ia tinggal di Pare, Jawa Timur yang kondisi udaranya cukup normal.
Kebakaran hutan bisa dibilang merupakan hal rutin yang dirasakan oleh Fitri dan keluarganya. Meski demikian, setiap tahun mereka tetap was-was apabila terjadi kebakaran lahan karena satu lahan yang terbakar berpotensi merembet ke lahan sebelahnya. Apalagi keluarga Fitri pernah ikut mengalami kebakaran 3/4 lahannya.
“was-was sih. Kami punya lahan di desa dan di sekitar kami itu orangnya pada buka lahan (orang-orang yang ingin bercocok tanam, entah kelapa, nanas, ataupun kelapa sawit). Tiap tahun mesti siap-siap buat madamkan api dari lahan sebelah yang sewaktu-waktu bisa menyambar lahan kami.”
Fitri juga membeberkan jika ia dan keluarganya juga terancam masalah kesehatan meskipun menurutnya dari faktor tersebut, tubuh mereka cukup kebal dari asap. “Dulu tahun 2014, asap lebih tebal dari sekarang tapi aku sudah kesulitan napas karena hampir empat tahunan terbiasa dengan cuaca di Jawa. Sekarang, aku tidak terbiasa dengan asap di sini. Keluarga juga bergiliran terserang gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).”
Selain sumpek, susah bernapas, dan pusing, tebalnya asap di tempat Fitri membuat aktifitas rutin seperti bersekolah dan bekerja di kantoran harus diliburkan.
“Sekolah dan beberapa instansi diliburkan oleh pemerintah karena kesulitan bernapas, kemungkinan kecelakaan banyak. Yang terparah dulu itu jarak pandang maks 50 cm atau 1 meteran.”
Saya juga menanyakan apakah mereka sebenarnya tahu penyebabnya dan solusi menghentikan bencana tersebut.
Fitri mengungkapkan bahwa sebenarnya mereka tahu, tapi keluarga dan masyarakat memilih bersikap apatis. “Kalau tentang penyebab, dari dulu ya sama aja jawabannya karena orang-orang bersih-bersih kebun, atau buka lahan buat berkebun. Entah itu sengaja atau tidak sengaja, tapi kami memilih apatis.”
Menurutnya, di daerah Kalimantan Tengah, penegakan peraturan cukup susah karena untuk Pangkalan Bun, daerah bukan milik pemerintah melainkan milik satu orang.
“Di daerahku ada pengusaha sawit yang kekayaannya dikenal se-Asia Tenggara. Bupati-bupati di Kalteng, bahkan Gubernur Kalteng saat ini adalah ponakannya. Petinggi daerah itu semua dalam genggaman dia. Dulu sebelum sawit membludak, dia dan keluarganya dikenal sebagai pengusaha kayu terbesar. Ujung-ujungnya ya hutan jadi korban.”
“Apakah warga tidak tahu tentang itu? Tentu saja sebagian besar mereka tahu. Tapi mereka tak punya pilihan karena si pengusaha ini juga memberikan banyak sekali lapangan kerja untuk penduduk di sini.”